Opini Pos Kupang
Opini Pos Kupang 17 Juli 2019: UU Jakon vs UU Tipikor
Hal mendasar dari UU No 2/2017 yang terdiri dari 14 bab dan 106 pasal itu, tidak satupun pasal yang memuat sanksi pidana secara eksplisit.
Sebagaimana diketahui proses pengadaan barang dan jasa dilakukan untuk memilih dan menyeleksi penyedia jasa yang paling layak, paling cakap dan paling mampu dibandingkan peserta lelang lainnya untuk mengerjakan pekerjaan yang dilelangkan.
Sehingga selalu ada klausul dalam surat keputusan pemenang yang menyatakan yang bersangkutan dianggap cakap dan mampu melaksanakan tugas yang diberikan.
Seringkali kondisi ini menjadi sumber masalah. Ketidakmampuan dan ketidakcakapan para penyedia jasa konstruksi (kontraktor /konsultan) dan pengguna jasa (PA/KPA/Satker/PPK) bisa atau dapat berimplikasi pada perbuatan melawan hukum.
UU Jakon secara tegas mengatur penyelenggaraan jasa konstruksi tanpa sanksi pidana, bahkan jika terjadi kegagalan bangunan-pun, maka penyedia jasa akan dikenakan sanksi ganti rugi (sesuai pasal 67) atau sanksi administrasi (sesuai pasal 65 ayat 1 sd 5).
Artinya jika ada pekerjaan jasa konstruksi yang rusak dan atau terjadi kondisi kegagalan bangunan setelah penyerahan akhir FHO, terindikasi mengalami kerusakan, baik sebagian atau seluruhnya,
maka berdasarkan UU Jasa Konstruksi yang baru, penyedia jasa wajib menggantinya dengan bangunan baru atau membayar ganti rugi senilai pekerjaan yang rusak dan atau dikenakan sanksi admintrasi sesuai pasal 63 berupa,
peringatan tertulis, denda administratif, penghentian sementara kegiatan layanan jasa konstruksi, pencantuman dalam daftar hitam, pembekuan ijin dan/atau, pencabutan izin.
Walaupun demikian penyelenggaraan jasa konstruksi bisa dikategorikan sebagai perbuatan pidana korupsi, bila terjadi beberapa hal,
a) Adanya niat (mens rea) untuk melakukan mark up harga satuan bahan bangunan maupun harga satuan pekerjaan oleh pengguna jasa,
artinya sejak awal perencanaan telah diniatkan untuk melakukan mark up harga, yang dapat dilihat pada nilai Harga Perhitungan Sendiri (HPS/Owner Estimate/ Engeneer Estimate ),
b). Adanya niat memenangkan penyedia jasa tertentu walaupun penyedia jasa tersebut tidak memenuhi syarat minimum untuk memenangkan pelelangan dalam proses pengadaan barang dan jasa yang diikuti pemberian gratifikasi dari penyedia jasa ke pengguna jasa
c). Adanya potensi kerugian negara yang tidak dihilangkan potensinya dengan menyetor kembali kerugian negara sampai batas waktu yang ditentukan sejak pemberitahuan terjadinya potensi kerugian negara yaitu 60 hari kalender,
sehingga penyedia dan pengguna jasa dapat dikategorikan berniat untuk merugikan keuangan negara,
d). pengembalian kerugian keuangan negara sebagaimana point c diatas dilakukan pada saat telah dilakukan penyelidikan apalagi penyidikan oleh penyidik, maka pasal 4 UU Tipikor menyatakan bahwa
"pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 dan pasal 3."
e) Terjaringnya para pelaku Jakon dalam suatu operasi tangkap tangan (OTT) yang diduga ada kaitannya dengan pekerjaan jasa konstruksi yang sedang dan atau sudah dilaksanakan, walaupun keadaan kegagalan bangunan belum atau tidak terjadi.
Dari uraian di atas walaupun UU Jakon No 2/2017 telah "melindungi" pelaku jasa konstruksi dari kesalahan tafsir dan bias pemahaman tentang kegagalan bangunan,
apalagi dengan meniadakan istilah kegagalan konstruksi, namun pekerjaan jasa konstruksi bisa masuk dalam katagori perbuatan tipikor jika terjadi kesalahan yang diniatkan.
Dan kesalahan itu mengakibatkan kerugian negara sehingga memenuhi unsur Tipikor sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU tentang Tipikor. (*)