Opini Pos Kupang

Stunting dalam Kronologi Society 1.0-5.0

Pada masyarakat ini, penghargaan terhadap kehidupan belum tampak; pemahaman dan perilaku hidup sehat berada pada titik nadir.

Editor: Dion DB Putra
tribun lampung
ilustrasi 

Stunting dalam Kronologi Society 1.0-5.0

Oleh Dr. Marianus Mantovanny Tapung
Ketua LP2M STIKes St. Paulus Ruteng dan Sekretaris Perenial Institute

POS-KUPANG.COM - Pada makalah "Peran Strategis Perguruan Tinggi dalam Menangani Permasalahan Stunting"di salah satu kegiatan seminar di Ruteng, saya mengekspose mengenai satu gagasan terpaut stunting dalam lintasan sejarah perkembangan peradaban masyarakat (Indonesia).

Ekspose saya berperspektif sosio-antropologis, dimulai dari narasi era perkembangan masyarakat (Society, disingkat Sc) 1.0 hingga 5.0. Sc1.0 ditandai dengan aktivitas masyarakat seperti meramu, nomaden, berpindah-pindah tempat ketika berladang, cenderung barbar, memahami hidup masih sangat arkais/kuno, dll.

ARMY Siap-Siap! BTS Comeback Pertengahan April 2019 Depan!

Ramalan Zodiak Senin 11 Maret 2019, Aquarius Beruntung, Libra dan Scorpio Waspada

Diam-Diam Sule Masih Pajang Foto Lina di Ruang Pribadinya, Terbongkar Begini Alasannya!

Pada masyarakat ini, penghargaan terhadap kehidupan belum tampak; pemahaman dan perilaku hidup sehat berada pada titik nadir. Sejumlah penyakit epidemik muncul, dan berujung pada kematian massal atau cacat tubuh dan mental yang fatal.

Sejumlah penyakit ini tidak bisa ditangani karena berapa faktor penyebab tidak bisa didalami.

Belakangan muncul keyakinan, semua musibah (stunting, dll) disebabkan karena manusia tidak patuh terhadap alam dan kekuatan lainnya. Untuk memulihkan kondisi tersebut, dibuatlah ritus-ritus rekonsiliasi dengan rangkaian acara doa dan persembahan. Biasanya yang dijadikan korban adalah hewan seperti kerbau merah, kambing bertanduk, ayam jantan, dll.

Pada sejarah masyarakat kuno tertentu, manusia justru dijadikan korban persembahan demi rekonsiliasi hubungan manusia dengan alam atau kekuatan magis tertentu.
Sc2.0: Aktivitas masyarakat sudah tinggal menetap, bercocok tanam, membentuk keluarga, dan mengenal teknologi sederhana saat bertani dan berternak.

Mereka sudah mulai menemukan cara-cara menghargai kehidupan dengan pola konsumsi dan cara hidup sehat.

Pada bangsa China, Korea dan Jepang, pengobatan-pengobatan tradisional berbasis herbal sudah mulai berkembang, termasuk untuk menyembuhkan penyakit kritis-kronis.

Hal ini diikuti dengan adanya temuan mengenai cara mencegah berbagai prevalensi. Merekapun sudah mulai merangkai teknik-tehnik dasar keperawatan dan pengobatan, yang menjadi embrio ilmu keperawatan (caring) dan kedokteran (curing).

Ada asumsi hipotetik menyeruak, rata-rata orang Jepang tidak lagi berukuran badan pendek pada masa pasca perang dunia II, karena pada era ini mereka sudah menemukan dasar penumbuhan tubuh manusia, yang dikembangkan dengan baik pada masa berikutnya.

Sc3.0:Masyarakat sudah mengalami pencerahan (aufklarung). Mereka sudah berpendidikan sampai fase tertinggi dan mengenal pola hidup sehat yang rigid (pola konsumsi dan literasi gizi). Masyarakat ini bergerak dalam kepesatan teknologi industri.

Eropa dan Amerika yang terpapar kuat arus pencerahan budi ini, banyak menginovasi pernik teknologi moderen, tentu tak ketinggalan dalam dunia kesehatan.

Ilmu keperawatan dan kedokteran yang semula lahir di Asia, lalu dikembangkan secara lebih revolusioner, masif, adaptif dan aplikatif, termasuk di dalamnya konsep rekayasa genetik.

Pengembangan tersebut didedikasi untuk menangani masalah kesehatan yang besar, yang dalam berapa abad, dinilai tidak mungkin bisa disembuhkan atau diobati. Titik berat pemanfaatan ilmu yang dimiliki masyarakat adalah bagaimana melakukan berbagai tindakan kuratif terhadap berbagai bentuk patologi dalam kehidupan.

Dunia pendidikan keperawatan dan kedokteran menjadi investasi yang mahal, selain karena merujuk pada spirit `knowledge is power'; juga karena sangat dibutuhkan oleh masyarakat era ini.

Untuk negara-negara maju, masalah stunting sudah diselesaikan dengan cepat berkat kemampuan analisis keilmuan (melibatkan pakar/akademisi), goodwill dan political will dari masyarakat dan pemerintahannya.

Sc4.0: Masyarakat ini telah berafiliasi dengan teknologi (industri) digital dalam berbagai bidang kehidupan, juga bidang kesehatan. Internet of Things (IoT), Artifisial Intelligence (AI), Augmented Reality (AR), Big Data, dll., sudah dimanfaatkan secara masif dan efektif dalam dunia keperawatan dan kedokteran. Bahkan, fasilitas digital ini membantu menemukan pola baru dalam rekayasa genetis.

Informasi-informasi dasar mengenai kondisi tubuh bisa didapat dengan mengintip google. Ada banyak `kasus' disrupsi dalam dunia kesehatan dampak digitalisasi. Contoh, orang tidak lagi bertemu face to face ketika konsultasi kesehatan.

Cukup dengan mengakses (misalnya) www.dokter.com., segala hal dapat ditanyakan dan langsung bisa mendapat jawaban. Atau untuk memeriksaritme denyut nadi, orang bisa menggunakan aplikasi yang relevan untuknya di smartphone.

Media sosial (facebook, twitter, instagram, dll) kemudian bisa digunakan untuk mendiseminasi program-program kesehatan.

Bahkan influencers yang konsern dengan kesehatan masyarakat memberdayakan medsos ini secara murah untuk tujuan promosi kesehatan dan prevensi berbagai ancaman penyakit menular dan tidak menular.

Mirisnya, ada banyak kejadian "stunting memori" dari manusia era ini akibat akutnya kecanduan internet (Tempo, 25/02/2018). Kecanduan ini menyebabkan kerja sel melambat berimbas pada minimnya konsentrasi dan tergerusnya kualitas memori.

Belum ada obat yang bisa menawarkannya, sebab langsung melibas memori. Obat hanya menurunkan dopamin dan depresi.

WHO mengklasifikasikan kecanduan internet sebagai penyakit internasional ke-11. Belum lagi munculnya berbagai penyimpangan psiko-sosial akibat rendahnya sikap kritis dalam bermedia daring.

Cukup banyak perceraian suami isteri, akibat tidak cerdas dalam bermedsos, yang bisa berujung pada gangguan jiwa. Bila gangguan itu berlangsung pada masa kehamilan, maka sang ibu bisa saja melahirkan bayi dalam kondisi stunting, dari segi fisik maupun mental.

Sc5.0: Meski masih dalam format gagasan, masyarakat era ini merupakan kritik dan evaluasi terhadap faktualitas munculnya berbagai macam degradasi kemanusiaan, baik pada sisi ekonomi, pendidikan, kesehatan, maupun moralitas.

Masyarakat model ini memiliki tipikalitas cerdas, kritis serta berliterasi tinggi dalam menghayati dimensi-dimensi kehidupan. Menurut mereka, martabat manusia harus menjadi pertimbangan nomor satu dan terutama (humanity is the first and ultimate consideration).

Penghargaan bijak terhadap manusia sebagai maker dan user dibangun atas dasar prinsip: Manusia tidak boleh menjadi korban dari perkembangan yang dibuatnya, termasuk teknologi! Manusia dan alam lingkungan mesti dihargai secara seimbang dan setara.

Teknologi dalam segala level perkembangan harus diabdikan sebesar-besarnya bagi kepentingan umat manusia, dan demi keseimbangan alam lingkungan. Alam lingkungan sebagai penyuplai sumber kehidupan harus dijaga agar tetap memberikan makanan bergizi bagi tubuh manusia.

Nah, dalam rentang pertumbuhan masyarakat dari perabadan Sc1.0 sampai Sc4.0, maka ada dua titik kritisnya:

(1) secara kronologis, wajah peradaban masyarakat Indonesia sudah berada pada tahap puncaknya, yakni Sc4.0 dan sebentar lagi menuju Sc5.0.Tetapi secara fisiologis, masyarakat belum selesai dengan persoalan rendahnya kualitas SDM dalam domain pendidikan, ekonomi, kesehatan dan moral.

Lihat saja, laporan Human Development Report 2016: IPM Indonesia 2015 peringkat 113 dari 188 negara; tingkat kecerdasan anak Indonesia dalam bidang membaca, matematika, dan sains posisi 64 dari 65 berdasarkan Programme for International Student Assessment (PISA, 2016).

Literasi gizi Indonesia beradaposisi 60 dari 61 negara di dunia menurut World's Most Literate Nations. Dalam konteks propinsi NTT, IPM 2017: 63.73 jauh dari IPM Nasional (70.81). Per Maret 2018 ada 1.142.170 orang miskin di NTT.

Angka kekurangan gizinya mencapai 50 persen dan penyumbang terbesar untuk kasus stunting di Indonesia (PosKupang, 1/02/2018).

Konteks yang lebih kecil, Kab.Manggarai memiliki prevalensi stunting mencapai 58,78 persen. Sementara Kec.Reok Barat pada Desember 2018 terdapat 224 kasus stunting (Kompas, 29/12/2018). Belum lagi berkecamuknya ragam kasus intoleransi, korupsi, diskriminasi, narkotika, radikalisme, kejahatan maya, dll.

(2) Saya menduga ada semacam lentingan pergerakan terlalu grasa-grusu, dari era Sc3.0 menuju Sc4.0. Persisnya, pada era Sc3.0 kita hanya singgah sebentar, minus pendalaman dan intensitas.

Padahal, pada era ini masyarakat harus intensif mengurai kegelapan budinya dengan berbagai edukasi dan literasi. Tapi apa daya, sementara kehampaan itu belum terisi penuh, kita sudah langsung lenting pada era perkembangan teknologi informasi yang akseleratif, digitalitik, dan gigantik.

Ketika masih ada banyak hal yang belum teredukasi dan terliterasi secara komprehensif di era Sc3.0, kita lantas `terpaksa' berani loncat menuju Sc4.0. Alhasil, kita pun belum sepenuhnya mendapat pencahayaan terhadap berbagai hal, seperti cara memahami persoalan secara sistematis, analitik dan sintetik dan berkolaborasi dalam memberi solusi terhadapnya.

Untuk negara-negara maju seperti Finlandia, Jerman, Belanda, Jepang, Korea, Inggris, Amerika, dll., soal seperti stunting, malnutrisi, DBD, sudah diselesaikan pada era Sc3.0.

Sekarang, seharusnya kita dan mereka fokus masuk pada Sc5.0. Dengan narasi lebih kencang mengenai humanisme dan ekologisme atau dialektika keduanya, yakni:eco-humanisme. (*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved