Berita Puisi
Ini Puisi-Puisi Pos Kupang Minggu
Puisi-puisi minggu ini: Puisi-Puisi Anselmus Esron Nusri Namaku Gerimis: Aku adalah wanita penghibur.
Puisi-Puisi Anselmus Esron Nusri
Namaku Gerimis
Aku adalah wanita penghibur
Bagi sepasang kekasih
Yang sedang rindu
Aku terlahir dari hujan
Demi menyayangi perasaan luka
Pada puisi-puisimu
Sebab aku ada karena sepi rindumu
Rindu ada karena cinta menjauh
Sebab cinta itu adalah kamu
Dimulai dari tatapan pertama kita
Yang masih menyimpan malu
Di ujung dermaga ini
Namaku gerimis
Yang selalu menggoda dirimu
Tuk mempuisikan rindu
Dari syair-syair nakal
(10/03/19)
Nongkrong di Emperan Media
Malam minggu kemarin
Statusku nongkrong di emperan media
Ditemani secangkir kopi
Yang memberi sinyal
Mencari narsis di tengah
Bual-bual viral
Dia lupa pulang juga
Ketika senyum dan tatapan
Mata itu
Menggoda sukma
Saat kuota gratisan ramai-ramai
Membagikan bonus kepada
Pelanggan media yang setia
(1/03/19)
Minggu Pagi
Embun mengusap mata kantukku
Semalam
Kupu-kupu bersenandung gembira
Menjemur diri pada pucuk mawar
Sementara di bilik mungil ini
Doaku mencari ampun
Seperti rusa yang merindukan sungai
Dalam kitab-Mu
Tatkala tinta dosa masih
Membasahi diary hidupku
Tuhan
Di bawah altar-Mu ini
Doaku meminta ampun
(23/02/19
Puisi-Puisi Jhoni Lae
Hujan Yang Kesekian
Hari ini hujan. Jam dinding tergantung pasrah. Para pemulung berteduh di bawah serat-serat benang. Kepala mereka bermahkotakan asa yang terus berdenting seperti jam dinding yang tergantung. Dan pasrah.
Hari ini hujan. Pada kertas pena selalu berairkan kenangan. Lalu seperti pelari maraton, ia akan berlari secepat mungkin mencapai garis akhir di dalam hatimu.
Hari ini masih hujan. Air tergenang. Perahu plastik berlayar di seluruh ruas jalan. Tanpa nahkoda dan anak kecil tertawa melihatnya menilang angkot.
Hari ini hujan yang kesekian dan masih sama seperti dahulu-dahulu. Ada pemulung. Ada kekasih yang rindu dan ada perahu plastik.
(Kupang, 13 Maret 2019)
Ruang Tunggu
Di ruang tunggu
kami berdiri berbaris-baris
seperti sederetan angka
pada kalkulator
yang menunggu dijumlahkan
Di ruang tunggu kami masih berdiri mengeringkan peluh berkali-kali seperti seorang kekasih
yang berkali-kali mengeringkan rindunya
Kami masih di ruang tunggu
mencoba menanam asa
yang sewaktu-waktu bisa mati
jika penuai salah menuai di tanah yang kering atau bebatuan
Kami akan tetap di ruang tunggu
menunggu atau mengantri
tetap di ruang tunggu
seperti kasir menunggu pembeli yang lambat menghitung uang pembayarannya.
Puisi-Puisi Melki Deni
Manusia Kehilangan
Seorang lelaki tua menyingkir ke sudut barat kota,
Merebah ke bawah teduhan mawar putih mungil
Dihasutnya mawar putih mungil agar segera bunuh diri saja,
Sebab manusia akan mencincangya,
menjadi mangsa teknologi.
Seorang perempuan tua mengasingkan diri ke sudut timur kota,
Mengurung di dalam pohon beringin janda.
Dipujanya pohon beringin janda sebab masih bisa bertahan,
Sebab tetumbuhan lain dibunuh tanpa dosa pelanggaran,
menjadi korban kerakusan teknologi.
Sekembar bayi berusia dua hari menghilang ke langit keempat,
Menyembunyi di dalam cangkang alien-alien.
dilaknatinya bumi fana agar segara lenyap di bawah matahari.
Sebab manusia dari keadaan sudah kehilangan.
Melampaui Kemanusiaan
Manusia sekarang,
tiada lagi petuah, tiada hikayat.
Tiada lagi mulut, tiada gigi.
Segalanya ditelan tanpa dikunyah.
Manusia sekarang,
tiada lagi batas, tiada jarak.
Tiada lagi otak, tiada ingatan.
Segalanya luput dari catatan kaki.
Manusia sekarang,
tiada lagi permenungan, tiada doa.
Tiada lagi arah, tiada jalan.
Segalanya terhipnotis dalam cekatan maya.
Manusia sekarang,
tiada lagi kendali, tiada diri.
Tiada lagi saring, tiada tampih.
Segalanya bermain dalam kelampauan diri.
(Melki Deni, mahasiswa semester II STFK Ledalero-Maumere).