Ramadhan 2019

H-3 Ramadhan, Jumlah Rakaat Salat Tarawih yang Benar, 11 atau 20 Rakaat?

Jumlah rakaat sholat Tarawih disampaikan Ustadz Abdul Somad dan Ustadz Adi Hidayat, selain itu dari NU dan Muhammadiyah.

Penulis: Bebet I Hidayat | Editor: Bebet I Hidayat
AFP PHOTO/SURYO WIBOWO vis Kompas.com
Jumlah Rakaat Salat Tarawih yang Benar, 11 atau 20 Rakaat? 

Penjelasan:

Hadis no. 1, menunjukkan bahwa Nabi saw pernah melakukan shalat malam dengan kaifiyah dua raka’at lima kali salam dan witir satu raka’at. Hadis no. 2, menunjukkan bahwa Nabi saw shalat delapan raka’at, tetapi tidak diterangkan berapa kali salam. Adapun hadis no. 3, menunjukkan bahwa Nabi saw shalat malam di bulan Ramadhan delapan raka’at dengan dua kali salam, artinya tiap empat raka’at sekali salam, kemudian dilanjutkan shalat witir tiga raka’at dan salam.

Mungkin timbul pertanyaan, dari mana kita memperoleh pengertian sesudah shalat empat raka’at lalu salam? Pertanyaan tersebut dapat dijawab sebagai berikut: Pertama dari perkataan كَيْفَ (bagaimana) yang menunjukkan bahwa yang ditanya tentang kaifiyah shalat qiyamu Ramadlan disamping juga menerangkan jumlah raka’atnya. Kedua, kaifiyah itu diperoleh dari lafadz يُصَلِّي أَرْبَعًا . Lafadz itu mengandung makna bersambung (الوصل) secara dzahir (ظاهر); yakni menyambung empat raka’at dengan sekali salam, dan bisa mengandung makna bercerai (الفصل); yakni menceraikan atau memisahkan dua raka’at salam – dua raka’at salam. Namun makna bersambung itu yang lebih nyata dan makna bercerai jauh dari yang dimaksud (بَعِيْدٌ مِنَ اْلمُرَادِ). Demikian ditegaskan oleh Imam ash-Shan’ani dalam kitab Subulus-Salam (Juz 2: 13).

Hadis Aisyah ini menerangkan dalam satu kaifiyah shalat malam Nabi saw, disamping kaifiyah yang lainnya. Hadis Aisyah ini harus diamalkan secara utuh baik raka’at dan kaifiyahnya. Hadis Aisyah ini tidak ditakhshish oleh hadis صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى (shalat malam harus dua raka’at, dua raka’at), dan hadis tersebut tidak mengandung pengertian “Hashar” seperti dikatakan oleh Muhammad bin Nashar. Imam an-Nawawi dalam syarah Muslim mengatakan, shalat malam dengan empat raka’at boleh sekali salam (تسلمة ولحدة) dengan ungkapan beliau وهذا ليبان الجواز (salam sesudah empat raka’at menerangkan hukum boleh (jawaz)). Perkataan an-Nawawi tersebut dikomentari oleh Nashiruddin al-Albaniy dalam bukunya “صلاة التراويح” sebagai berikut:

وَصَدَقَ رَحِمَهُ اللهُ فَقَوْلَ الشَّافِعِيَّةُ: "يَجِبُ أَنْ يُسَلِّمَ مِنْ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ فَإِذَا صَلاَّهَا بِسَلاَمٍ وَاحِدٍ لَمْ تَصِحُّ"، كَمَا فِي اْلفِقْهِ عَلَي اْلمَذَاهِبِ اْلأَرْبَعَةِ وَشَرْحِ اْلقَسْطَلاَنِي عَلَي اْلبُخَارِي وَغَيْرِهَا خِلاَفُ هَذَا اْلحَدِيْثِ الصَّحِيْحِ وَمَنَافٌ لَقَوْلِ النَّوَوِي بِاْلجَوَازِ وَهُوَ مِنْ كِبَارِ اْلعُلَمَاءِ اْلمُحَقِّقِيْنَ فِي اْلمَذْهَبِ الشَّافِعِي فَلاَ عَذْرَ لِأَحَدٍ يُفْتِي بِخَلاَفِهِ. [صلاة التراويح، ص: 17-18]

Artinya: “Dan sungguh benar ucapan Imam an-Nawawi rahimahullah itu, maka mengenai pendapat ulama-ulama Syafi’iyyah bahwa wajib salam tiap dua raka’at dan bila shalat empat raka’at dengan satu salam tidak sah, sebagaimana terdapat dalam kitab fiqih mazhab empat itu dan uraian al-Qasthallani terhadap hadis al-Bukhari dan lainnya, hal itu menyalahi hadis (Aisyah) yang shahih itu serta menafikan terhadap ucapan (pendapat) an-Nawawi yang mengatakan hukum boleh (jawaz) itu. Padahal an-Nawawi salah seorang ulama besar ahli tahqiq dalam mazhab Syafi’i, hal itu tidak bisa ditolerir (dibenarkan) bagi siapapun juga berfatwa menyalahi ucapan beliau itu.” [Shalatut-Tarawih, hal 17-18]

Sebagaimana diketahui hadis Aisyah itu yang diriwayatkan al-Bukhari dan Muslim sangat kuat (rajih) dibanding dengan hadis-hadis lainnya tentang qiyamu Ramadlan. Sehubungan hal itu Ibnu al-Qayyim al-Jauzi menulis di dalam kitab Zadul Ma’ad:

وَإِذَا اخْتَلَفَ ابْنُ عَبَّاسٍ وَعَائِشَةُ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا فَي شَيْئٍ مِنْ أَمْرِ قِيَامِهِ بِاللَّيْلِ، فَاْلقَوْلُ مَا قَالَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا – حَفِظَتْ مَا لَمْ يَحْفَظِ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، وَهُوَ اْلأَظْهَرُ لِمُلاَزَمَتِهَا لَهُ وَلِمَرْعَاتِهَا ذَلِكَ، وَلِكَوْنِهَا أَعْلَمُ اْلخُلُقِ بِقِيَامِهِ بِاللَّيْلِ، وَابْنُ عَبَّاسٍ إِنَّمَا شَاهِدُهُ لَيْلَةَ اْلمَبِيتِ عِنْدَ خَالَتِهَا (مَيْمُونَةٌ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا). [زاد المعاد: 1: 244]

Artinya: “Dan apabila berbeda riwayat lbnu Abbas dengan riwayat Aisyah dalam sesuatu hal menyangkut shalat malam Nabi saw, maka riwayat yang dipegang adalah riwayat Aisyah r.a. Beliau lebih tahu apa yang tidak diketahui Ibnu Abbas, itulah yang jelas, karena Aisyah selalu mengikuti dan memperhatikan hal itu, Aisyah orang yang lebih mengerti tentang shalat malam Nabi saw, sedangkan Ibnu Abbas hanya menyaksikannya ketika bermalam di rumah bibinya (Maimunnah r.a.). [Zadul Ma’ad, 1: 244]

Diinformasikan oleh Imam asy-Syaukani, bahwa kebanyakan ulama mengatakan, shalat tarawih dua raka’at satu salam hanya sekedar menunjukkan segi afdlal (utama) saja, bukan memberi faedah Hashar(wajib), karena ada riwayat yang sahih dari Nabi saw, bahwa beliau melakukan shalat malam empat raka’at dengan satu salam. Hadis صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى hanya untuk memberi pengertian/ menunjuk (irsyad) kepada sesuatu yang meringankan saja, artinya shalat dua raka’at dengan satu salam lebih ringan ketimbang empat raka’at sekali salam.

Lebih jauh disebutkan dalam kitab Nailul-Authar, memang ada perbedaan pendapat antara ulama Salaf mengenai mana yang lebih utama (afdlal) antara menceraikan (الفصل = memisahkan 4 raka’at menjadi 2 rakaat satu salam, 2 rakaat satu salam) dan bersambung    (الوصل = empat raka’at dengan satu), sedangkan Imam Muhammad bin Nashar menyatakan sama saja afdlalnya antara menceraikan (الفصل) dan bersambung (الوصل), mengingat ada hadis sahih bahwa Nabi saw berwitir lima raka’at, beliau tidak duduk kecuali pada raka’at yang kelima, serta hadis-hadis lainnya yang menunjukkan kepada bersambung (الوصل). [Nailul-Authar: 2: 38-39]

Mengenai pendapat/ fatwa Syeikh Abdul Aziz bin Baz dalam Majmu‘ Fatawanya dan Dr. Shalih Fauzan bin Abdullah Fauzan dalam bukunya الملخص الفقهي yang mengatakan shalat empat raka’at sekali salam itu salah dan menyalahi sunnah, pendapat itu justru menentangkan sunnah dan terkesan ekstrim. Hal itu sama juga dengan pendapat sementara orang di Indonesia yang menyatakan shalat empat raka’at dengan satu salam adalah ngawur, mereka itu sangat terpengaruh dengan pendapat sebahagian ulama Syafi’i yang fanatik dalam hal tersebut seperti disebutkan oleh Muhammad Nashiruddin al-Albaniy (Kalau ingin memperluas uraian ini merujuklah kepada kitab-kitab shalat Tarawih karangan al-Albaniy itu).

Menurut hemat kami Syeikh Abdul Aziz bin Bas, dalam bidang akidah berpegang kepada ajaran yang dikembangkan oleh Muhammad bin Abdul Wahab, sedang dalam bidang fiqih sangat dipengaruhi oleh paham Ahmad bin Hambal (Hanbali), dan itu umum dianut penduduk Saudi Arabia.

Ahli hadis Indonesia seperti Prof. Dr. T.M. Hasbi ash-Shiddieqy (dalam bukunya Pedoman Shalat hal 514; begitu juga dalam “Koleksi Hadis-Hadis Hukum” Juz 5: hal 130), begitu pula A. Hassan pendiri Persatuan Islam, ahli hadis juga, dalam bukunya “Pelajaran Shalat, hal 283-284 kedua beliau itu berpendapat bahwa shalat tarawih/qiyamu Ramadlan empat raka’at sekali salam adalah sah, itu salah satu kaifiyah shalat malam yang dikerjakan oleh Nabi saw.

Sebagai informasi tambahan kami kutip di sini apa yang ditulis Imam an-Nawawi dalam kitab al-Majmu’(syarah al-Muhazzab, juz 5: 55), al-Qadli Husein berpendapat bahwa apabila shalat tarawih dilakukan dua puluh raka’at, maka tidak boleh/ tidak sah dikerjakan, empat raka’at sekali salam, tetapi harus dua raka’at sekali salam, bukan yang dimaksud oleh beliau itu shalat tarawih delapan raka’at.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil kaji ulang kami sebagaimana uraian/ penjelasan di atas, maka menurut hemat kami hadis tentang shalat Tarawih empat raka’at sekali salam tidak bermasalah, baik dari sisi matan maupun sanadnya.

Dalam buku Tuntunan Ramadan Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah yang diterbitkan oleh Majalah Suara Muhammadiyah, telah disebutkan bahwa jumlah raka’at shalat Tarawih empat raka’at salam dan dua raka’at salam merupakan tanawu’ dalam beribadah, sehingga keduanya dapat diamalkan.

Penjelasan Ustadz Abdul Somad

Satu video lain yang juga beredar luas adalah penjelasan dai kondang asal Riau, Ustadz Abdul Somad Lc, MA.

Video tentang penjelasan Ustadz Abdul Somad yang banyak dibagikan di Whatsapp ini dipublikasikan oleh Tafaqquh Video pada tanggal 9 Juni 2016.

Dalam video berdurasi 10 menit ini, alumnus Al-Azhar, Mesir (S1) dan Daar al-Hadits Al-Hassania Institute, Maroko (S-2) ini mengawali penjelasannya dengan membaca hadis Rasulallah yang diriwayatkan oleh Aisyah.

Terjemahan hadis dimaksud adalah “Sesungguhnya beliau (Rasulullah) tidak pernah menambah pada bulan Ramadhan, atau pada bulan lainnya. lebih dari sebelas raka’at. (HR Bukhari, Muslim).

“Jelas di situ (hadits) disebutkan 11 rakaat, tak lebih tak kurang,” ujar Ustaz Somad.

Lalu yang 23 itu datangnya dari mana?

“Itu riwayat disebutkan oleh jumhur ulama dari kalangan ahli fiqih mazhab Hanafi, mazhab Hambali, Daud Zhahiri, jumhurul ulama, mayoritas ulama,” ucap Ustaz Abdul Somad.

“Sesungguhnya kaum muslimin pada masa Umar bin Khattab dan Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib, mereka sholat 20 rakaat. Sepakat jumhur ulama, pada masa Umar bin Khattab, nama imamnya Ubay bin Ka’ab,” lanjutnya.

Dalam penjelasannya, Ustaz Abdul Somad, membaca sejumlah referensi yang menyebutkan bahwa mayoritas warga di Madinah dan Mekkah pada masa lalu sampai sekarang, sholat Tarawih sebanyak 20 rakaat, tambah 3 rakaat witir.

“Tapi Imam Malik agak berbeda. Sedangkan menurut Imam Malik bin Anas, sholat Tarawih itu 36 rakaat, tambah witir jadi 39 rakaat,” ujarnya.

UAS kemudian menjelaskan penjelasan kenapa jumlah rakaat jamaah di Masjid Nabawi (Madinah) membengkak menjadi 36 rakaat.

Yaitu karena untuk mengimbangi jamaah Tarawih di Masjidil Haram (Mekkah) yang bertawaf setiap selesainya empat rakaat.

Mengenai perbedaan antara 11, 23, dan 39 ini, Ustaz Abdul Somad mengutip pendapat ahli hadits dari mazhab Syafi'i yang terkemuka, Ibnu Hajar Al ‘Asqalani.

Dijelaskan, setelah menggabungkan beberapa riwayat hadits, Alhafiz Ibnu Hajar Al ‘Asqalani yang menghafal lebih dari 300 ribu hadits, mengambil kesimpulan.

“Ikhtilaf antara 11 dengan 23 dengan 39 ini, dilihat dari bacaannya panjang atau pendek. Kalau bacaannya panjang, maka rakaatnya sedikit, tapi kalau bacaannya pendek, ayatnya pendek, rakaatnya banyak. Begitu kesimpulan Alhafiz Ibnu Hajar Al ‘Asqalani,” papar Ustaz Abdul Somad.

Dosen Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim (UIN Suska) Riau ini menutup penjelasannya dengan mengutip pendapat Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baz rahimahullah, mufti Kerajaan Saudi Arabia di masa silam.

“Afdhal bagi makmum mengikuti sholat imam hingga imam itu selesai, apakah sholat (Tarawih) 11 rakaat, atau 13 rakaat, atau 23 raka’at, atau selain itu. Inilah yang afdhal, makmum mengikuti imamnya hingga selesai. 23 rakaat adalah perbuatan Umar ra dan para Sahabat, tidak ada kekurang dan kekacauan di dalamnya, akan tetapi bagian dari Sunnah  Al-Khalafa ar-Rasyidin. (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 11: 325).”

Berikut video lengkap penjelasan Ustaz Abdul Somad.

Sementara itu, Ustadz Adi Hidayat mengatakan, sholat Tarawih hanya ada ketika bulan Ramadhan tiba. Sholat Tarawih biasanya dilakukan selepas Isya hingga menjelang tengah malam.

Saat ini, ada perbedaan pendapat di kalangan ulama terkait jumlah rakaat dalam sholat Tarawih. Sebagian ulama mengatakan bahwa sholat Tarawih berjumlah 20 rakaat, sementara sebagian lainnya mencukupkan pada 8 rakaat saja.

Berikut penjelasan lengkapnya:

Asal Usul dinamakan sholat Tarawih menurut Ustadz Adi Hidayat

Jadwal IMSAK Wilayah Kupang dan DKI Jakarta

Jadwal imsakiyah bulan puasa Ramadhan 2019 untuk wilayah DKI Jakarta meliputi waktu imsak, salat, serta buka puasa.

Bulan suci Ramadhan 2019/1440 H tinggal menghitung hari.

Persiapkan diri Anda untuk menyambut bulan Ramadhan.

Satu informasi yang akan banyak dibutuhkan dan wajib dipantau sepanjang bulan Ramadan 2019/1440 H adalah jadwal imsakiyah.

Mengutip dari maklumat dari PP Muhammadiyah nomor 01/MLM/I.0/E/2019, 1 Ramadhan 1440 H jatuh pada Senin, 6 Mei 2019.

Dengan adanya keputusan tersebut, kemungkinan besar umat Islam dapat melaksanakan salat Tarawih pada Minggu, 5 Mei 2019 malam.

Penetapan 1 Ramadan 1440 H berdasar hasil hisab hakiki wujudul hilal yang dipedomani oleh Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah.

Sementara itu, pemerintah melalui Kementerian Agama (Kemenag) belum menetapkan secara resmi kapan 1 Ramadhan 1440 H/2019.

Sebab, pemerintah akan menggelar Sidang Isbat untuk menentukan dimulainya 1 Ramadhan.

Pemerintah tidak mengacu pada ketetapan yang telah dikeluarkan sejumlah organisasi Islam.

Kemenag akan menggelar Sidang Isbat awal Ramadan 1440 Hijriah di Auditorium HM Rasjidi, Kemenag RI, Jl MH Thamrin No. 6, Jakarta, Minggu (5/5/2019) mendatang.

Meski demikian, Kemenag telah merilis jadwal imsakiyah selama bulan puasa Ramadhan 2019.

Anda pun dapat mengecek jadwal imsakiyah selama bulan puasa Ramadhan 2019 di seluruh wilayah Indonesia lewat situs resmi Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kemenag.

(Link untuk cek jadwal imsakiyah selama bulan puasa Ramadhan 2019/1440 H ada di akhir berita)

Berikut jadwal imsakiyah bulan puasa Ramadhan 2019/1440 H untuk wilayah DKI Jakarta:

Muhammadiyah Tetapkan 1 Ramadhan 1440 H pada Hari Senin 6 Mei 2019

PP Muhammadiyah, satu di antara organisasi islam terbesar di Indonesia telah mengumumkan kapan awal puasa 1 Ramadhan 1440 H/2019.

Dalam maklumat PP Muhammadiyah nomor 01/MLM/I.0/E/2019, 1 Ramadhan 1440 H jatuh pada Senin, 6 Mei 2019.

Dengan adanya keputusan tersebut, kemungkinan besar umat Islam dapat melaksanakan salat Tarawih pada Minggu, 5 Mei 2019 malam.

Penetapan 1 Ramadan 1440 H berdasar hasil hisab hakiki wujudul hilal yang dipedomani oleh Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah.

Demikian dikutip Tribunnews.com dari rilis yang diunggah di akun Instagram resmi PP Muhammadiyah, @lensamu, Senin (25/3/2019).

Selain menetapkan awal 1 Ramadan 1440 H, PP Muhammadiyah juga mengumumkan kapan awal bulan Syawal dan Zulhijah 1440 H.

Untuk 1 Syawal 1440 H jatuh pada Rabu, 5 Juni 2019.

Sementara 1 Zulhijah 1440 H jatuh pada Jumat, 2 Agustus 2019.

Hari Arafah (9 Zulhijah 1440 H) jatuh pada Sabtu, 10 Agustus 2019.

Idul Adha (10 Zulhijah 1440 H) jatuh pada Minggu, 11 Agustus 2019.

Berikut ketetapan Ramadan, Syawal, dan Zulhijah 1440 H dari Muhammadiyah:

1. Ramadhan 1440 H

Ijtimak jelang Ramadhan 1440 H terjadi pada Minggu Kliwon, 5 Mei 2019 pukul 05.48.25 WIB.

Tinggi Bulan pada saat terbenam Matahari di Yogyakarta ( f= -07°48¢ (LS) dan l= 110°21¢BT ) = +05°48¢20²(hilal sudahwujud).

Dengan demikian, 1 Ramadhan 1440 H pada Senin, 6 Mei 2019.

2. Syawal 1440 H

Ijtimak jelang Syawal 1440 H terjadi pada hari Senin, 3 Juni 2019 pukul 17.04.46 WIB.

Tinggi Bulan pada saat terbenam Matahari di Yogyakarta ( f= -07°48¢ (LS) dan l= 110°21¢BT ) = -00°09¢22²(hilal belum wujud).

Artinya, 1 Syawal 1440 H jatuh pada Rabu, 5 Juni 2019.

3. Zulhijah 1440 H

Ijtimak jelang Zulhijah 1440 H terjadi pada hari Kamis, 1 Agustus 2019 pukul 10.14.35 WIB.

Tinggi Bulan pada saat terbenam Matahari di Yogyakarta ( f= -07°48¢ (LS) dan l= 110°21¢BT ) = +03°15¢41²(hilal sudah wujud).

Sehingga, 1 Zulhijah 1440 H jatuh pada Jumat, 2 Agustus 2019.

Penetapan 1 Ramadan 2019/1440 H oleh Muhammadiyah

Penetapan 1 Ramadan 2019/1440 H oleh Muhammadiyah (INSTAGRAM/@lensamu)

( POS-KUPANG.COM / bebet)

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved