Berita Kota Kupang
WALHI NTT Terbitkan TUAK Lontar II 2018. Yuk Simak!
masa kampanye pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Nusa Tenggara Timur 2018 dengan garang bicara di depan publik untuk melakukan moratorium
Penulis: Gecio Viana | Editor: Rosalina Woso

Selain itu, menurutnya, SK Moratorium ternyata juga tidak melakukan moratorium tambang minerba secara menyeluruh dalam konteks pelaku. Tambang rakyat tetap dibiarkan beroperasi dengan catatan merupakan WPR (Wilayah Pertambangan Rakyat).
"Pertanyaannya sejak kapan NTT mempunyai kebijakan sekaligus peta pertambangan rakyat. Bagi WALHI NTT, pelonggaran ini merupakan upaya untuk membebankan semua urusan teknis pertambangan kepada rakyat yang sebenarnya tidak memiliki skill yang mumpuni untuk urusan ini. Ujungnya bahan tambang tersebut tetap masuk ke perusahan," ungkapnya.
Ia menuturkan, tambang rakyat pada prakteknya kerap adalah upaya 'cuci tangan' perusahan tambang untuk tidak bertanggungjawab soal keselamatan kerja.
Perusahan tambang, kata Umbu, tinggal menerima hasilnya tanpa mengeluarkan biaya untuk kesehatan dan keselamtan pekerja.
"SK Moratorium ini sekali lagi gagap untuk membaca realitas skema licik bisnis tambang di NTT. Siapa yang bertanggungjawab dengan sekian korban yang meninggal dunia di lubang tambang mangan di Timor? Seperti yang terjadi pada Ida Ketrajara Alunpa yang tertimbun di lubang tambang mangan pertambangan rakyat pada 23 April 2010 silam," papar Umbu.
Sementara itu, Umbu juga menjelaskan, smelter yang telah diresmikan Penjabat Gubernur NTT, Robert Simbolon pada 20 Juli 2018 yang lalu tidak tersentuh dalam SK Moratorium
"PLT Gubernur NTT, Robert Simbolon meresmikan pembangunan Smelter ferro mangan milik PT. Gulf Mangan Grup (Pos Kupang). Pembangunan smelter ini sebagai pertanda akan merajalelanya aktivitas pertambangan di NTT," kata Umbu.
"Karena berdasarkan PP No 1 Tahun 2017 yang merupakan revisi atas PP No 1 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral Dan Batu Bara mengharuskan setiap usaha pertambangan Minerba wajib memiliki smelter. Artinya sebuah pertambangan hanya bisa beroperasi bila mempunyai smelter. Karena tidak boleh lagi melakukan ekspor bahan mentah hasil tambang," tegasnya.
Berlanjutnya pembangunan smelter tersebut, jelas Umbu, dapat disimpulkan bahwa SK Moratorium Gubernur NTT menjadi tidak berarti apa-apa.
"Toh, ketika smelter telah beroperasi maka secara regulasi maka perusahan tambang bisa beroperasi dengan alasan telah ada smelter. SK ini seperti pemberi harapan palsu saja kalau pembangunan smelter tidak dihentikan," ujarnya.
Adakah “pembisik gelap” dibalik terbitnya SK Moratorium?
Umbu Wulang juga mengungkapkan, pada bisnis sumber daya alam, kekuasaan politik perlu disusupi agar menjaga ritme kelancaran bisnis. Cara ini biasanya digunakan oleh para pengusaha yang punya rekam jejak buruk dalam tata bisnis yang berkeadilan dan berkelanjutan.
Oleh karenanya, potensi adanya pembisik gelap yang mengubah arah sebuh komitmen politik kekuasaan sangat mungkin terjadi dimanapun. Termasuk di NTT.
Hal ini bisa diantisipasi seandainya permintaan WALHI NTT sedari awal untuk melibatkan partisipasi publik dalam proses perjalanan moratorium dan penghentian tambang minerba di NTT diakomodir oleh pemerintah.
"Mulai dari perencanaan, draft hingga eksekusi penghentian. Namun yang terjadi sebaliknya, SK Moratorium ini bahkan tidak pernah diumumkan ke publik sejak ditandatangani. WALHI NTT justru mendaptkannya setelah melakukan permintaan secara organisatoris kepada pemerintah di NTT. Artinya agenda pelibatan publik oleh pemerintahan baru di NTT ini masih jauh dari harapan," katanya.