Opini Pos Kupang

Ekonomi Ekstraktif dan Bias Pendapatan

Mari membaca dan simak Opini Pos Kupang: Ekonomi Ekstraktif dan Bias Pendapatan

Editor: Kanis Jehola
zoom-inlihat foto Ekonomi Ekstraktif dan Bias Pendapatan
Dok
Logo Pos Kupang

Mari membaca dan simak Opini Pos Kupang: Ekonomi Ekstraktif dan Bias Pendapatan

Oleh : Habde Adrianus Dami, Sekda Kota Kupang, 2010-2012, Alumnus Pascasarjana Studi Pembangunan, UKSW, Salatiga.

POS-KUPANG.COM - PERTUMBUHAN ekonomi nasional tahun 2019, sebesar 5.1 persen, yang diperkirakan masih bersifat bruto. Angka sebesar itu belum memasukkan faktor dampak dan kerusakan lingkungan dalam perhitungannya. Jika faktor tersebut dimasukkan, maka angka pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan secara netto akan berubah.

Ini Lokasi Wisata di Sumba Berpotensi Diguyur Hujan Ringan Siang Ini

Memang, belum ada studi mutakhir angka netto ini, namun, sebagai komparasi merujuk pada hasil riset The World Resources Institute (1989), bahwa pertumbuhan PDB Indonesia selama 1971-1984 sebesar 7,1 persen namun setelah dihitung depresiasi SDA dan lingkungan ternyata hanya 4 persen.

Karena itu, kerusakan ekologis, ekonomi dan sosial tidak dapat disembunyikan lagi. Sebagaimana, infografis Media Indonesia (18/01/2020), selama periode 1 Januari -31 Desember 2019, total bencana 3.814, dampaknya: meninggal 481 orang, hilang 111 orang, terdampak dan mengungsi 6,1juta orang, luka-luka 3,422 orang, sedangkan kerusakan meliputi: rumah penduduk 73,726 unit, fasilitas umum 2.024 unit, kantor 275 unit dan jembatan 450 unit.

Martinus Adat Urus Istri dan Anak Alami Gangguan Jiwa, Ini Langkah yang Dibuat Camat Poco Ranaka

Mengapa ini terjadi? Jawaban dalam konteks ekonomi menurut Alisjahbana (2006). Pertama, masalah eksternalitas, yaitu kegagalan pasar untuk memberikan gambaran biaya atau harga yang sesungguhnya dari suatu sumber daya kepada pelaku ekonomi atau pengambil kebijakan.

Tidak adanya pasar untuk berbagai SDA dan lingkungan menjadikan pelaku ekonomi menganggap ongkos penggunaan sumber daya tersebut rendah atau bahkan sama sekali tidak ada. Kedua, kegagalan institusional, dimana terjadi ketidakjelasan terhadap hak kepemilikan (property rights) dari berbagai SDA dan lingkungan.

Ketiga, kegagalan pemerintah, yakni kebijakan yang diambil pemerintah justru menimbulkan distorsi dan memberikan sinyal yang salah kepada pelaku ekonomi terhadap nilai yang sesungguhnya dari SDA dan lingkungan.

Kecenderungan asimetris antara kepentingan ekonomi dan lingkungan bukanlah barang baru. Lingkungan memiliki nilai ekonomi dan finansial. Sebaliknya, kerusakan lingkungan berakibat kerugian ekonomi dan finansial.

Secara spesifik, bila kita berbicara mengenai pertumbuhan ekonomi sebenarnya kita berbicara mengenai posisi sektor lingkungan. Dengan kata lain, ketergantungan kita pada sektor SDA dan lingkungan terlihat dari struktur ekonomi.

Bias Perhitungan Pendapatan

Pemerintah sudah menggelar karpet merah bagi pihak swasta menguasai 70 persen perekonomian, maka acuan utama kegiatan adalah pertumbuhan dan keuntungan bisnis. Dalam pergeseran peran pelaku ekonomi, timbul pertanyaan apabila terjadi kerusakan lingkungan, dampak apakah yang akan ditimbulkan pada indikator perekonomian seperti PDB (Produk Domestik Bruto) atau PDRB (Produk Domestik Regional Bruto)? Apakah PDB atau PDRB-nya akan menurun, cenderung konstan, ataukah justru akan meningkat?

Kemungkinan jawabannya begini. Kerusakan lingkungan akan mendorong pemerintah untuk melakukan restorasi. Upaya pembangunan kembali ini merupakan aktivitas yang bernilai ekonomi tertentu.

Dengan kata lain, usaha-usaha untuk memperbaiki kerusakan lingkungan akan menyebabkan ekspansi pada berbagai pos belanja pemerintah.

Dampak adanya belanja barang dan jasa ini justru sangat positif bagi perekonomian, karena dengan demikian akan mendorong variabel konsumsi (C) dan investasi (I). Ujung-ujungnya, pendapatan (PDB atau PDRB) akan mengalami peningkatan.
Proses dorongan terhadap PDB atau PDRB semacam inilah yang dianggap sebagai bias (misleading) dalam perhitungan pendapatan. Disinilah kemudian timbul ironi itu.

Di satu pihak, kerusakan lingkungan bersifat merugikan, namun di pihak lain justru bisa meningkatkan gairah perekonomian yang dapat mendorong angka PDB atau PDRB.

Padahal, secara konvensional konsep perhitungan PDB maupun PDRB dikenal sebagai indikator yang paling mendasar untuk mengukur tingkat kemajuan ekonomi. Namun demikian, kelemahan yang melekat pada sistem perhitungan PDB maupun PDRB selama ini adalah, ketidakmampuannya mengakomodasikan indikator-indikator non ekonomi (eksternalitas termasuk kerusakan lingkungan), sebagai determinan penting bagi tingkat kesejahteraan.

Fakta di atas mengindikasikan keterbatasan yang inheren dalam pendekatan perhitungan pendapatan. Karena itu, dibutuhkan langkah yang lebih substansial dan komprehensif. Atau dengan kata lain, agar tidak terjadi bias perhitungan pendapatan, diperlukan sebuah formulasi baru, dengan memasukkan faktor eksternalitas (yakni kerusakan sumber daya alam) ke dalam perhitungan pendapatan. Singkatnya, adalah bagaimana menginternalisasi eksternalitas negatif, maka ia disebut "PDB hijau atau PDRB hijau".

"The Tragedy of The Commons"

Eksternalitas dikatakan terjadi jika aktivitas produksi sebuah institusi (swasta atau pemerintah) atau seseorang mempengaruhi fungsi produksi institusi lain, atau fungsi konsumsi seseorang tanpa dapat dikoreksi melalui tingkat harga.

Karena itu, cara kita mengelola SDA dan lingkungan ada pengaruhnya bagi pertumbuhan ekonomi. Pada titik ini, Garrett Hardin, dalam Snalzea (2020), menerbitkan esai yang sangat kontroversial "Tragedy of the commons" .

Dia berpendapat bahwa degradasi lingkungan merupakan hasil dari individu-individu yang memiliki akses tak terbatas dan terbuka terhadap sumber daya alam. Sehingga, perlu membatasi (atau mengontrol) individu-individu untuk memanfaatkan dan mendapatkan akses terhadap hak milik bersama .

Dilain pihak, kebijakan di sektor perekonomian selama ini lebih ditekankan untuk menghadirkan mekanisme pasar dan menghindari distorsi karena campur tangan ekonomi yang salah dari pemerintah dan perilaku menyimpang dari pelaku ekonomi. Tetapi masalah eksternalitas tidak menjadi faktor yang dipertimbangkan.

Sebagaimana, rencana pemerintah untuk meniadakan instrumen AMDAL (analisis mengenai dampak lingkungan), sebagai insentif untuk menarik investasi. Padahal, AMDAL merupakan kajian identifikasi, prediksi dan evaluasi dampak kegiatan terhadap lingkungan bio-geo-fisik-kimia, kesehatan dan kesejahteraan masyarakat.

Sehingga, implemantasi kebijakan investasi "tanpa" AMDAL, paling tidak terdapat tiga catatan yang harus didalami dan dikalkulasi. Pertama, menyangkut substansi indeks kemudahan berinvestasi itu sendiri. Kedua, berkaitan implikasi dari indeks kemudahan berinvestasi terhadap pembangunan berkelanjutan. Ketiga, hilangnya perangkat pemantauan, pengawasan maupun partisipasi publik dan pemerintah.

Meski begitu, tidak ada yang salah dari semangat dan kebijakan investasi tadi. Tetapi, harus dipahami bahwa komoditi publik, masalah eksternalitas dan kepentingan publik sangat perlu diidentifikasi secara lebih rinci.

Karena, dilapangan tidak semua kegiatan produksi dan distribusi harus diselesaikan dengan mekanisme pasar, mengingat banyak komoditi publik mengandung dampak eksternalitas jika semata-mata diserahkan kepada pasar. Pesan teoritis seperti ini nampaknya sangat penting diperhatikan.

"Turning Point"

Cakupan perekonomian nasional dan daerah lebih luas dan kompleks dibandingkan PDB dan PDRB, tetapi visi ekonomi lingkungan pemerintah dalam PDB dan PDRB akan menentukan arah perekonomian nasional dan daerah.

Apalagi, didalam mazhab pertumbuhan, seluruh kekuatan birokrasi dan bisnis diarahkan untuk menggerakkan ekonomisasi SDA dan lingkungan. Padahal, sudah lama disimpulkan bahwa kelimpahan SDA suatu negara malah menjerumuskan negara tersebut dalam jurang kemiskinan yang dalam sehingga muncul istilah resource curse hypothesis.

Bertolak dari uraian diatas, kebijakan deregulasi pembangunan yang tuntas sebenarnya diikuti berbagai tindakan lanjutan yang rasional dan efektif. Secara eksplisit terkandung dalam pengertian, persoalan internalisasi eksternalitas dalam perhitungan pendapatan yang memiliki sasaran, terukur dan tujuannya jelas, tidak akan menghasilkan titik balik (tur-ning point), jika tidak dibarengi dengan keseriusan pemerintah. (*)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved