Peringati International Womans Day, LMND Suarakan Hentikan Kekerasan Terhadap Perempuan

Terdapat satu baliho yang bertuliskan 'Hancurkan Kapitalisme dan Imperialisme untuk Pembebasan Kaum Perempuan.

Penulis: Gecio Viana | Editor: Rosalina Woso
POS KUPANG/GECIO VIANA
Suasana aksi LMND EW NTT dan LMND EK Kupang di depan gerbang Undana Kupang Jln Adisucipto Penfui, Kota Kupang, Jumat (8/3/2019). 

Peringati International Womans Day, LMND Suarakan Hentikan Kekerasan Terhadap Perempuan

POS-KUPANG.COM | KUPANG -- Momentum International Womans Day (IWD) yang jatuh pada tanggal 8 Maret setiap tahunnya diperingati mahasiswa di Kota Kupang dengan melakukan mimbar bebas, Jumat (8/3/2019).

Sejumlah mahasiswa yang melakukan aksi mimbar bebas tersebut tergabung dalam Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Eksekutif Wilayah NTT dan Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Eksekutif Kota Kupang.

Sekira pukul 15.00 Wita, mereka menggelar aksi di depan gerbang Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang Jln Adisucipto Penfui, Kota Kupang.

Berbekal pengeras suara, bendera organisasi, baliho dan spanduk mereka saling bergantian melakukan orasi politik.

Walaupun hujan mengguyur mereka, puluhan mahasiswa tersebut tetap bersemangat melakukan orasi hingga menarik perhatian warga sekitar dan para pengendara kendaraan bermotor.

Terdapat satu baliho yang bertuliskan 'Hancurkan Kapitalisme dan Imperialisme untuk Pembebasan Kaum Perempuan.

Dalam orasinya, mereka menyuarakan untuk menghentikan kekerasan terhadap kaum perempuan.

BREAKING NEWS : Banjir Bandang Terjang Dua Desa, 12 Rumah Rusak dan 22 Hektar Sawah Terbawa Banjir

TRIBUN WIKI : 600 Penari Meriahkan Penutupan Festival Enagera

Hari Ini Kapal Pelni Ada Yang Berlayar ke Waingapu

Kominfo Gandeng XL Axiata Kembangkan Wahana Belajar Digital “Pojok Pintar Sisternet”

"Kami memilih aksi sebagai wujud kepedulian kami terhadap perempuan yang tertindas karena sistem kapitalisme," kata koordinator aksi, Yuliance Valejo kepada POS-KUPANG.COM di sela-sela aksi mimbar bebas.

Mahasiswi Politani Kupang ini mengungkapkan, secara historis perjuangan kaum perempuan atas penindasan akibat sistem Kapitalisme terus dilakukan.

Bentuk perlawanan kaum perempuan yakni melawan penghisapan nilai lebih atas kerja mereka kepada para kapitalis yang memiliki alat produksi (pabrik). Bentuk penghisapan nilai lebih diantaranya kerja melebihi batas waktu (over time) dan upah yang rendah serta hak normatif lainnya yang tidak dipenuhi.

Di lain sisi, lanjut Yuliance, kesadaran untuk berlawan bagi kaum perempuan saat ini dirasakan masih minim.

"Di kota Kupang, belum ada kesadaran dari kaum perempuan yang peduli terhadap kasus perempuan yang ada. Kami berharap kaum perempuan dan rakyat untuk lebih memperhatikan kasus perempuan," ungkapnya.

Sementara itu, Ketua LMND EK Kupang, Iven Mukin mengatakan, momentum IWD adalah perlawanan perlawanan kaum buruh perempuan yang tertindas kebebasannya di dalam sistem kapitalisme.

Kabar Gembira Bagi Pencaker, BUMN Buka 11 Ribu Lowongan Dimana 1000 Dari Kawasan Timur Indonesia

Yosefina Minta Oknum Kades di Kecamatan Bikomi Ninulat Dihukum Seberat-beratnya

Berdasarkan catatan tahunan Komnas Perempuan, kata Iven, pada tahun 2018 tercatat terdapat 348,446 kasus kekerasan terhadap perempuam yang dilaporkan dan ditangani.

Sedangkan untuk Provinsi NTT sendiri, lanjut Iven, berdasarkan catatan Dinas pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P3A), tercatat sekitar 300 kasus pelanggaran terhadap perempuan dan anak.

Hal tersebut menunjukkan posisi kaum perempuan sering dijadikan objek kekerasan di dalam masyarakat. perempuan dianggap memiliki derajat yang lebih rendah daripada laki-laki.

"Anggapan ini tercermin dalam prasangka-prasangka umum dalam masyarakat seperti 'seorang istri harus melayani suami', 'perempuan adalah mahkluk yang lemah dan tidak bisa berbuat apa-apa', 'Perempuan menjadi pelengkap romantisme belaka," jelasnya.

Menurutnya, anggapan itu secara tidak langsung menekan kebebasan perempuan. Hal tersebut diperparah dengan penguatan dari struktur moral masyarakat yang terwujud dalam peraturan agama dan adat.

"Jika kita tinjau lebih jauh dari aspek sejarah, dalam bentuk masyarakat nomaden atau komunal primitif dengan corak produksi berburu dan mengumpulkan makanan sebagai sumber kehidupan, perempuan dan laki-laki memiliki derajat yang sama,' katanya.

"Kehidupan nomaden dalam masyarakat komunal primitif atau berpindah-pindah tidak menutup kemungkinan akan terjadi kelangkaan SDA. Kelangkaan SDA ini mengancam kehidupan masyarakat sehingga corak produksi berburu dan mengumpulkan makanan tidak bisa dipertahankan," paparnya.

Kabar Gembira Bagi Pencaker, BUMN Buka 11 Ribu Lowongan Dimana 1000 Dari Kawasan Timur Indonesia

Perempuan Pengusaha Berbagi Pengalaman Dalam Event Sotis Inspiring Women

Desakan ekonomi tersebut membuat manusia harus mencari jalan keluar menemukan corak produksi baru.

"Di sini kaum perempuan berhasil menemukan pertanian sebagai bentuk atau corak produksi yang baru. Mereka menggunakan keterampilan untuk mengolah biji-bijian menjadi tanaman yang digunakan sebagai bahan makanan untuk seluruh komunitas," ujarnya.

Dalam sistem pertanian pada waktu itu, karena tingkat teknologi yang belum memadai, peran laki-laki dan perempuan mengalami perubahan.

Proses reproduksi manusia menjadi salah satu proses yang penting untuk mendapatkan senamyyak mungkin tenaga pengolah lahan pertanian.

Aktivitas seksual yang awalnya dianggap tidak penting perlahan mulai dianggap sebagai keadaan yang logis dan menyingkirkan kaum perempuan dari kegiatan produksi.

"Tersingkirnya kaum perempuan dalam ranah produksi berkembang sampai tahap kapitalisme hari ini. Dalam corak produksi ini kaum perempuan khususnya buruh mendapat diskriminasi dan eksploitasi," jelasnya.

Bentuk nyata eksploitasi atas kaum perempuan dapat dilihat dalam upah yang tidak setara, eksploitasi jam kerja maupun eksploitasi terhadap tubuh seksualitas perempuan yang dijadikan komoditas, pelecehan seksual, serta penerapan Undang-Undang Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003 pasal 81 ayat (1) yang telah diatur namun implementasinya masih sangat problematis.

Garuda Akan Kembali Terbangi Kota Nagoya

Teenager: Teeners, Hadapi Teman Berwajah Dua Dengan Cermat

Lebih lanjut, di Provinsi NTT selain kekerasan berupa fisik yang diterima perempuan seperti data yang dirangkum dari Dinas P3A, kekerasan psikis juga dialami perempuan (mama-mama dan remaja putri) dalam menolak tambak garam seperti persoalan pembangunan tambak garam di Desa Ponu, Kabupaten TTU dan Desa Mota’ain, Kabupaten Malaka.

"Mereka juga nantinya akan kehilangan sektor produktif berupa tanah akibat pembangunan tambak garam maupun perusahaan lainnya seperti yang terjadi di Desa Ponu, Kabupaten TTU dan desa Mota’ain, Kabupaten Malaka," paparnya.

Selain itu, dalam aksi tersebu secara kolektif juga menyerukan wujudkan emansipasi perempuan dan lawan budaya patriarki.

Menuntut upah yang layak dan perlindungan untuk kaum buruh perempuan, Stop pembatasan hak atas tubuh kaum perempuan, dan Stop pelecehan seksual terhadap kaum buruh perempuan di tempat kerja dan kaum perempuan lainnya.

Lebih lanjut, menuntut disahkannya RUU pencegahan kekerasan seksual perempuan (RUU PKS), Hentikan Diskriminasi terhadap kaum perempuan dalam ranah ekonomi, sosial, politik dan budaya.

Selanjutnya menuntut diberikannya hak-hak normatif bagi mama-mama di Desa Ponu (Lokasi Sp1 dan Sp2), Kabupaten TTU
dan desa mota’ain, kabupaten MALAKA yang berjuang menolak tambak garam.

Stop aktivitas tambak garam yang mengancam kesejahteraan mama-mama di ponu, lokasi Sp1 dan Sp2 dan Desa Mota’ain Malaka.

Tolak Tambang garam yang menyingkirkan sektor produktif mama-mama di Ponu dan Mota’ain dan Hentikan eksploitasi kaum buruh perempuan dalam kerja.(Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Gecio Viana) 

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved