Jhon Tuba Helan Sebut UU ASN Perlu Dikaji Ulang, Ini Alasannya

Pengamat Hukum dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, Dr. Jhon Tuba Helan Sebut UU ASN Perlu Dikaji Ulang, Ini Alasannya

Penulis: Gecio Viana | Editor: Kanis Jehola
POS KUPANG.COM/AMBUGA LAMAWURAN
Pengamat Hukum asal Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, Jhon Tuba Helan, sewaktu memberikan keterangan kepada wartawan POS-KUPANG.COM digedung DPRD NTT, Kamis (6/12/2018). 

Jhon Tuba Helan Sebut UU ASN Perlu Dikaji Ulang, Ini Alasannya

POS-KUPANG.COM | KUPANG - Pengamat Hukum dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, Dr. Jhon Tuba Helan mengatakan, Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) perlu dikaji ulang, Kamis (31/1/2019).

Hal tersebut disampaikannya saat dimintai komentarnya terkait maraknya ASN yang dipecat karena melakukan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di Indonesia, Kamis (31/1/2019) siang.

Menurutnya, regulasi yang ada menimbulkan multi tafsir, tumpang tindih dan menimbulkan penafsiran yang berganda.

Lantamal VII Gelar Latihan Pengamanan Pilpres dan Pileg 2019 di Kupang

Dijelaskannya, ketika ASN menggunakan kewenangannya dalam penyelenggaraan pemerintahan seperti pengerjaan proyek yang menggunakan anggaran negara, para ASN menafsirkan peraturan atau UU secara berbeda.

"Mereka (ASN) menafsirkan UU secara lain. Kemudian menurut mereka itu baik. Namun setelah itu dari pihak hukum mengatakan bahwa itu salah kemudian mereka dijerat," ungkapnya.

Dukcapil Kota Kupang Dapat 10.000 Blanko e-KTP

Para ASN yang terjerat Tipikor, lanjut Jhon, tidak selamanya 'makan' uang negara melainkan melakukan penyalahgunaan wewenang dan melakukan perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian negara.

"Karena kita di Indonesia, sistem pengelolaan administrasi pemerintahan itu sangat banyak, bertingkat-tingkat, macam-macam, tumpang tindih dan multi tafsir satu sama lainnya," katanya.

Selain itu, para ASN yang terjerat Tipikor karena menjadi korban karena mengikuti kehendak atasan atau pimpinannya

"Karena saya temukan bahwa ASN tahu apa yang dilakukannya salah, akan tetapi saat atasan memaksakan dia (ASN) melaksanakan. Sehingga kemudian saat terjadi masalah sulit untuk membuktikan sang atasan terlibat karena perintahnya dia adalah perintah lisan," ujarnya.

"Misalnya pejabat pembina kepegawaian atau kepala daerah sulit untuk membuktikan. Tapi kalau ASN yang sebagai PPK (Pejabat Pembuat Kesepakatan) atau pada level pekerja dia langsung dijerat karena ia yang melakukan langsung begitu," contohnya.

Dia menambahkan, terdapat beberapa kasus seperti pengelolaan anggaran dimana belanja barang telah dilakukan akan tetapi saat pertanggungjawaban para ASN diperintahkan oleh atasannya untuk menandatangani segala dokumen yang ada.

sehingga, kata Jhon, saat terjadi masalah atau Tipikor, ASN tersebut yang dijerat.

Menurutnya hal tersebut sangat tidak adil bagi ASN dan harus dipilah ASN yang mungkin terlibat dalam Tipikor serta memiliki niat untuk melakukan korupsi dengan ASN yang tidak memiliki niat atau motif untuk melakukan korupsi.

"Barangkali dia harus dipecat karena dia terlibat akan tetapi, jika kita lihat sedih juga karena sangat tidak adil dan saat memberikan keterangan satu sen uang tidak dikorupsi oleh ASN. Hanya karena salah menafsirkan aturan, loyal terhadap atasan ini yang perlu dilihat," katanya.

Lebih lanjut, para ASN diberikan sanksi tegas berupa pemecatan secara tidak hormat akan tetapi di lain sisi, lanjut Jhon, regulasi juga mengatur para mantan napi koruptor bisa menjadi pejabat politik.

Menurutnya, pejabat politik seperti kepala daerah baik gubernur dan bupati yang menjadi seharusnya bersih dari kasus korupsi.

"Anehnya seorang pembina kepegawaian seorang napi koruptor sedangkan ASN tidak boleh dan harus diberhentikan. Ini yang membuat saya melihat rasa ketidakadilan di situ seperti pejabat politik lain seperti DPRD, DPR RI dan DPD boleh mantan napi koruptor yang hari ini menjadi polemik," ungkapnya.

Regulasi yang mengatur mantan napi koruptor dapat menjadi pejabat politik tertuang dalam UU No 10 Tahun 2016 Perubahan Kedua Atas UU No 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi Undang-Undang.

"Undang-undang itu membolehkan seorang mantan napi koruptor menjadi calon pejabat politik. Artinya kalau dia terpilih berarti seorang kepala daerah seorang mantan napi koruptor padahal posisinya dia sebagai pembina kepegawaian. Hal ini sangat disayangkan," katanya. (Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Gecio Viana)

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved