16 Tahun Lahan Tak Disertifikat APR NTT Lapor Ombudsman Provinsi NTT
Aliansi Perjuangan Rakyat (APR) NTT, melaporkan persoalan sertifikasi lahan bagi 52 KK WNI Eks Timor-Timur ke Ombudsman NTT
Penulis: Gecio Viana | Editor: Adiana Ahmad
16 Tahun Lahan Tak Disertifikat APR NTT Lapor Ombudsman Provinsi NTT
Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Gecio Viana
POS-KUPANG.COM | KUPANG- Aliansi Perjuangan Rakyat (APR) NTT, Kamis (7/2/2019) siang, melaporkan persoalan sertifikasi lahan bagi 52 KK WNI Eks Timor-Timur ke Ombudsman NTT. Penyebabnya, proses sertifikasi lahan di Desa Oebelo Kabupaten Kupang yang ditempati WNI eks Tim-tim itu terkesan dibiarkan oleh Pemprov NTT selama 16 tahun.
Koordinator Aliansi Perjuangan Rakyat (APR) NTT, Fransisco Lopes kepada POS-KUPANG.COM, usai melapor ke Ombudsman NTT, Kamis siang, mengatakan, sebanyak 381 WNI EksTimor-Timur tersebut menghuni lahan seluas 3 ha yang disediakan oleh Pemprov NTT sejak tahun 2003.
Saat melapor ke Ombudsman, Fransisco yang juga Ketua Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Eksekutif Wilayah NTT ditemani oleh perwakilan Keluarga Besar Lospalos Lokasi Atas (KBLLA) Oebelo, Antonio Anonio Da Costa, Ketua Pemuda Oebelo Peduli Rakyat Tertindas (Poprater) Oebelo, Mariano Marthins dan Ketua RT 18 RW 007 desa Oebelo, Fransisco Xavier da Silva.
Menurut Fransisco, Pemprov NTT saat itu berjanji akan memberikan sertifikat tanah bagi setiap kepala keluarga yang ada.
Namun, kata Fransisco, hingga 16 tahun berlalu janji tersebut tidak realisasi.
Ia mengaku, sejak empat tahun terakhir bersama masyarakat yang tergabung dalam APR NTT terus mengawal masalah tersebut.
Aksi masa telah empat kali dilakukan bersama dalam kurun waktu empat tahun dan puluhan kali melakukan audiens dengan berbagai instansi termasuk perwakilan Pemprov NTT, Pemkab Kupang, BPN Wilayah NTT dan BPN Kabupaten Kupang.
Bahkan telah dilakukan rekonstruksi dan pengukuran lahan yang dilakukan BPN Kabupaten Kupang pada tahun 2017 lalu.
Namun, lanjut Fransisco, semua upaya tersebut tak kunjung membuahkan hasil.
"Aksi-aksi yang dilakukan APR NTT atau pertemuan dengan tim kerja Pemprov NTT dan Kabupaten Kupang tidak membuahkan hasil sehingga kami dari aliansi berdiskusi dan sepakat untuk membuat pengaduan ke ombudsman untuk menindaklanjuti sikap dari pemerintahan provinsi atau tim kerja yang dibentuk terkait kepastian hukum hak atas tanah (sertifikat)," jelasnya.
Dirinya berharap, langkah yang diambil bersama ini dapat mendesak pemerintah untuk segera melakukan sertifikasi lahan yang ditempati warga eks Timor-Timur.
Selain itu, ia berharap Ombudsman RI Perwakilan NTT melalui laporan yang telah diberikan dapat membantu masyarakat secara optimal untuk mendapatkan sertifikat tanah.
"Kami harap Ombudsman memberikan penekanan atau apa yang menjadi tugas dan fungsi dari Ombudsman untuk mengawal persoalan sertifikasi tanah 3 Ha bagi 52 WNi Eks Tim-Tim yang bertempat tinggal di RT 18/ RW 007 Desa Oebelo Kecamatan Kupang Timur, Kabupaten Kupang," katanya.
Dikesempatan yang sama, Koordinator Keluarga Besar Lospalos Lokasi Atas (KBLLA) Oebelo, Antonio Anonio Da Costa mengatakan, masyarakat sudah jenuh dengan janji pemerintah untuk menyertifikasi lahan yang ditempati warga eks Timor-Timur.
Menurutnya, Pemprov NTT telah melanggar janji dan komitmennya untuk menyelesaikan masalah tersebut. Saat aksi masa pada tanggal 4 Juni 2018 lalu, Pemprov NTT berjanji segera menyelesaikan masalah ini dan memenuhi tuntutan masyarakat.
"Upaya yang kami lakukan tidak ditanggapi secara serius oleh pemerintah. Kalau saya pelajari tanggung jawabnya negara dimana membantu masyarakat, tetapi sampai saat ini upaya yang kami lakukan melalui aksi dan audiens serta sudah ada tim kerja dari Bupati sampai Gubernur juga belum ada hasil," paparnya.
Ia mengaku, Ombudsman RI Perwakilan NTT sebagai sebuah lembaga yang independen, profesional dan kredibel diharapkan dapat membantu masyarakat untuk mendapatkan hak atas tanah yang telah dihuni belasan tahun.
"Mau tidak mau kita harus mengadu kemana lagi, ternyata ada lembaga yang independen untuk bisa membantu kami pendekatan sehingga kami secepatnya juga kan bisa mendapat kepastian hukum hak atas tanah (sertifikat), karena 16 tahun bukan waktu yang cepat," ujarnya.
"Harapan kami secepatnya, kalau tidak maka kami yang mau tidak mau harus turun lagi ke jalan (demonstrasi) apapun resikonya turun lagi. Mungkin itu yang perlu dipikirkan birokrasi yang sekarang dan secepatnya selesaikan. Jangan pernah anggap remeh persoalan masyarakat," tambah Antonio.
Secara terpisah, Asisten Ombudsman RI Perwakilan NTT, Ola Mangu K. Kanisius, SH., MH mengatakan, laporan masyarakat sudah diterima Keasistenan Penerimaan dan Verifikasi Laporan (PVL). Kelompok asisten ini akan melakukan verifikasi formil dan materil laporan.
Apabila verifikasi formil dan materil laporan lolos, kata Ola Mangu Mengatakan, laporan tersebut selanjutnya akan masuk ke Keasistenan Pemeriksaan untuk dilakukan tindak lanjut pemeriksaan.
"Tindakan pertama adalah pemeriksaan dokumen. Setelah itu hasil atau produknya adalah Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan Dokumen (LAHPD) yang akan memberikan gambaran tindakan selanjutnya. Setelah itu kita minta penjelasan dari terlapor bisa dilakukan tertulis atau langsung," kata Ola Mangu.
Dari proses yang ada, jelas Ola Mangu, pihaknya akan melakukan pemeriksaan objek yang dilaporkan. Akan tetapi hal ini tidak wajib atau optional saja.
Dia menjelaskan, dalam rangkaian pemeriksaan bisa ditemukan tiga hal yakni adanya maladministrasi, tidak ditemukan maladministrasi dan laporan selesai.
"Bagi laporan yang ditemukan maladministrasi kita akan menyampaikan ke terlapor untuk menindaklanjuti tindakan korektif yang kami sarankan," katanya.
Apabila terlapor tidak menindaklanjuti tindakan korektif dari Ombudsman selama 30 hari, lanjut Ola, maka laporan masyarakat tersebut akan dilimpahkan ke Ombudsman pusat yaitu di Tim Resolusi dan Monitoring
"Nantinya akan diproses untuk diterbitkan resolusi dan rekomendasi, karena kewenangannya hanya di pusat," ucapnya.
Untuk batas waktu penyelesaian laporan masyarakat, terang Ola, sangat dinamis karena tergantung dari kecepatan instansi terlapor merespon.
"Kalau di PVL tergantung dari kelengkapan dokumen yang diberikan karena mungkin saja ada data-data atau hal lain yang diperlukan pelapor. Tapi ada informasi yang kami laporkan ke pelapor terkait status atau persoalan yang kami tangani," demikian Ola. (*)