Opini Pos Kupang
Kebohongan dan Etika Berbicara
Hal ini sebenarnya urusan pribadi RS, dan orang lain yang tidak berkepentingan tentu tidak akan sibuk memikirkannya
Oleh Rm. Dr. Herman P. Panda
Dosen Fakultas Filsafat Unwira Kupang
POS-KUPANG.COM- Kita baru saja disuguhi drama berskala nasional yang menarik perhatian sejumlah besar orang terutama pengguna media sosial.
Ceriteranya bermula dari keinginan Ibu Ratna Sarumpaet (RS) mengencangkan kulit wajahnya melalui operasi plastik di Rumah Sakit Bina Estetika.
Hal ini sebenarnya urusan pribadi RS, dan orang lain yang tidak berkepentingan tentu tidak akan sibuk memikirkannya, apa lagi sampai berskala nasional. Tetapi dalam proses pemulihan sesudah operasi tersebut, mukanya menjadi lebam dan bengkak-bengkak.
Kenyataan ini memunculkan ide kreatif RS mengarang ceritera bohong yang disampaikan kepada anak-anaknya sendiri. Ceritera itu sedemikian apik dan lengkap. Kisah fiktifnya kira-kira seperti di bawah ini
. "Tempatnya di Bandara Husein Sastranegara Bandung. Waktu kejadian tanggal 21 September 2018. Waktu itu RS ke bandara bersama dua orang tamu dari luar negeri, seorang dari Malaysia dan yang lain dari Sri Lanka. Ketika sudah dekat bandara, kedua orang asing itu meneruskan perjalanan masuk bandara sedangkan RS digiring ke tempat yang sepi oleh tiga orang tak dikenal yang menganiayanya dalam mobil dengan cara memukuli wajahnya, menginjak-injaknya sampai mukanya bengkak dan lebam. Lalu dia masuk Rumah Sakit untuk dirawat".
Kebenaran tentang operasi plastiknya sengaja dia sembunyikan. Bila hanya didengar anak-anaknya sendiri, ceritera fiktif di atas sebenarnya tidak menimbulkan persoalan besar.
Persoalan muncul ketika ceritera itu menyebar ke masyarakat luas, terutama terkait status RS waktu itu sebagai juru kampanye nasional pasangan capres-cawapres nomor urut satu (Prabowo-Sandi).
Ketika ceritera itu sampai ke telinga Prabowo dan tim pemenangannya, Prabowo menjadi grasa-grusu (istilah yang digunakan Parbowo sendiri). Prabowo mengonfirmasi kebenaran ceritera itu kepada RS, dan sialnya RS mengulangi ceritera bohong itu kepada Prabowo, Amin Rais (AR) dan juga Fadli Zon (FZ).
Bahkan foto FZ bersama RS yang mukanya belum benar-benar pulih, sempat beredar di media sosial. Dan yang membuat ceritera itu bergema di seantero Indonesia, ketika tanggal 3 Oktober malam Prabowo didampingi Sandiaga Uno, AR dan lain-lain menggelar jumpa pers.
Intinya Prabowo dan kawan-kawan menyesalkan penganiayaan terhadap RS dan menuntut kepolisian mengusut segera dan menangkap pelakunya. Bahkan mereka ingin menjumpai Kapolri untuk melaporkan peristiwa tersebut.
Sejumlah tokoh nasional seperti Fahri Hamzah (FH), secara emosional turut menyampaikan pernyataan tajam yang mengecam tindakan penganiayaan tersebut.
Sementara itu polisi bekerja cepat. Dalam waktu sehari sudah terungkap cerita yang sesungguhnya.
Polisi membuktikan RS tidak pernah dianiaya, tidak masuk di Rumah Sakit mana pun di Bandung, tidak pernah berada di Bandara Husein Sastranegara, melainkan justru pada tanggal 21 September RS masuk rumah sakit Bina Estetika di Jakarta untuk operasi plastik.
Hal ini dibuktikan pula dengan CCTV yang menunjukkan keberadaan RS di rumah sakit tersebut. Karena polisi sudah mengungkap ceritera sesungguhnya, RS terpaksa mengakui kebohongannya, dan meminta maaf kepada Prabowo. Prabowo dan beberapa kawannya ramai-ramai meminta maaf kepada publik karena turut menyebarkan ceritera bohong tersebut.
Ceritera bohong seperti di atas mungkin salah satu hoax paling spektakuler di tanah air. Tetapi bukan satu-satunya. Media sosial menyajikan hoax setiap hari dan karena itu banyak pihak yang sadar dan mulai mengkampanyekan anti-hoax.
Komisi Komunikasi Sosial KWI misalnya berkeliling ke seluruh Indonesia menjumpai generasi muda Katolik di kampus-kampus, sekolah dan paroki-paroki, untuk sosialisasi kesadaran anti-hoax. Karena itu rasanya kebohongan atau hoax menarik ditinjau dari berbagai segi seperti hukum, psikologi dan etika. Di bawah ini saya ingin meninjau kebohongan dari sudut pandang etika kristiani.
Kebohongan pada dasarnya penyangkalan atas kebenaran. Lalu apakah kebenaran itu? Thomas Aquinas merumuskannya: Veritas est adequatio rei et intellectus (kebenaran adalah kesesuaian antara kenyataan dan pemahaman). Bila suatu kenyataan dipahami sebagaimana adanya maka pemahaman tersebut dikatakan benar. Dan bila pemahaman tersebut diekspresikan dalam pernyataan lisan, maka pernyataan lisan tersebut dikatakan benar.
Sebaliknya bila kenyataan tidak dipahami sebagaimana adanya dan pernyataan lisan atas kenyataan itu pun tidak sejalan dengan kenyataan, maka dikatakan palsu alias tidak benar. Jadi ada dua aspek dalam menilai kebenaran suatu kenyataan: pemahamannya benar atau palsu dan pernyataan lisan atasnya benar atau palsu.
Bila orang memahami sungguh-sungguh kenyataan (di mana ada kesesuaian antara kenyataan dan pemahaman) tetapi sengaja menyangkalnya dalam pernyataan lisan, itulah kebohongan atau dusta.
Dalam hal ceritera di atas, RS memahami sungguh-sungguh kenyataannya tetapi sengaja menyangkalnya dalam pernyataan lisan, dan karena itu dia berbohong.
Kebohongan atau dusta tidak lain dari penyembunyian sebagian atau seluruh kebenaran, atau dengan kata lain tidak menyatakan hal yang sesungguhnya terjadi.
Sebaliknya Prabowo dan kawan-kawannya bila benar-benar tidak memahami kenyataannya, tetapi hanya mendengarnya dari RS, maka dalam hal ini mereka tidak berbohong.
Bagi mereka, kenyataan yang mereka pahami adalah pernyataan RS. Bila ada kesesuaian antara pernyataan RS dan pemahaman mereka, masih tetap ada adequatio rei et intellectus. Dan bila pernyataan lisan mereka sesuai yang dinyatakan RS, maka mereka masih tetap mengungkapkan kebenaran. Lain halnya bila mereka mengeluarkan pernyataan yang bertentangan dengan ceritera yang mereka dengar dari RS.
Kesalahan mereka adalah tidak verifikasi atas kebenaran sebelum membuat pernyataan. Bahkan ada yang terlalu terbuai oleh kisah dusta tersebut lalu berkhayal amat jauh tentang kemungkinan-kemungkinan yang dibayangkan telah terjadi, seperti pernyataan politikus Partai Demokrat Benny K. Harman (BKH).
BKH, dalam mengomentari Jokowi yang "diam" dalam kasus RS, salah satu kemungkinan menurutnya, karena Jokowi yang menyuruh preman-preman untuk memukuli RS. Sementara kurang terdengar ungkapan yang emosional dari mereka dalam menanggapi peristiwa gempa bumi dan tsunami di Palu dan Donggala. Juga tidak terdengar solusi kreatif mereka dalam penanganan bencana.
Kejujuran dalam bertutur lisan merupakan sebuah tuntutan etika demi keadilan dan penghormatan pada orang lain. Sebaliknya dusta atau kebohongan dapat membuat orang lain terjebak kesalahan dan bahkan mengalami kerugian.
Prabowo dan kawan-kawannya terjebak kesalahan akibat dusta RS. Sedangkan, menurut pengacara Farhat Abbas (FA) (Kompas. Com. 3 Oktober 2018) dusta RS dan penyebaran yang dilakukan Prabowo dan kawan-kawan telah merugikan capres dan cawapres nomor urut 1, Jokowi-Ma'ruf Amin.
Karena itu untuk menilai berat ringannya sebuah dusta dilihat pula berat ringannya kerugian yang diakibatkannya.
Tentu orang tidak mampu memahami dan mengungkapkan kebenaran secara utuh dan sempurna, karena manusia adalah makhluk yang terbatas. Bahkan orang juga tidak wajib mengungkapkan semua kebenaran kepada orang yang tidak berhak mengetahuinya.
Dalam hal ini prinsip yang dipegang adalah tidak menimbulkan kerugian yang besar pada orang lain. Kebenaran wajib diungkapkan dengan tujuan tidak menimbulkan kerugian pada orang lain, sebaliknya tidak harus diungkapkan bila justru menimbulkan kerugian besar pada orang lain.
Karena itu dalam bertutur kata, orang wajib mempertimbangkan secara matang apakah yang disampaikannya itu "benar-benar membangun, menjembatani pertentangan, melayani persekutuan dan memuliakan Allah, atau sebaliknya menciptakan kebingungan, perpecahan dan membawa kehancuran" (Karl-Heinz Peschke, Etika Kristiani, Jilid III, hlm. 198). Bisa jadi dalam kasus-kasus tertentu, justru memilih diam tidak menimbulkan kerugian bagi yang lain dibandingkan bila kebenaran itu diungkapkan.
Dusta RS telah menimbulkan "kegaduhan" tingkat nasional. Betapa tidak. Sejumlah elit politik nasional, begitu mendengar berita RS dianiaya, langsung tersulut emosi lalu mencak-mencak seperti kakek kebakaran jenggot.
Polisi pun sibuk menyisir sejumlah Rumah Sakit di Bandung mencari jejak RS. Sejumlah orang membuat laporan kepada Polisi termasuk FA yang melaporkan 17 elit politik dari kubu Prabowo-Sandi sebagai penyebar berita bohong RS yang merugikan Jokowi-Ma'ruf.
Tepatlah peringatan Yakobus dalam suratnya: "Lihatlah, betapa pun kecilnya api, dia dapat membakar hutan yang besar. Lidah pun adalah api;." (Yakobus 3: 5-6a). Api telah disulut oleh RS, dan dikipas-kipas oleh Prabowo, AR, FZ, FH dan BKH. Dan media sosial yang canggih bagaikan bensin yang dalam sekejap menangkap api itu dan menyebarkannya ke seluruh penjuru tanah air. *