Opini Pos Kupang

Opini Pos Kupang, 7 Oktober 2019, NTT Terancam ASF, Penyakit Mematikan pada Babi

Penyakit tersebut sebagaimana dilaporkan oleh FAO telah menyebabkan kerugian ekonomi yang sangat besar di beberapa negara di kawasan Asia Tenggara

Editor: Ferry Jahang
ISTIMEWA
Virus Babi Afrika 

NTT Terancam ASF, Penyakit Mematikan pada Babi

Oleh : Dr. drh. Petrus Malo Bulu, MVSc

Doktor Lulusan Murdoch University Perth Australia dan dosen Program Studi Kesehatan Hewan Politeknik Pertanian Negeri Kupang.

DALAM beberapa bulan terakhir ini, terjadi wabah dan pendemic penyakit mematikan pada babi di beberapa negara di kawasan Asian Tenggara yakni Thailand, Vietnam dan Phillipina.

Terakhir didapat kabar bahwa negara tetangga kita Timor Leste telah terkonfirmasi secara laboratorium terinfeksi penyakit mematikan itu.

Berdasarkan press release yang dikeluarkan Kementerian Pertanian dan Perikanan Timor Leste pada tanggal 27 September 2019, telah terjadi kematian pada 400 ekor ternak babi di Dilli, dan 400 ekor babi telah diidentifikasi,

dimana 41 persen dari sampel yang diuji di Australia dikonfirmasi sebagai ASF. Belum diketahui pasti bagaimana penyakit ini bisa masuk ke Timor Leste.

Dampak Kerugian Ekonomi Akibat ASF

Penyakit tersebut sebagaimana dilaporkan oleh FAO telah menyebabkan kerugian ekonomi yang sangat besar di beberapa negara di kawasan Asia Tenggara (Thailand, Vietnam dan Phillipina)

yakni lebih dari 5 juta ekor babi yang harus dimusnakan karena infeksi penyakit tersebut pada populasi ternak babi dengan kerugian ekonomi ditaksir miliaran dolar.

Sebagai akibat wabah ASF di Polandia, Lithuania, Latvia dan Estonia pada tahun 2014 dan 2015 nilai ekspor daging babi dan produk daging babi berkurang hingga US$ 961 juta, mewakili hingga 50 persen dari ekspor.

Dengan masuknya ASFV ke Denmark dapat mengakibatkan kerugian US $ 12 juta untuk biaya langsung dan US$ 349 juta untuk ekspor. Di Rusia, ASF diperkirakan menelan biaya US$ 267 juta pada tahun 2011.

Lebih lanjut, penyebaran ASF ke Cina dapat memiliki konsekuensi yang lebih berbahaya, karena China memiliki populasi babi lebih dari setengah populasi babi dunia.

Penyakit ASF bukan penyakit zoonosis atau dengan kata lain tidak dapat ditularkan ke manusia, dengan demikian tidak mempunyai dampak manusia.

Penyakit tersebut hanya menginfeksi babi dan menjadi penyakit yang sangat penting secara ekonomi karena dapat menyebabkan kerugian yang sangat signifikan pada peternakan babi yang tertular atau terinfeksi.

Gejala Klinis ASF

Penyakit ASF dapat dikenali dari tanda-tanda klinisnya antara lain demam tinggi (40.5 C-42 C), kematian mendadak pada babi yang terinfeksi, hilangnya nafsu makan secara tiba-tiba, muntah,

perdarahan pada kulit dan organ dalam, diare berdarah, keguguran dan kematian pada anak baru lahir, mata merah, batuk berdarah, hidung berlendir, serta lemas dan gangguan keseimbangan alat gerak.

Namun gejala-gejala tersebut tergantung dari manifestasi dari penyakit tersebut (perakut, akut, subakut dan kronis).

Pada bentuk perakut, babi terlihat kehilangan nafsu makan, lesu dan sesak nafas serta kematian tiba-tiba pada babi yang terinfeksi.

Pada bentuk akut dan subakut hampir sama yakni demam tinggi, kehilangan nafsu makan, lesu, dan muncul gejala pencernaan termasuk muntah dan mencret, namun gejala pada yang bentuk subakut tidak separah bentuk akut.

Sedangkan gejala klinis untuk bentuk kronis menunjukkan gejala-gejala pernafasan dan kepincangan.

Virus demam babi Afrika dulu terjadi terutama di Afrika seperti diungkapkan oleh Costard dan beberapa peneliti lainnya di tahun 2013.

Kadang-kadang ada serangan ke Eropa atau Amerika yang terlepas dari situasi endemik di Pulau Sardinia yang selalu berhasil dikendalikan.

Tetapi setelah tahun 2007, penyakit tersebut telah memperluas distribusi geografisnya ke Kaukasus dan Eropa Timur di mana ia belum dapat dikontrol, hingga saat ini.

Demam babi Afrika memengaruhi spesies babi domestik dan liar, dan dapat melibatkan hewan pembawa (vector) kutu sebagai pembawa penyakit ini.

Kemampuan virus untuk bertahan hidup dalam ekosistem tertentu ditentukan oleh ekologi populasi inangnya yang liar dan karakteristik sistem produksi ternak, yang memengaruhi kepadatan dan hubungan spesies inang dan vektor.

Demam babi Afrika memiliki angka kesakitan (morbiditas) yang tinggi pada populasi babi dan dapat menyebabkan angka kematian yang sangat tinggi (100 persen).

Virus Babi Afrika
Virus Babi Afrika (ISTIMEWA)

Cara Penularan Penyakit ASF

Perlu diketahui masyarakat bahwa Virus ASF dapat ditularkan dengan tiga siklus penularan utama yakni siklus sylvatic, siklus caplak babi, dan siklus domestik.

Siklus sylvatic mengacu pada sirkulasi antara populasi babi liar Afrika dan kutu lunak. Siklus ini dapat dilihat di negara-negara Afrika di mana ASF dan kutu atau caplak dari genus Ornithodoros bersifat endemik.

Siklus kutu-babi terjadi di Afrika dan memainkan peran penting dalam penularan penyakit ini di Semenanjung Iberia, tempat kutu menginfeksi kandang dan kandang babi.

Dalam siklus domestik, penularan langsung atau tidak langsung terjadi antar babi domestik atau babi yang dikandangkan. Hal yang sama berlaku untuk penularan di antara babi hutan untuk siklus sylvatic di Eropa Timur.

Disamping itu, kontak langsung antara hewan yang terjangkit penyakit dan hewan rentan adalah rute penularan yang sangat efektif, tetapi hal ini masih tergantung pada keganasan (virulensi) virus.

Sedangkan penularan tidak langsung dapat terjadi melalui orang, kendaraan, dan memberi makan produk daging yang terkontaminasi,

benda yang terkontaminasi oleh zat yang mengandung virus seperti darah, feses, urinatau air liur dari babi yang terinfeksi, atau pakan untuk babi hutan atau babi piaraan juga diasumsikan memainkan peran yang cukup besar dalam penyebaran penyakit tersebut.

Virus secara konsisten terdapat di tenggorokan babi yang tertular hingga 70 hari (de Carvalho Ferreira dkk, 2012).

Para peneliti ini melaporkan bahwa virus kadang-kadang terdapat di feses babi dengan titer yang sangat tinggi dan DNA virus juga bertahan dalam darah hingga 70 hari.

Disamping itu, sebagian besar hewan yang terinfeksi secara terus-menerus melepaskan virus ke lingkungan selama atau setidaknya 70 hari,

dan ini menjadi risiko yang harus dipertimbangkan dalam melihat kemungkinan risiko penularan penyakit tersebut.

Sebagai tambahan informasi, penyakit tersebut dapat ditularkan salah satunya melalui kontak langsung dengan babi yang terinfeksi.

Virus Babi Afrika
Virus Babi Afrika (ISTIMEWA)

Pengendalian dan Pengobatan Penyakit ASF

Meskipun ASF pertama kali diketahui hampir seabad yang lalu, namun pengendalian penyakit telah terbukti menjadi tantangan tersendiri

dan belum memberikan hasil yang memuaskan, khususnya karena tidak ada vaksin yang tersedia.

Satu-satunya langkah pengendalian yang bisa dilakukan yakni dengan karantina dan biosekuriti yang ketat, pembatasan pergerakan hewan, dan pemotongan hewan yang terkena/terpapar.

Sebagaimana diketahui bahwa penyakit tersebut merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus maka tindakan pencegahan mutlak dilakukan.Tidak ada pengobatan yang tersedia untuk penyakit ini.

Disamping itu, sampai saat ini belum ditemukan vaksin yang efektif walaupun telah dilaporkan adanya pengembangan vaksin untuk penyakit tersebut namun belum teruji mampu untuk mengendalikan penyakit ini.

Pembasmian hewan terinfeksi dan kontrol merupakan tindakan penanganan yang bisa dilakukan, sehingga berpotensi mengakibatkan kerugian yang ekstrim bagi produsen (peternakan babi).

Pencegahan dan pengendalian infeksi memerlukan pemahaman yang baik tentang epidemiologi dari penyakit tersebut, sehingga tindakan yang terfokus dan terencana serta terukur dapat dilakukan dengan baik.

Bagaimana dengan NTT? Sebagai wilayah yang berbatasan langsung dengan Timor Leste, NTT khususnya Timor Barat saat ini berada dalam ancaman serius,

terutama dilihat dari tingginya pergerakan babi di daerah perbatasan dengan Timor Leste melalui perpindahan manusia dari dan ke Timor Leste.

Dari beberapa hasil penelitian diketahui bahwa pergerakan/perpindahan babi khususnya perpindahan atau pergerakan yang bersifat non formal (illegal) lebih banyak dibandingkan yang formal atau legal,

sehingga kemungkinan penyebaran penyakit melalui perpindahan babi dapat diperkiraan cukup tinggi melalui rute tersebut.

Oleh karena itu, langkah yang harus dilakukan yakni dengan memperketat pengawasan di daerah perbatasan

terutama pada daerah yang menjadi jalan masuk baik resmi maupun tidak resmi di daerah Malaka, Belu dan Timor Tengah Utara yang merupakan daerah yang berbatasan langsung dengan Timor Leste.

Disamping itu, kerja sama kedua negara terutama dalam hal pembatasan pergerakan dan perpindahan babi melalui perpindahan orang dari ke dua Negara.

Biosekuriti menjadi keharusan pada peternakan babi dimana lalulintas orang atau kendaraan harus diawasi ketat.

Juga, penguatan kapasitas karantina pada daerah perbatasan menjadi suatu keharusan terutama untuk early detection agar agen penyakit tersebut tidak masuk ke wilayah RI

khususnya melalui wilayah Timor Barat (Malaka, Belu, dan Timor Tengah Utara, Timor Tengah Selatan, Kabupaten Kupang dan Kota Kupang).

Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah jangan membeli daging atau produk babi dari negara yang terjangkit penyakit ASF

atau berkunjung ke peternakan babi di negara yang tertular karena manusia dapat menjadi penular yang efektif bagi penyakit ini ketika kembali ke negara asal.

Selain itu, kampanye tentang penyakit ini pada masyarakat terutama pada peternak babi sudah harus dimulai agar masyarakat khususnya peternak babi mengenalnya

dan dapat melakukan upaya pencegahan dan juga penanganan bila suatu waktu penyakit tersebut benar-benar sudah masuk dan menyebar ke wilayah NTT. (*)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved