Opini Pos Kupang

Guru Ideal Sebagai "Pelukis" Masa Depan

Mereka adalah guru yang aktif mengajar, pensiunan guru yang aktif berjuang, dan pegawai pendidikan Republik Indonesia yang baru

Editor: Dion DB Putra

Oleh: Ebith Lonek, CMF
Mahasiswa Fakultas Filsafat Unwira Kupang

POS-KUPANG.COM - Semangat Proklamasi 17 Agustus 1945 menjiwai penyelenggaraan Kongres Guru Indonesia pada tanggal 24-25 November 1945 di Surakarta. Melalui kongres ini segala organisasi dan kelompok guru yang didasarkan atas perbedaan tamatan, lingkungan pekerjaan, lingkungan daerah, politik, agama dan suku, sepakat dihapuskan.

Mereka adalah guru yang aktif mengajar, pensiunan guru yang aktif berjuang, dan pegawai pendidikan Republik Indonesia yang baru dibentuk. Dalam kongres inilah, pada 25 November 1945, seratus hari setelah proklamasi kemerdekaan RI, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) didirikan.

Baca: Patut Anda Tahu! Serangga Betina Ini Bisa Berhubungan Seks 70 Jam

Baca: Inilah Alasan Kenapa Seseorang Tak Berani Jatuh Cinta Berdasarkan Zodiaknya: Gemini Takut Kehilangan

Baca: Jadi Drama Korea Pertama yang Tayang di Youtube, Ini 4 Fakta Drakor Top Management

Baca: Masih Bingung Penerapan Sistem Ranking CPNS 2018? Yuk Simak Penjelasannya & Contoh 5 Kasus ini

Dengan Keputusan Presiden Nomor 78 Tahun 1994, menetapkan hari lahir PGRI tanggal 25 November sebagai Hari Guru Nasional dan diperingati setiap tahun.
Demikianlah kilas balik sejarah berdirinya Hari Guru Nasional (PGRI).

Dalam satu kesempatan saat menghadiri acara puncak peringatan Hari Guru Nasional 2014 di Istora Senayan, Jakarta, Kamis (27/11), Wakil Presiden Jusuf Kalla mempersembahkan dua pantun buat para guru.

Isinya demikian. "Ke hulu membuat pagar, jangan terpotong batang durian. Cari guru tempat belajar, supaya jangan sesal kemudian". "Anak ayam turun sembilan, mati satu tinggal delapan. Untuk maju, ilmu jangan ketinggalan, pada guru kita gantungkan harapan."

Dua pantun di atas sejatinya mengekspresikan rasa terima kasih yang besar atas dedikasi para guru dalam mendidik generasi penerus bangsa. Juga tersirat dan tersurat sebuah pengharapan yang masih dititipkan bangsa ini di atas pundak para guru.

Bicara mengenai guru berarti kita berbicara perihal pendidikan. Sejatinya term guru tidak bertindak otonom, guru itu ada karena pendidikan itu ada. Paulo Freire, filsuf pendidikan Brasil mengatakan guru adalah fasilitator dan partner dalam proses pendidikan dalam rangka mencapai penyadaran diri sebagai manusia. Jelaslah bahwa peran guru sangatlah sentral dalam memanusiakan manusia.

Faktisitas guru di republik ini adalah pijakan refleksi bagi kaum akademisi atau masyarakat Indonesia umumnya. Perkembangan pendidikan di Indonesia sejatinya mengajak kita semua untuk mengkritisi apakah realitas profesionalisme guru telah berada pada fase yang menanjak atau berada pada fase stagnan?

Perjalanan 73 tahun bukanlah persoalan mudah. Dalam kalkulasi matematis, angka 73 telah berada dekat dengan angka 100 artinya kualitas pendidikan di Indonesia pun semakin bergerak ke arah yang lebih baik.

Fakta menunjukan kualitas pendidikan di Indonesia masih menyisakan keprihatinan mendalam. Menurut Menteri Kuangan RI Sri Muliyani, saat menghadiri dialog publik pendidikan nasional dan halal bihalal di gedung Guru Indonesia, Jakarta, kualitas pendidikan di Indonesia masih kalah jika dibandingkan dengan negara tetangga seperti Vietnam.

Dalam beberapa PISA test, anak-anak Indonesia mendapatkan nilai lebih rendah. Padahal, Indonesia lebih dulu menjalankan komitmen 20 persen APBN untuk pendidikan. "Kita mulai 2009 (Komitmen 20 persen APBN untuk pendidikan).

Mereka (Vietnam)2010 mungkin 2013. Matematika anak-anak mereka bisa dapat 90, anak-anak kita 70 bisa sampai 50," kata Sri Mulyani, Selasa (10/7/2018). Faktisitas pendidikan ini masih diteropong dalam fakta global. Bagaimana dengan fakta kualitas pendidikan dalam negeri?

Pemerintah menunjukkan keberpihakan terhadap faktisitas pendidikan dengan menjalankan komitmen 20 persen APBN untuk pendidikan. Ditambah lagi anggaran pendidikan terus meningkat setiap tahun. Anggaran pendidikan dalam APBN 2017 sebesar Rp 419 triliun. Tahun 2018 naik jadi Rp 444 triliun.

Masyarakat Indonesia umumnya menggantungkan perkembangan dan jati diri bangsa ini di tangan para guru. Jika guru hanya mengejar keuntungan pribadi tanpa mengedepankan keuntungan bersama (bangsa) maka kualitas pendidikan bangsa ini berada pada rel stagnan.

Namun, jika para guru saling bergandeng tangan melihat dan memaknai profesinya sebagai panggilannya dalam mengabdi kepada negara, penulis optimistis pendidikan di Indonesia akan semakin berkualitas.

Masalah kualitas pendidikan, rupanya menjadi perhatian di dunia pendidikan dewasa ini. Menurut Tilaar (1990: 187), bukan saja bagi para profesional, juga bagi masyarakat luas pun terdapat suatu gerakan yang menginginkan adanya perubahan sekarang juga. Untuk meningkatkan mutu pendidikan sasaran sentralnya yang dibenahi adalah mutu guru dan mutu pendidikan guru (Zamroni, 2001:51).

Paulo Freire mengatakan profesionalisme guru dalam menentukan metode pengajaran di sekolah sangatlah menentukan kualitas pendidikan. Freire menyebutkan pendidikan lama itu adalah pendidikan dengan sistem bank. Guru merupakan subyek yang memiliki pengetahuan yang diisikan kepada murid. Murid adalah wadah atau suatu tempat deposit belaka.

Dalam proses belajar itu murid hanya objek belaka. Sangat jelas dalam pendidikan semacam itu, bagi Freire, tidak terjadi komunikasi yang sebenarnya antara guru dan murid, sehingga murid dalam konsep yang dibangun oleh Freire hanya sebagai bank pengetahuan (berfungsi menyimpan tanpa ada aktualiasasi yang jelas).

Dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan, maka perlu kiranya dilakukan sejumlah kegiatan. Pertama, absensi dan kedisiplinan guru. Jika guru jarang hadir atau tidak disiplin maka hal itu akan menghambat proses belajar mengajar dan akan mengakibatkan peserta didik menjadi malas. Akan tetapi, jika guru selalu tepat waktu tidak pernah terlambat dalam mengajar, maka hal inilah yang akan menjadi pemacu semangat peserta didik dalam belajar.

Kedua, membentuk teacher meeting. Forum pertemuan atau rapat guru yang merupakan salah satu teknik supervisi dalam rangka memperbaiki situasi belajar mengajar di sekolah.

Tujuannya menyatukan pendapat tentang metode kerja yang akan membawa mereka bersama ke arah pencapaian tujuan pengajaran yang maksimal dan membantu guru, baik secara individu maupun secara bersama-sama untuk memenuhi kebutuhan mereka, menganalisa problem mereka, perkembangan pribadi dan jabatan mereka.

Dari semuanya itu teacher meeting yang dilaksanakan harus sampai pada kerangka dalam mengevaluasi metode pembelajaran dan perkembangan para murid. Ketiga, mengikuti penataran. Penataran merupakan salah satu saran yang tepat untuk meningkatkan mutu guru terutama dalam hal kemampuan profesionalisme.

Seperti yang diungkapkan Djumhur dan Moch Surya dalam bukunya "Bimbingan dan Penyuluhan Di Sekolah": Penataran adalah usaha pendidikan dan pengalaman untuk meningkatkan mutu guru dan pegawai guna menyelaraskan pengetahuan dan keterampilan mereka sesuai dengan kemampuan dan perkembangan ilmu pengetahuan dalam bidangnya masing-masing (Djumhur,1975:115). Penataran dimaksudkan untuk:

Pertama, mempertinggi mutu petugas dalam bidang profesinya masing-masing. Kedua, meningkatkan efisiensi kerja menuju tercapainya hasil. Penataran yang diikuti oleh guru adalah penataran yang diadakan oleh Depag, Dikbud maupun lembaga lain.
Solusi terakhir yang dapat meningkatkan profesisonalisme guru adalah apa yang ditawarkan Paulo Freire yakni metode "problem-posing education" atau "pendidikan hadap masalah" yang memungkinkan konsientisasi.

Dalam konsientisasi, guru dan murid bersama-sama menjadi subyek yang disatukan oleh obyek yang sama. Tidak ada lagi yang berpikir dan yang tinggal menelan, tetapi mereka berpikir bersama. Guru dan murid harus secara serempak menjadi murid dan guru. Dialog menjadi unsur sangat penting dalam pendidikan.

Dalam pendidikan "hadap masalah" itu guru belajar dari murid dan murid belajar dari guru. Guru menjadi rekan murid yang melibatkan diri dan merangsang daya pemikiran kritis para murid. Kedua belah pihak bersama-sama mengembangkan kemampuan untuk mengerti secara kritis dirinya sendiri dan dunia tempat mereka berada. Pengetahuan adalah keterlibatan.

Bagi Freire dialog adalah unsur penting dalam pendidikan kaum tertindas. Inti dialog adalag kata. Kata mempunyai dua dimensi refleksi dan aksi dalam interaksi yang radikal. Tanpa refleksi hanya akan terjadi aktivisme, dan taksi dan refleksi, kata menjadi benar-benar kata yang sejati. Kata sejati adalah kata yang memungkinkan mengubah dunia.

Dialog adalah pertemuan antara kata dengan tujuan "memberi nama kepada dunia". Dialog mengandaikan kerendahan hati, yaitu kemauan untuk belajar dari orang lain meskipun menurut perasaan kebudayaan lebih rendah; memperlakukan orang lain sederajat; keyakinan bahwa orang lain dapat mengajar kita. Artinya tindakan dialogis selalu bersifat kooperatif. Adanya kesatuan antara bawahan dan atasan dalam usaha memacu proses perubahan.*

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved