Renungan Harian
Renungan Harian Kristen Protestan Jumat 7 Juni 2019, "Berbicara dalam Diam"
Renungan Harian Kristen Protestan Jumat 7 Juni 2019, "Berbicara dalam Diam"
Tindakan Rizpa pada akhirnya menggugah hati Daud sehingga Daud memutuskan untuk menurunkan mayat-mayat itu untuk memakamkan mereka dengan cara yang layak.
Rizpa tak bisa berbicara dengan mulutnya, tetapi kesetiaan dan cintanya kepada anak-anaknya telah berbicara dengan keras dan memaksa Daud mengubah keputusannya.
Saudaraku… beberapa hal dapat kita renungkan:
Pertama: Dalam siatuasi yang seolah-olah tak berpengharapan, kita belajar dari Rizpa untuk terus berjuang, sebab dalam diam kita dapat berbicara dengan Allah untuk menyatakan isi hati dan pergumulan-pergumulan kita.
Kedua: Ada saat dimana kita tak dapat mengubah sebuah keadaan dengan bicara, tetapi dalam diam kita mendapat kesempatan untuk mendengarkan Allah berbicara kepada kita.
Dalam diam kita memiliki kesempatan untuk menilai sikap dan tindakan- tindakan kita agar kita makin hari makin bijaksanana dalam berkata-kata dan bertindak.
Agar kita punya waktu untuk mendengar suara orang lain, agar keputusan-keputusan yang kita ambil baik untuk pribadi, keluarga maupun masa depan banyak orang, lahir dari batin yang tenang dan penuh hikmat.
Ketiga: Rizpa mewakili kaum marginal seperti para pekerja anak, kaum penyandang disabilitas, korban kekerasan sosial dan politik, para penyintas perdagangan orang, dan kelompok rentan lainnyayang tidak mampu bersuara, tetapi memiliki spiritualitas yang luar biasa.
Oleh karena itu dalam siatuasi yang tidak berpengharapan oleh karena ketidakadilan, diskiminasi dan eksploitasi, iman orang-orang percaya tidak boleh padam.
Keempat: Kadang kita memandang kaum orang marjinal yang ada di sekitar kita sebagai objek dan tidak tahu apa, sebaliknya kitalah yang paling tahu tentang mereka.
Hari ini kita belajar dari Rizpa bahwa Ia tahu apa yang harus ia lakukan dana pa yang ia lakukan mampu memerdekakan anak-anaknya sebagai Gambar Allah.
Para marginalpun paling tahu tentang hidup dan pengalaman mereka. Oleh karena itu ketika kita hendak menolong, merekalah yang harus menjadi subjek dari perjuangan untuk menolak diskriminasi dan eksploitasi, pemiskinan dan pembodohan.
Kaum marjinal itu bisa jadi adalah para pekerja anak, kaum penyandang disabilitas, korban kekerasan sosial dan politik, para penyintas perdagangan orang, dan kelompok rentan lainnya.
Gereja mesti berada di sana, terlibat dalam perjuangan kaum pinggiran untuk harkat, hak, dan martabat mereka yang menderita dan tereksploitasi. Amin
(*)