Pentahbisan Majelis Jemaat GMIT Oemasi
Pdt Mesakh Dethan Minta Wariskan Bahasa Daerah Kepada Generasi Muda
Bahasa daerah dengan segala nilai-nilai kultural etis yang terkandung di dalamnya patut dilestarikan para orang tua Kristen kepada generasi penerus
Penulis: Ferry Jahang | Editor: Ferry Jahang
Pdt Mesakh Dethan Minta Wariskan Bahasa Daerah Kepada Generasi Muda
Laporan Wartawan POS-KUPANG.COM, Ferry Jahang
POS-KUPANG.COM, KUPANG-"Bahasa daerah dengan segala nilai-nilai kultural etis yang terkandung di dalamnya patut dilestarikan para orang tua Kristen kepada anak-anaknya dan generasi penerus.
Namun kesempatan mewariskan hal yang baik ini terkendala pada berbagai hal di antaranya orang tua sudah jarang berkomunikasi dengan anak-anaknya dalam bahasa daerah.
"Banyak anak-anak tidak lagi mengenal bahasa daerahnya sendiri, entah bahasa Rote, Timor, Sabu, Alor, Flores, Sumba dan lain sebagainya.
Kewajiban berbahasa Indonesia di sekolah-sekolah di Indonesia dan adanya "larangan berbahasa daerah" di sekolah menyebabkan keberadaaan bahasa daerah terancam punah pada suatu saat", demikian Pdt. Dr. Mesakh A.P. Dethan, Dosen Universitas Kristen Artha Wacana Kupang
dalam khotbahnya pada Kebaktian Pentahbisan Majelis Jemaat dan Kebaktian Pembukaan Perayaan Bulan Bahasa dan Budaya GMIT Efrata Oelmasi, Klasis Fatuleu Barat, yang dilayani Pdt. Zimrat Karmani, STh dan Pdt. Mesry Modok, STh, Minggu (5/5/2019).

Menurut Pdt. Dr. Mesakh Dethan yang sehari-hari sebagai staf pengajar pascasarjana UKAW Kupang ini, Tuhan Allah telah berkarya dalam sejarah dan kebudayaan umatNya. Jadi bukan hanya dalam sejarah dan budaya Israel tetapi juga dalam sejarah dan budaya seluruh umat manusia.
Sejarah keselamatan itu dipimpin olehNya menuju suatu tujuan. Pemahaman ini nanti diteruskan penulis kitab Wahyu: Tuhan Allah, yang ada dan yang sudah ada dan yang akan datang.
"Aku adalah Alfa dan Omega, firman Tuhan Allah, yang ada dan yang sudah ada dan yang akan datang, Yang Mahakuasa." (Wahyu 1:8, 21:6; 22:3), Ia Tuhan Yang Mahakuasa; (Yoh 8:24+ Wah 1:4+; Yes 42:8+.).
Menurut pakar Perjanjian Baru tamatan Universitas Heidelberg Jerman ini, bagi Gereja Masehi Injili di Timor bulan Mei telah ditetapkan sebagai bulan Budaya dan Bahasa.
Allah lanjutnya, dalam teks Keluaran 3:13-15 ini telah berbicara kepada umatNya dalam bahasa manusia, dalam bahasa yang dapat ditangkap oleh Musa bahwa Tuhan tidak pernah tinggal diam terhadap kejahatan dan kesewenang-wenangan.
Tuhan akan menolong umatNya melalui hambaNya Musa. Budaya dapat dipakai untuk kemuliaan nama Tuhan, tetapi budaya juga harus diterangi Firman Tuhan.
Dr. Mesakh Dethan mengatakan, yang menarik dari pasal ini adalah ketika Tuhan memanggil dan menugaskan Musa. Tuhan menyebut dirinya sebagai Tuhan nenek moyang para leluhur Israel, sekaligus Tuhan yang peduli pada penderitaan Israel (lihat Kel 3:6-8).

"Lebih menarik untuk diperhatikan ungkapan Ibrani dalam Kel 3:14 "eyeh asyer eyeh" (aku ada yang aku ada). Menurut alam pikiran Yahudi, sebagaimana yang ditekankan oleh beberapa penafsiran, nama ini mengungkapkan kepribadian Allah.
Ungkapan ini secara harafiah menurut patokan tata bahasa Ibrani juga dapat berarti Aku adalah Dia yang ada, atau Akulah yang ada," jelas Dr. Mesakh Dethan.
Dikatakan, para penterjemah Kitab Suci ke dalam bahasa Yunani (Septuaginta) memahami ungkapan Ibrani "eyeh asyer eyeh" di dalam arti dan makna yang seperti ini juga.
Mereka menterjemahkan: "Ego eimi ho on", yang artinya Allah satu-satunya yang sungguh-sungguh ada.
"Ungkapan ini dikaitkan langsung dengan ungkapan dalam Kel 3:15 TUHAN, Allah (Yahwe Elohim) nenek moyangmu, Allah Abraham, Allah Ishak dan Allah Yakub, telah mengutus aku kepadamu:
itulah nama-Ku untuk selama-lamanya dan itulah sebutan-Ku turun-temurun". demikian mantan wartawan Pos Kupang ini.
Jadi tambahnya, dua ungkapan penting dalam Keluaran 3:14, dan 15 ini mempunyai tujuh makna penting: pertama, makna iman, kedua makna historis, ketiga makna budaya, keempat makna sosial, kelima makna politis, keenam makna soteriologis, dan ketujuh makna eskhatologis (pengharapan masa depan).

Makna iman lanjutnya, menunjuk kepada keyakinan bahwa Tuhan lah pencipta dunia yang senantiasa memelihara umatnya (Kejadian 1 dan 2, bandingkan Wahyu 21:1-8).
Makna historis, Tuhan telah berkarya dalam sejarah umatnya, dan dalam sejarah para luluhur Israel, Abraham, Isakh dan Yakob dan seterusnya . Dan sejarah itu akan terus berlangsung karena Ia adalah Allah yang hidup, tidak dimakan api, tidak dimakan waktu dan atau apapun (Keluaran 3:2).
Makna budaya bahwa Tuhan tidak pernah berkarya dalam ruang kosong dan hampa, tetapi Ia berkarya dalam budaya para leluhur, berkarya dalam bahasa manusia, dalam ungkapan kata-kata yang dapat dimengerti manusia.
Makna sosial, Tuhan Allah hadir dalam kehidupan sosial umatnya, mulai dari Abraham, Isakh dan Yakob dstnya., secara turun temurun. Ia melindungi Abraham, Isakh, Yakob, dan lain-lain. Di dalam kehidupan sosial mereka dari bahaya peperangan, bahaya kelaparan (Kejadian 12:10 dst, 26:1 dst, 41:27 dst).
Makna politis, Tuhan selalu campur tangan atau mengintervensi kehidupan umatnya. Teriakan penderitan dan kesengsaraan umatnya. Di penindasan raja Firaun tidak didiamkan Allah, karena Ia adalah Allah yang setia dan ingat akan perjanjianNya (Kel 2:23-25)
Makna soteriologis, Tuhan adalah penyelamat umatnya. Ia akan membela dan menyelamatkan umatnya dari para penindas (Kel 2:23).
Makna eskathologis, Tuhan menjamin keselamatan dan masa depan umatnya, dan Ia senantiasa mengangkat hamba-hamba untuk menjalankan tugas itu untuk menjamin keselamatan umatNya.
Tuhan telah berkarya, sedang berkarya dan akan terus berkarya. Pengharapan masa depan umatnya dijamin Allah melalui pemanggilan dan penugasan Nabi Musa.
Akan tetapi Dr Mesakh Dethan mengingatkan, banyak budaya kita yang harus diterangi Firman Tuhan, karena ada budaya yang tidak sopan dan menindas. Ada budaya yang baik menurut agama suku tertentu, tapi bagi suku lain tidak baik.
Contoh mencuri dalam budaya agama suku tertentu mungkin di pandang baik. Mencuri dari orang kaya dipandang baik untuk menolong orang kaya itu jangan jatuh dalam kesombongan dan keangkuhan karena kekayaannya.
Juga budaya belis yang mencekik dalam perkawinan adat masyarakat tertentu, sehingga perempuan dianggap seolah barang yang dapat diperdagangankan. Sehingga kadang karena sang suami sudah membayar belis yang mahal kepada istrinya, maka ia dapat bertindak seenaknya pada istrinya.
"Mari kita bersikap dan menggunakan bahasa yang menceritakan kemuliaan Tuhan melalui sikap kita kepada sesama kita, dimana tidak menghina orang dan berlaku kasar kepada orang lain.
Banyak contoh dan ungkapan dan sikap budaya kita masing-masing yang menghargai orang lain, yang harus kita wariskan terus menerus kepada anak-anak, cucu-cucu dan cece kia".
Ketua Majelis Jemaat Efrata Oelmasi, Pdt.Zimrat Karmani, STh, yang didampingi rekan kerjanya Pdt. Mesry Modok, mengatakan kebaktian Pembukaan Bulan Bahasa dan Budaya 2019 ini juga disatukan dengan penahbisan Majelis Jemaat Efrata Olmasi yang baru untuk periode 2019-2023, yang berjumlah 73 orang dengan rincian penatua 42 orang, Diaken 16 orang dan pengajar berjumlah 15 orang. (*)