Memberi Sedekah, Berdoa dan Berpuasa, Catatan Sebagai Refleksi Rabu Abu

ketidakadilan juga orang-orang sakit. Jangan terlalu kikir dengan memberikan waktu kerahimanmu bagi orang lain.

Editor: Rosalina Woso
ilustrasi
Rabu Abu 

Apakah kita mesti panjangkan doa dan berteriak lebih kuat supaya didengar? Saya jawab tidak perlu semuanya itu karena kalau makin panjang doanya ada kemungkinan kamu makin berbohong dalam kata-kata dan tidak perlu keras karena Allah tidak tuli.

Dalam doa Bapa Kami Yesus sendiri ajarkan kalau pertama dalam doa itu kita mesti tahu akan eksistensi Allah dengan segala kemuliaanNya dan eksistensiNya ini tidak bisa dimanipulasi oleh kehendak kita. Ada tendensi negatif dalam bentuk doa kita karena kita suka menggugat kehendak Allah seturut kemauan kita. Ada juga yang lebih ekstrim mengancam Allah karena permohonan tidak dikabulkan!

Mengenal eksistensi Allah itu yang membawa kita masuk dalam “perjumpaan pribadi dalam keheningan”. Tidak perlu menjadi pahlawan doa yang membawa berkantung intensi untuk berdoa tapi kamu sendiri tidak sanggup bertemu dengan Allah.

Banyak teks Injil yang menunjukkan ke kita kalau Yesus pergi menyendiri untuk berdoa. Kenapa menyendiri? Sangat dibutuhkan kapasitas kita bukan cuma nyerocos dalam doa tapi paling penting MENDENGAR ALLAH.

Seorang ibu penderita kanker pernah datang ke paroki dan mendesak saya untuk mendoakan dia bagi kesembuhannya. Saya cuma minta dia masuk dalam kapel adorasi untuk berdoa sendiri.

Sesudah 5 menit dia keluar dan menangis tersedu karena merasa dibiarkan begitu saja dan dia tidak tahu harus berbicara bagaimana dalam doa. Saya cuma bilang ke dia: “Ibu masuk kembali dalam kapel dan itu di depan Sakramen Mahakudus ibu boleh duduk atau berlutut.

Pandanglah wajah Yesus dan tidak boleh bicara apapun, biarkan Yesus yang bicara karena apa yang ibu butuhkan sudah dia ketahui semua. Sekarang biarkan Tuhan sendiri yang berbicara dan memberikan penghiburan dan kekuatan buatmu”.

Tiga jam kemudian si ibu keluar dari kapel dengan ekspresi wajah yang begitu berbeda. Kenapa? Karena doa mengajarkan kita pertama-tama untuk menjadi murid yang  sanggup mendengar. Mendengar itu memiliki implikasi kerendahan hati dan kesediaan diri agar Allah bisa berkarya dalam diri kita. Tanpa kesanggupan mendengar Allah dalam doa, doa itu cuma petisi kosong yang tetap tinggalkan dalam jiwa kita ketidakpastian apa akan terkabul atau tidak permohonan kita, karena kita sendiri merasa ragu kalau Dia bisa mendengar atau tidak.

Doa itu seperti seorang bayi dalam pangkuan ibu kandungnya. Sang bayi begitu mengenal segala keutuhan rasa kasih dan kehangatan. Karena apa? Karena baik ibu maupun si bayi saling mengenal secara baik dan ada rasa percaya. Si bayi mengenal secara baik setiap sentuhan ibunya bahkan mengenal dengan sempurna setiap detak jantung ibunya.

Berpuasa

Pada suatu pagi seorang umat datang sambil menunjukkan hasil buruannya yaitu babi hutan yang merusak kebun jagungnya. Saya dengan santai omong ke dia: “Kalau makan itu babi hutan jangan lupa undang atau bagi juga sedikit ke paroki”. Dia terperanjat heran lalu berkata: “Padre, ini hari kan hari jumad dan kita dalam masa puasa, saya diijinkan makan daging?”. Lalu saya tanya dia: “Dalam tahun ini berapa kali bapa berhasil tangkap babi hutan?”. “Terakhir kali dua tahun lalu” jawabnya. “Berapa kali bapa dan seluruh keluarga makan daging dalam tahun ini?”. Sambil tersenyum malu dia jawab: “Hampir tidak pernah”, jawabnya. “Kalau begitu kita makan bersama hari ini karena besok pasti sudah busuk”, (maklum saja karena tidak semua umat punya kulkas di rumah). Semua merasa bahagia dan puas karena bisa saling berbagi.

Puasa itu sebenarnya mengoyak tirai jiwa untuk bebaskan kita dari segala perbudakan dosa. Setiap kita tentu bisa menyebut satu persatu ketagihan atau maniak kita yang selalu menjerat kita dalam dosa pribadi ataupun sosial.

Menata diri untuk menjadi bebas dari segala keterikatan dosa itu penting sekali dan puasa bukan cuma berpantang makan daging. Berapa banyak keterikatan kita dalam dosa yang menghancurkan keluarga kita sendiri? Berapa banyak kali kita diperbudak ego yang akibatnya sesama harus menderita? Bisakah kita berpuasa dari semua kejahatan itu?

Saya cuma ingin ambil contoh ini  ; era kecanggihan teknologi sekarang sangat memprihatinkan terutama dalam keluarga. Saya pernah diundang satu keluarga untuk  makan bersama tapi sangat menyedihkan karena selama perjamuan bersama tidak ada komunikasi karena setiap orang sibuk dengan ponsel mereka. Di meja perjamuan yang sama tapi dalam keterasingan yang begitu besar. Banyak sekali anggota keluarga kita menjadi budak teknologi. Segala kehangatan interaksi kekeluargaan dan dialog makin hari makin memudar. Ribuan keluarga kita telah kehilangan hati. Kalau dengan mereka yang paling dekat saja kita kehilangan hati bagaimana dengan mereka yang jauh?

Bertobatlah dan percaya kepada Injil!

Sumber: Pos Kupang
Halaman 2 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved