Berita Kota Kupang
WALHI NTT Terbitkan TUAK Lontar II 2018. Yuk Simak!
masa kampanye pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Nusa Tenggara Timur 2018 dengan garang bicara di depan publik untuk melakukan moratorium
Penulis: Gecio Viana | Editor: Rosalina Woso

POS-KUPANG.COM | KUPANG - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) NTT menerbitkan Tinjauan Akhir Tahun Lingkungan Hidup Orang NTT dan Resolusinya (TUAK LONTAR) II 2018, Selasa (1/1/2019).
Berdasarkan siaran pers yang diterima POS-KUPANG.COM Selasa siang, WALHI NTT melalui Direktur WALHI NTT, Umbu Wulang Tanaamahu Paranggi menyebutkan SK Moratorium Tambang yang dikeluarkan Pemprov NTT hanya memberi harapan palsu.
Umbu menjelaskan, Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat dan Wakil Gubernur NTT, Joseph Nae Soi (Victory-Joss), dalam masa-masa kampanye pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Nusa Tenggara Timur 2018 dengan garang bicara di depan publik untuk melakukan moratorium pertambangan mineral dan batubara di Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Tidak hanya berjanji melakukan Moratorium, lanjut Umbu, pernyataan yang 'lebih indah' ditegaskan Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat dan Wakil Gubernur NTT, Joseph Nae Soi pada saat dua politisi ini dilantik menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur NTT terpilih untuk Periode 2018-2023.
• Ramalan Shio 2019 Paling Lengkap, Ternyata Ada yang Kurang Beruntung
"Josep Nae Soi, saat kunjungan pribadi kepada Uskup Maumere, Mgr. Gerufus Kherubim Parera, SVD (Pos Kupang, 8 September 2018) mengatakan 'Izin yang sudah ada dan masih berlaku akan kami cabut. Izin yang sementara proses akan dihentikan'. 'Tambang bukan pilihan yang baik untuk tingkatkan ekonomi rakyat NTT” ujar Viktor Bungtilus Laiskodat (Tempo, 10 September 2018)," kata Umbu.
Pernyataan dua pemimpin NTT tersebut, ungkap Umbu, bak angin surga, menjanjikan masa depan gemilang tanpa tambang bagi publik NTT. Janji itu bagi masyarakat di lingkar tambang yang sudah puluhan tahun berjibaku dengan persoalan tambang.
"Bukan kesejhteraan yang didapat dari tambang minerba justru kehilangan ruang produksi massal terjadi. Kemiskinan justru makin menjadi jadi. Wajarlah, masyarakat lingkar tambang begitu riang mendengar janji tersebut," ujarnya.
"Rupanya, Pernyataan Viktor Bungtilu Laiskodat dan Yoseph Nae Soi yang semula memberi harapan bagi masyarakat NTT ternyata berbanding terbalik dengan isi Surat Keputusan (SK) Gubernur NTT No 359/KEP/HK/2018 tentang Penghentian Sementara Pemberian Izin Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara di Provinsi Nusa Tenggara Timur yang disahkan pada 14 November 2018," tambahya.
Menurutnya, SK tersebut justru hanya berkutat pada evaluasi administrasi teknis dan finansial yang, ujungnya hanya akan bermuara pada aspek tatakelola semata seperti clean and clear dan kewajiban keuangan perusahaan sebagaimana tertuang dalam Diktum Keempat poin b yang berbunyi ‘melakukan evaluasi administrasi, teknis, dan finansial terhadap pemegang izin usaha pertambangan yang ada dan merekomedasikan kelayakan operasi dari pemegang IUP dimaksud’.
Parahnya lagi, SK yang ditandatangani Viktor Bungtilu Laiskodat tersebut, kata Umbu, hanya berlaku satu tahun (Diktum Ketujuh), dan hanya menghentikan sementara pemberian izin usaha pertambangan mineral dan batubara di Provinsi Nusa Tenggara Timur (Diktuk Kesatu). Artinya yang dimoratorium itu hanya sebatas penghentian kegiatan pertambangan yang ada dan izin tambang baru sembari melakukan evaluasi izin tambang -exsisting- yang semuanya berpotensi tetap beroperasi selama dinyatakan layak secara administratif.
Umbu melanjutkan, seluruh isi dari SK tersebut tidak ada satu diktum pun yang mencerminkan keseriusan Viktor Bungtilu Laiskodat dan Yoseph Nae Soi untuk menghentikan pertambangan di NTT sebagaimana digembar-gemborkan pada saat kampanye dan pidato perdana waktu pelantikan.
"Mestinya, SK moratorium tambang di NTT sama sekali abai pada fakta empiris, soal sumber penghidupan mayoritas masyarakat yang bergantung pada sektor pertanian dan peternakan. Mengingat, kehadiran tambang di NTT sudah menimbulkan kerusakan yang amat parah-tak terpulihkan, seperti yang terjadi di Serise, Tumbak, Satarteu, Lengkololok di Manggarai Timur; Robek, Maki, dan Timbang di Manggarai; Desa Ekin, Kecamatan Lamaknen Selatan di Belu; Oenbit dan Biboki di Timor Tengah Utara, Supul dan Mollo di Timor Tengah Selatan; dan Wanggameti di Sumba Timur; Prai Karoku Jangga di Sumba Tengah," paparnya.
Kehadiran tambang di wilayah-wilayah tersebut sudah dan sedang merampas tanah-tanah warga, merusak dan mencemari sumber air, merusak hutan dan situs-situs adat, mencemari laut, konflik sosial, intimidasi dan kriminalisasi yang berujung di penjara.
"Sialnya lagi pengorbanan sedemikian besar tidak berbanding lurus bagi pendapatan NTT. Sektor tambang Minerba hanya menyumbang 1 sampai tiga persen dari total PAD (Pendapatan Asli Daerah) NTT dari tahun ke tahun," tambahnya.
SK Moratorium tambang di NTT, lanjut Umbu, juga luput untuk menegaskan perlunya langkah pemulihan sosial dan ekologi, sebab aktivitas pertambangan telah menimbulkan kerusakan yang dasyat bagi ruang hidup juga konflik sesama warga hingga saat ini.
Selain itu, menurutnya, SK Moratorium ternyata juga tidak melakukan moratorium tambang minerba secara menyeluruh dalam konteks pelaku. Tambang rakyat tetap dibiarkan beroperasi dengan catatan merupakan WPR (Wilayah Pertambangan Rakyat).
"Pertanyaannya sejak kapan NTT mempunyai kebijakan sekaligus peta pertambangan rakyat. Bagi WALHI NTT, pelonggaran ini merupakan upaya untuk membebankan semua urusan teknis pertambangan kepada rakyat yang sebenarnya tidak memiliki skill yang mumpuni untuk urusan ini. Ujungnya bahan tambang tersebut tetap masuk ke perusahan," ungkapnya.
Ia menuturkan, tambang rakyat pada prakteknya kerap adalah upaya 'cuci tangan' perusahan tambang untuk tidak bertanggungjawab soal keselamatan kerja.
Perusahan tambang, kata Umbu, tinggal menerima hasilnya tanpa mengeluarkan biaya untuk kesehatan dan keselamtan pekerja.
"SK Moratorium ini sekali lagi gagap untuk membaca realitas skema licik bisnis tambang di NTT. Siapa yang bertanggungjawab dengan sekian korban yang meninggal dunia di lubang tambang mangan di Timor? Seperti yang terjadi pada Ida Ketrajara Alunpa yang tertimbun di lubang tambang mangan pertambangan rakyat pada 23 April 2010 silam," papar Umbu.
Sementara itu, Umbu juga menjelaskan, smelter yang telah diresmikan Penjabat Gubernur NTT, Robert Simbolon pada 20 Juli 2018 yang lalu tidak tersentuh dalam SK Moratorium
"PLT Gubernur NTT, Robert Simbolon meresmikan pembangunan Smelter ferro mangan milik PT. Gulf Mangan Grup (Pos Kupang). Pembangunan smelter ini sebagai pertanda akan merajalelanya aktivitas pertambangan di NTT," kata Umbu.
"Karena berdasarkan PP No 1 Tahun 2017 yang merupakan revisi atas PP No 1 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral Dan Batu Bara mengharuskan setiap usaha pertambangan Minerba wajib memiliki smelter. Artinya sebuah pertambangan hanya bisa beroperasi bila mempunyai smelter. Karena tidak boleh lagi melakukan ekspor bahan mentah hasil tambang," tegasnya.
Berlanjutnya pembangunan smelter tersebut, jelas Umbu, dapat disimpulkan bahwa SK Moratorium Gubernur NTT menjadi tidak berarti apa-apa.
"Toh, ketika smelter telah beroperasi maka secara regulasi maka perusahan tambang bisa beroperasi dengan alasan telah ada smelter. SK ini seperti pemberi harapan palsu saja kalau pembangunan smelter tidak dihentikan," ujarnya.
Adakah “pembisik gelap” dibalik terbitnya SK Moratorium?
Umbu Wulang juga mengungkapkan, pada bisnis sumber daya alam, kekuasaan politik perlu disusupi agar menjaga ritme kelancaran bisnis. Cara ini biasanya digunakan oleh para pengusaha yang punya rekam jejak buruk dalam tata bisnis yang berkeadilan dan berkelanjutan.
Oleh karenanya, potensi adanya pembisik gelap yang mengubah arah sebuh komitmen politik kekuasaan sangat mungkin terjadi dimanapun. Termasuk di NTT.
Hal ini bisa diantisipasi seandainya permintaan WALHI NTT sedari awal untuk melibatkan partisipasi publik dalam proses perjalanan moratorium dan penghentian tambang minerba di NTT diakomodir oleh pemerintah.
"Mulai dari perencanaan, draft hingga eksekusi penghentian. Namun yang terjadi sebaliknya, SK Moratorium ini bahkan tidak pernah diumumkan ke publik sejak ditandatangani. WALHI NTT justru mendaptkannya setelah melakukan permintaan secara organisatoris kepada pemerintah di NTT. Artinya agenda pelibatan publik oleh pemerintahan baru di NTT ini masih jauh dari harapan," katanya.
WALHI NTT juga memberikan resolusi di TUAK Lontar II 2018 yakni, pertama, WALHI NTT mendorong adanya revisi terhadap SK Moratorium yang lebih mencerminkan janji janji politik gubernur dan wakil gubernur.
Kedua, meminta pemerintah NTT untuk melibatkan publik sedari awal untuk untuk melakukan dan mengawal proses moratorium dan penghentian tambang minerba di NTT
Ketiga, meminta pemerintah daerah NTT untuk menjadikan agenda pemulihan sosial ekologis di kawasan lingkar tambang sebagai prioritas dalam proses ini. Misalnya melakukan reklamasi lubang lubang tambang dan penguatan ekonomi lokal tanpa tambang.
Keempat, meminta pemerintah NTT untuk memprioritaskan upaya upaya kemandirian pangan dan sumber daya air di NTT.
Kelima, menagih janji politik gubernur dan wakil gubernur untuk serius memproses jalan menuju NTT sejahtera tanpa tambang minerba. Termasuk tambang minerba atas nama rakyat. Publik NTT tidak akan melupakan ini, “Izin yang sudah ada dan masih berlaku akan kami cabut. Izin yang sementara proses akan dihentikan”.(Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Gecio Viana.)