Salam Pos Kupang
Problem Pendidikan di NTT
Mari membaca dan simak isi Salam Pos Kupang berjudul Problem Pendidikan di NTT
Penulis: PosKupang | Editor: Kanis Jehola
Mari membaca dan simak isi Salam Pos Kupang berjudul Problem Pendidikan di NTT
POS-KUPANG.COM - HARI-hari ini, Gubernur NTT, Viktor Laiskodat, bersafari mengelilingi NTT. Pekan ini menjelajah daratan Timor mengendus akar masalah berbagai persoalan yang masih mendera Flobamorata dan mencarikan solusinya.
Stunting masih terus dibasmi dengan menggalakan pemberian makanan bergizi, menggerakkan masyarakat menanam kelor. Kemiskinan masih mendera dengan 'mendadani' obyek wisata yang masih tidur untuk menghasilkan rupiah dengan memberdayakan masyarakat sebagai basisnya.
Fulan Fehan misalnya, gubernur melihatnya bisa menghasilkan puluhan miliar per tahun asalkan dikelola secara profesional. Itu salah satunya.
• Herman Man Ajak Masyarakat Kota Kupang Sukseskan Sensus Penduduk Online 2020
Di bidang pendidikan, Gubernur NTT masih mengeluh banyak anak daerah ini yang duduk di bangku sekolah dasar tidak tahu membaca dan menulis.
Miris sekali. Fenomena alam yang terjadi saat ini memberi alaram akan terjadi bahaya kelaparan. Hujan di NTT turun tidak menentu. Hama ulat grayak bergentayangan menyerang lahan jagung para petani. Jika terjadi, para petani terkena dampaknya.
Dampak ikutannya banyak muncul dan menjadi persoalan baru. Karena tak punya pangan, misalnya, warga nekat mencuri. Tidak kriminal meningkat.
• ASN (Boleh = Harus) Berpolitik (Analisis dari Segi Ilmu Hukum Legislasi)
Safari gubernur ke daerah-daerah mengemban misi agar semua stakeholder menyingsingkan lengan baju mengenyahkan berbagai persoalan ini dari bumi NTT.
Merancang program sesuai kebutuhan rakyat, bukan bermuara pada selera pejabat atau penentu kebijakan.
Kita soroti khusus bidang pendidikan. NTT masih dililiti empat masalah. Pertama, masih banyak guru di NTT tidak profesional, bukan berlatarbelakang pendidikan. Disebut guru tidak terlatih. Mengajar sekenanya saja, asal hadir di kelas.
Hal ini menyebabkan anak-anak tidak bisa memiliki keterampilan dasar seperti matematika, baca-tulis dan bahasa dengan baik.
Kedua, tidak tersedianya ruang kelas yang memadai. Tengoklah ke SDN Tuakau, Fatuleu Barat, Kabupaten Kupang. Siswa menimba ilmu di ruang kelas darurat, berdinding bambu. Kondisi seperti ini juga ditemui di daerah-daerah lainnya di NTT. Bahkan ada anak duduk di lantai karena ketiadaan meja-kursi. Lagi-lagi miris.
Belum lagi ruangan kelas yang sesak, kelas berantakan, bahkan tidak jarang siswa harus belajar di luar ruangan. Tidak hanya ruang kelas yang kurang memadai, tetapi juga semua fasilitas dasar yang diperlukan seperti air bersih dan toilet tidak layak.
Ketiga, dana pendidikan yang kurang. Banyak masyarakat miskin yang tidak bisa mendapatkan pendidikan layak karena biaya tinggi. Contohnya, meskipun pemerintah sudah menghilangkan biaya pendidikan sampai jenjang SMA, tapi masih saja ada dana informal yang harus dikeluarkan para siswa.
Hal yang lebih memprihatinkan lagi adalah pemerintah hanya bisa meniadakan biaya pendidikan sampai tingkat SMA saja.
Sehingga banyak siswa tidak bisa mengenyam bangku pendidikan tinggi yang sebenarnya penting untuk didapatkan.
Keempat, kekurangan bahan belajar.
Banyak sekali siswa yang tidak memiliki buku pelajaran memadai untuk digunakan. Agar bisa mengoptimalkan proses belajar, siswa membutuhkan buku pelajaran, lembar latihan, dan berbagai fasilitas lain yang bisa membantu aktivitas belajar menjadi lebih baik. Bukan hanya siswa saja, seorang guru juga membutuhkan bahan untuk mengajar di kelas, berbagi dengan siswa, dan membimbing mereka dalam pelajaran.
Semua problem ini memicu tingginya angka putus sekolah di NTT. Belum lagi soal faktor lain seperti ekonomi, sosial, dan budaya. Tahun 2010, NTT mendapat peringkat 32, dengan persentase IPM 59,21 persen.
Peringkat ini merupakan peringkat kedua dari terakhir dari 33 provinsi. Jika kita melihat persentase secara nasional, Indonesia memperoleh rata-rata IPM 66,53 persen.
Artinya NTT memperoleh IPM di bawah rata-rata indeks nasional, dengan selisih 7,32 persen.
Tahun 2015, NTT memperoleh peringkat 32 dengan IPM 62,67 persen. IPM Nasional 69,55 persen, sehingga selisih IPM 6,88 persen. Tahun 2016, NTT memperoleh peringkat 32 dengan IPM 63,13 persen. IPM nasional 70,18 persen, maka selisih 7,05 persen.
Dari fakta ini tak bisa dipungkiri bahwa kualitas pendidikan di NTT masih rendah. Selama tujuh tahun terakhir selalu mendapatkan peringkat 31 dan 32 secara nasional. Juru kunci dalam indeks pembangunan manusia. Sedih!