Virus Corona
Perhatian! Virus Corona Tak Selamanya Mati di Cuaca Panas, Begini Penjelasan Peneliti UGM dan BMKG
Perhatian! Virus Corona Tak Selamanya Mati di Cuaca Panas, Begini Penjelasan Peneliti UGM dan BMKG
Perhatian! Virus Corona Tak Selamanya Mati di Cuaca Panas, Begini Penjelasan Peneliti UGM dan BMKG
POS-KUPANG.COM - Perhatian! Virus Corona Tak Selamanya Mati di Cuaca Panas, Begini Penjelasan Peneliti UGM dan BMKG
Sebelum terpapar virus corona, negara Indonesia sempat disebut memiliki kemampuan menghalau virus karena cuacanya yang tropis.
Benarkah demikian? berikut ini hasil penelitian para ahli:
• BBPP Kupang Ikut Teleconference Bersama SYL Dukung Program Kementan
• Penumpang Pesawat dan Darat Diisolasi di Puskesmas Kambaniru
• Rocky Gerung: Pemerintah Bohong Soal Data Covid -19, Sindir Jokowi Ekonomi Lebih Berharga dari Nyawa
• Poktan Pelita Kabupaten Manggarai Manfaatkan Combine Harvester pada saat Panen
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) bersama Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta melakukan kajian/penelitian tentang Pengaruh Cuaca dan Iklim dalam Penyebaran Covid-19. Benarkah cuaca panas bisa mematikan virus corona?
Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati menjelaskan Tim BMKG yg diperkuat oleh 11 Doktor di Bidang Meteorologi , Klimatologi dan Matematika, serta didukung oleh Guru Besar dan Doktor di bidang Mikrobiologi dari Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan UGM, telah melakukan Kajian berdasarkan analisis statistik, pemodelan matematis dan studi literatur.
Hasil kajian yg telah disampaikan kepada Presiden dan beberapa Kementerian terkait pada tanggal 26 Maret 2020 yang lalu ini, menunjukkan adanya indikasi pengaruh cuaca dan iklim dalam mendukung penyebaran wabah Covid-19.
Sebagaimana yg disampaikan dalam penelitian Araujo dan Naimi (2020), Chen et. al. (2020), Luo et. al. (2020), Poirier et. al (2020), Sajadi et.al (2020), Tyrrell et. al (2020), dan Wang et. al. (2020), tulis Dwikorita melalui komunikasi online.
Hasil analisis Sajadi et. al. (2020) serta Araujo dan Naimi (2020) juga menunjukkan sebaran kasus Covid-19 pada saat outbreak gelombang pertama, berada pada zona iklim yang sama, yaitu pada posisi lintang tinggi wilayah subtropis dan temparate.
Dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan sementara bahwa negara-negara dengan lintang tinggi cenderung mempunyai kerentanan yang lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara tropis.
Penelitian Chen et. al. (2020) dan Sajadi et. al. (2020) menyatakan bahwa kondisi udara ideal untuk virus corona adalah temperatur sekitar 8 - 10 °C dan kelembapan 60-90%.
Artinya dalam lingkungan terbuka yang memiliki suhu dan kelembaban yang tinggi merupakan kondisi llingkungan yang kurang ideal untuk penyebaran kasus Covid-19.
Para peneliti itu menyimpulkan bahwa kombinasi dari temperatur, kelembapan relatif cukup memiliki pengaruh dalam penyebaran transmisi Covid-19.
Selanjutnya penelitian oleh Bannister-Tyrrell et. al. (2020) juga menemukan adanya korelasi negatif antara temperatur (di atas 1 °C) dengan jumlah dugaan kasus Covid-19 per-hari.
Mereka menunjukkan bahwa bahwa Covid-19 mempunyai penyebaran yang optimum pada suhu yang sangat rendah (1 – 9 °C).
Demikian pula Araujo dan Naimi (2020) memprediksi dengan model matematis yang memasukkan kondisi demografi manusia dan mobilitasnya, mereka menyimpulkan bahwa iklim tropis dapat membantu menghambat penyebaran virus tersebut.
Mereka juga menjelaskan lebih lanjut bahwa terhambatnya penyebaran virus dikarenakan kondisi iklim tropis dapat membuat virus lebih cepat menjadi tidak stabil.
Karena kondisi tersebut penularan virus Corona dari orang ke orang melalui lingkungan iklim tropis cenderung terhambat, dan akhirnya kapasitas peningkatan kasus terinfeksi untuk menjadi pandemik juga akan terhambat.
Dijelaskan Dwikorita Karnawati kajian oleh Tim Gabungan BMKG-UGM ini menjelaskan bahwa analisis statistik dan hasil pemodelan matematis di beberapa penelilitian di atas mengindikasikan bahwa cuaca dan iklim merupakan faktor pendukung untuk kasus wabah ini berkembang pada outbreak yg pertama di negara atau wilayah dengan lintang linggi.
Tetapi, ini bukan faktor penentu jumlah kasus, terutama setelah outbreak gelombang yang ke dua.
Baca berita lainnya:
China merupakan negara pertama dan sumber virus corona yang kini sudah menyebar di lebih dari 200 negara di dunia
Setelah berjuang habis-habisan, China akhirnya bebas dari virus corona setelah tidak ditemukan lagi kasus baru dan pasien yang tersisah sudah dinyatakan sembuh
Pemerintah China pun secara bertahap mulai mencabut status lockdown agar kehidupan kembali normal
Namun kini China kembali melakukan lockdown di sejumlah tempat setelah ditemukan kasus baru
Negara dengan penduduk terbesar di dunia itupun kini bersiap menghadapi serangan kedua Covid-19 yang diduga dalam skala yang lebih besar lagi
Seperti yang telah diwartakan sebelumnya, negara asal muasal munculnya Covid-19 itu sudah tidak ditemukan transmisi lokal.
Mengutip dari Daily Star, pengumuman tersebut disampaikan oleh pemerintah China pada 19 Maret 2020.
Dalam pengumumannya, Kota Wuhan dan daerah di sekitar Hubei sudah tidak ditemukan warga yang terinfeksi virus corona.
Video para petugas medis yang melepaskan maskernya tanda perjuangan mereka menghadapi Covid-19 telah usai pun menjadi viral di media sosial.
Aktivitas warga pun perlahan kembali berangsur normal.
Hal ini tentunya memberikan harapan bagi negara lain yang tengah berada di fase terburuk menghadapi pandemi global ini.
Namun, belum genap sebulan China menghirup udara segar, kabar tak menyenangkan kembali datang.
Sebuah kota di Provinsi Henan kembali ditutup setelah ditemukan beberapa kasus Covid-19.
Melansir dari The Sun, penduduk dilarang bepergian tanpa seizin pihak berwajib, kata pejabat setempat melalui media sosial.
Warga yang hendak keluar rumah harus izin terlebih dahulu.
Pemerintah provinsi tersebut melaporkan satu kasus positif pada Sabtu.
Menurut keterangan pejabat setempat, orang yang terinfeksi telah melakukan kontak dengan dua dokter yang bekerja di Jia.
Kedua dokter itu dinyatakan postif virus corona walaupun tidak menunjukkan gejala.
Kasus ini terjadi ketika Yunnan, provinsi yang berbatasan langsung dengan Myanmar, Laos dan Vietnam melarang warganya meninggalkan pelabuhan.
Pihak berwajib berusaha mencegah warganya kembali dengan penyakit tersebut.
Sementara itu, Shanghai yang merupakan kota terbesar di China telah menutup tempat-tempat wisata.
Beberapa waktu lalu, kota tersebut telah membuka kembali tempat-tempat hiburan termasuk bar.
Tetapi hanya berlangsung singkat karena kini terpaksa ditutup kembali.
Para ilmuwan mengatakan, orang yang terinfeksi tapi tak menunjukkan gejala Covid-19 sangat mudah menyebarkan virus ke orang lain.
Sebab mereka sendiri mungkin tak menyadari bahwa dalam dirinya terdapat virus.
Sementara banyak negara yang tidak mengetes warganya kecuali mereka mengalami gejala.
China telah melaporkan jumlah total kasus dan kematian yang terjadi di negaranya pada 19 Maret 2020 lalu.
Namun, laporan intelegen AS menyimpulkan bahwa China tak melaporkan data yang sesungguhnya.
Negara lain, termasuk Korea Selatan, memasukkan pasien yang tidak mengalami gejala ke dalam daftar kasus yang terkonfrmasi.
Sebuah studi terbaru mengatakan, kasus virus corona yang paling menular adalah saat seseorang memiliki gejala ringan.
Para ilmuwan menemukan bahwa puncak seorang pasien positif corona untuk menularkan ke orang lain adalah pada minggu pertama.
Temuan baru adanya pasien positif corona di China tersebut dikhawatirkan sebagai gelombang kedua.
Karena gejala yang ditimbulkan minim, dikhawatirkan jumlah orang yang terinfeksi akan lebih besar dari gelombang pertama.
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul https://www.tribunnews.com/corona/2020/04/06/populer-benarkah-cuaca-panas-bisa-mematikan-virus-corona-ini-hasil-kajian-bmkg-dan-ugm?page=all