Opini Pos Kupang
Stunting dalam Kronologi Society 1.0-5.0
Pada masyarakat ini, penghargaan terhadap kehidupan belum tampak; pemahaman dan perilaku hidup sehat berada pada titik nadir.
Teknologi dalam segala level perkembangan harus diabdikan sebesar-besarnya bagi kepentingan umat manusia, dan demi keseimbangan alam lingkungan. Alam lingkungan sebagai penyuplai sumber kehidupan harus dijaga agar tetap memberikan makanan bergizi bagi tubuh manusia.
Nah, dalam rentang pertumbuhan masyarakat dari perabadan Sc1.0 sampai Sc4.0, maka ada dua titik kritisnya:
(1) secara kronologis, wajah peradaban masyarakat Indonesia sudah berada pada tahap puncaknya, yakni Sc4.0 dan sebentar lagi menuju Sc5.0.Tetapi secara fisiologis, masyarakat belum selesai dengan persoalan rendahnya kualitas SDM dalam domain pendidikan, ekonomi, kesehatan dan moral.
Lihat saja, laporan Human Development Report 2016: IPM Indonesia 2015 peringkat 113 dari 188 negara; tingkat kecerdasan anak Indonesia dalam bidang membaca, matematika, dan sains posisi 64 dari 65 berdasarkan Programme for International Student Assessment (PISA, 2016).
Literasi gizi Indonesia beradaposisi 60 dari 61 negara di dunia menurut World's Most Literate Nations. Dalam konteks propinsi NTT, IPM 2017: 63.73 jauh dari IPM Nasional (70.81). Per Maret 2018 ada 1.142.170 orang miskin di NTT.
Angka kekurangan gizinya mencapai 50 persen dan penyumbang terbesar untuk kasus stunting di Indonesia (PosKupang, 1/02/2018).
Konteks yang lebih kecil, Kab.Manggarai memiliki prevalensi stunting mencapai 58,78 persen. Sementara Kec.Reok Barat pada Desember 2018 terdapat 224 kasus stunting (Kompas, 29/12/2018). Belum lagi berkecamuknya ragam kasus intoleransi, korupsi, diskriminasi, narkotika, radikalisme, kejahatan maya, dll.
(2) Saya menduga ada semacam lentingan pergerakan terlalu grasa-grusu, dari era Sc3.0 menuju Sc4.0. Persisnya, pada era Sc3.0 kita hanya singgah sebentar, minus pendalaman dan intensitas.
Padahal, pada era ini masyarakat harus intensif mengurai kegelapan budinya dengan berbagai edukasi dan literasi. Tapi apa daya, sementara kehampaan itu belum terisi penuh, kita sudah langsung lenting pada era perkembangan teknologi informasi yang akseleratif, digitalitik, dan gigantik.
Ketika masih ada banyak hal yang belum teredukasi dan terliterasi secara komprehensif di era Sc3.0, kita lantas `terpaksa' berani loncat menuju Sc4.0. Alhasil, kita pun belum sepenuhnya mendapat pencahayaan terhadap berbagai hal, seperti cara memahami persoalan secara sistematis, analitik dan sintetik dan berkolaborasi dalam memberi solusi terhadapnya.
Untuk negara-negara maju seperti Finlandia, Jerman, Belanda, Jepang, Korea, Inggris, Amerika, dll., soal seperti stunting, malnutrisi, DBD, sudah diselesaikan pada era Sc3.0.
Sekarang, seharusnya kita dan mereka fokus masuk pada Sc5.0. Dengan narasi lebih kencang mengenai humanisme dan ekologisme atau dialektika keduanya, yakni:eco-humanisme. (*)