Workshop Tentang EBT - Inilah Kendala Pemanfaatan EBT
subsidi tarif untuk energi fosil masih murah, sedangkan EBT mahal, karena biaya dan investasinya juga mahal.
Penulis: Oby Lewanmeru | Editor: Rosalina Woso
Workshop Tentang EBT - Inilah Kendala Pemanfaatan EBT
POS-KUPANG.COM|KUPANG -- Pemanfaatan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) sampai saat ini belum maksimal dan mengalami kendala. Salah satu kendala adalah ketergantungan masyarakat pada migas,selain investasi teknologi EBT dinilai mahal.
Hal ini disampaikan Dosen Prodi Kehutanan Program Pascasarjana Undana , Dr. Michael Riwu Kaho pada acara Workshop Jurnalis tentang Energi Baru dan Terbarukan. Workshop ini berlangsung di Hotel Neo by Aston, Minggu (24/11/2019).
Kegiatan yang berlangsung selama tiga hari ini digelar oleh Mongabay Indonesia dan Hivos. Workshop ini dengan mengambil tema isu-isu tentang Energi Baru dan Terbarukan (EBT).
Hadir pada acara ini Direktur Mongabay Indonesia, Ridzki Sigit, Koordinator Workshop, Rahmadi Rahmad. Sedangkan dari Hivos hadir, Nova Doloksaribu, Lina Noviandari, Gus Firman, Rita Kefi dan Johanis.
Michael tampil dengan materi Pengembangan energi baru terbarukan dan kaitannya dengan jasa lingkungan serta posisi NTT di dalamnya.
Michael mengatakan, masyarakat perlu menanggapi EBT secara global, termasuk situasi EBT saat ini. EBT yang ada mengalami kendala dalam pemanfaatan karena ketergantungan pada migas masih tinggi.
Terkait rendahnya pemanfaatan dan pengembangan EBT pada pembangkit listrik, Michael menyebut hal itu terjadi karena beberapa masalah antara lain, belum maksimalnya pelaksanaan kebijakan harga, ketidakjelasan subsidi EBT pada sisi pembeli (off taker).
Selain itu, regulasi yang belum dapat menarik investasi, belum adanya insentif pemanfaatan EBT, minimnya ketersediaan instrumen pembiayaan yang sesuai dengan kebutuhan investasi, proses perizinan yang rumit dan memakan waktu lama serta pemanfaatan lahan dan tata ruang.
Ketua Forum DAS NTT ini menjelaskan, ada juga masalah transformasi dari Migas ke EBT. Beberapa masalah itu adalah, menurut data Kementerian ESDM diperkirakan mencapai 441,7 GW,tetapi yang masih realisasi sampai saat ini adalah 9,7 GW atau 2 persen dari total EBT.
Kondisi ini, lanjut Michael disebabkan karena, ketergantungan pada migas atau pemanfaatan EBT masih rendah,
"Selain itu adanya ketidakseimbangan dan ketidakadilan subsidi, pada 2017 ,77,3 triliun, untuk subsidi energi dari 4,4 persen dari pendapatan negara," katanya.
Sedangkan lanjutnya, subsidi tarif untuk energi fosil masih murah, sedangkan EBT mahal, karena biaya dan investasinya juga mahal.
Bahkan, hal yang mempengaruhi masalah transformasi energi ini adalah keterbatasan investasi, biaya riset mahal dan dibebankan pada harga beli. Sedangkan yang terakhir adalah koordinasi.
Michael juga menyampaikan soal beberapa fakta di NTT seperti dulu ada biji jarak dipakai untuk penerangan, namun ini saat ini tidak lagi.
Begitu juga dengan energi Mikro Hydro yang ada di Mutis , TTS sudah tidak berfungsi.
Sedangkan harga jual listrik dari EBT lebih mahal dari migas.
"Apabila dikaitkan di NTT dengan jasa lingkungan, maka EBT berpotebsi tinggi tapi mayoritas ada di kawasan hutan lindung dan kawasan konservasi," ujarnyal
Dia mengakui, Energi terbarukan adalah cara memanfaatkan kekayaaan alam yang sudah tersedia secara alami. Ada tiga masalah terkait isu jasa lingkungan, yakni insentif bagi pemanfaatan EBT, minimnya instrumen pembiayaan investasi , lahan dan tata ruang.
Kurangnya investasi untuk mendorong dan memanfaatkan EBT.
• Kaum Bapa GMIT di Kota Kupang Komit Satu Bapa Tanam Satu Pohon
• SERAM, Ki Prana Lewu Ngaku Bisa Panggil Kuntilanak dan Mainkan Jailangkung,Denny Cagur Tercengang
• Toilet Taman Nostalgia Rusak dan tak Terawat, Ini Tanggapan Yuven Beribe dari Pemkot Kupang
Dia mengakui, NTT salah satu wilayah yang tertinggi optimalisaai penggunaan EBT.
Pada tahun 2018, lahan kritis di NTT sekitar 2 juta ha atau 44,55 persen dari luas NTT.
Deforestasi akibat kebakaran 15 ha/tahun ,rehabilitaasi atau rehabikitasi hutan dan lahan (RHL) oleh pemerintah hanya 3000 ha per tahun, penyebab utama adalah api dan sapi, potensi EBT berbasis biomasa dan sekaligus berpotensi jasa lingkungan.
Luas laut 200.000 km2, potensi matahari sangat berpotensi.
'Kita serius dengan EBT dikaitkan dengan jasa lingkungan, maka kita tidak kekurangan energi
Michael juga menyampaikan beberapa hal yang bisa dibuat
Penyadaran dan pengetahuan publik tentang EBT, Peningkatan kapasitas dalam mengelola EBT, pemerintah memfasilitasi faktor pemungkin, pemerintah ko juga harus serius soal koordinasi integrasi, sinergisitas (KISS) ,kebijakan dan regulasi ekonomi, pembiayaan dan seterusnya. Bahkan yang dibuat juga adalah inovasi
Sedangkan beberapa kendala soal ego sektoral.
Data Potensi EBT di NTT :
Panas Bumi : 629 MW
Air : 53 MW
Mini/mikrohydro : 95W
Bioenergi :240 MW
Tenaga Surya : 7.272W
Angin : 10.188 MW
Laut : 5.335 MW
Sumber : RUPTL 2018-2027 dan Hivos Project.(Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Oby Lewanmeru)