Opini Pos Kupang
Mengurai Benang Kusut Pembangunan di NTT
Pelantikan pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur NTT yaitu Bapak Viktor Bungtilu Laiskodat dan Josef A Nae Soi
Sebuah Catatan bagi Gubernur dan Wakil Gubernur NTT
Oleh: Andrew Donda Munthe
ASN pada BPS Kota Kupang, Mahasiswa Pascasarjana IPB Bogor
POS-KUPANG.COM- Masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT) resmi memiliki pasangan pemimpin yang baru untuk melayani segala kebutuhan rakyat Flobamora selama lima tahun kedepan.
Pelantikan pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur NTT terpilih yaitu Bapak Viktor Bungtilu Laiskodat dan Bapak Josef A Nae Soi telah dilaksanakan di Istana Negara Jakarta pada tanggal 5 September 2018.
Upacara pelantikan sekaligus pengambilan sumpah jabatan dipimpin Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo. Setelah resmi memegang kendali kepemimpinan di NTT, tantangan apa saja yang akan dihadapi duet pemimpin baru ini?
Hal terpenting bagi seorang pemimpin adalah mampu mengatasi berbagai persoalan yang terjadi pada masyarakat yang dipimpinnya. Karl Popper (1902-1994), seorang filsuf kelahiran Austria pernah mengatakan: "Kepemimpinan berarti memecahkan masalah".
Baca: Penggemar Drama Korea, Intip 10 Drakor Yang Bakal Tayang Bulan Oktober 2018
Baca: Ingin Punya Gebetan Romantis? Ini Dia 5 Zodiak Paling Romantis Abad Ini
Baca: Jelang Konser BTS Di London, Promotor Pamer Mural LOVE YOURSELF, Reaksi Warga London Ini Viral
Pemimpin di NTT punya tantangan yang amat besar dalam dalam menangani masalah yang sangat kompleks di daerah ini. Mulai dari persoalan kemiskinan, tenaga kerja, pendidikan, kesehatan, hingga maraknya korupsi yang dilakukan oleh oknum di lingkup pemerintahan daerah.
Masyarakat sangat berharap agar Gubernur dan Wakil Gubernur NTT dapat konsisten membenahi segudang persoalan yang masih saja terjadi di propinsi ini.
Salah satu persoalan besar yang ada di NTT adalah terkait dengan tingginya angka
kemiskinan. Hasil rilis resmi BPS (16/7/2018), kemiskinan di Provinsi NTT pada kondisi Maret 2018 mencapai 21,35 persen dari total penduduk.
Dengan kondisi tersebut, NTT merupakan salah satu provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi di Indonesia. Kemiskinan di NTT hanya "kalah" dari Papua dan Papua Barat dengan persentase penduduk miskin masing-masing 27,74 persen dan 23,01 persen.
Jika "dibedah" dari sisi lapangan kerja, tingkat pengangguran di provinsi ini dari tahun ke tahun memang relatif rendah. Sayangnya sebagian besar penduduk di NTT (periode Februari 2018) yang berusia 15 tahun ke atas, bekerja di sektor pertanian yaitu mencapai 58,63 persen.
Minimnya pendapatan yang diperoleh dari sektor pertanian membuat mayoritas petani NTT masih hidup dalam kondisi yang memprihatinkan dan terjerat dalam jurang kemiskinan.
Permasalahan yang dihadapi petani NTT adalah kekeringan dan perubahan cuaca ekstrem, kondisi topografi lahan yang tidak subur, tata cara tanam yang masih tradisional, minimnya sarana prasarana produksi pertanian yang dimiliki dan digunakan serta berbagai persoalan lainnya.
Dari sisi pendidikan, realitas yang terjadi di NTT adalah semakin tinggi jenjang pendidikan semakin sedikit siswa yang "mau" dan "mampu" menempuh pendidikan tingkat lanjut. Pada jenjang SD, Angka Partisipasi Murni (APM) untuk Provinsi NTT bisa mencapai 95,24 persen.
Hal ini berarti terdapat sekitar 95,24 persen penduduk di NTT berusia 7 -12 tahun bersekolah tepat waktu di jenjang pendidikan SD. Nilai APM pada jenjang SMP atau sederajat, menurun drastis yaitu hanya mencapai 66,56 persen. Sedangkan nilai APM untuk jenjang SMA atau sederajat, "cuma" sebesar 52,87 persen (BPS, Publikasi Nusa Tenggara Timur Dalam Angka 2017).
Dari sisi kesehatan, salah satu yang perlu mendapat perhatian khusus adalah mengenai gizi buruk. Kasus gizi buruk ternyata masih marak terjadi di provinsi ini. Data dari Dinas Kesehatan NTT, tahun 2016 masih terjadi 3.072 kasus gizi buruk (malnutrition) di berbagai wilayah kabupaten/kota.
Persoalan lain yang tak kalah penting untuk segera dibenahi oleh Gubernur dan Wakil Gubernur NTT adalah buruknya pelayanan publik bagi masyarakat.
Pelayanan yang lambat, kinerja aparatur yang rendah, maraknya pungutan liar (pungli), hingga praktik korupsi yang masih merajalela. Bagaimana mungkin menekan angka kemiskinan apabila dana untuk membangun fasilitas dan berbagai program pemberdayaan masyarakat justru marak dikorupsi para aparat pemerintahan?
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) bahkan telah menargetkan 2.357 Aparatur Sipil Negara (ASN) yang jadi terpidana kasus korupsi untuk diberhentikan akhir tahun ini. Belum dipecatnya ASN itu merupakan maladministrasi yang merugikan keuangan negara. Terkait hal ini, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo meminta kepala daerah selaku Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) dan Sekretaris Daerah selaku pejabat yang berwenang dalam manajemen ASN segera memberhentikan 2.357 ASN tersebut, paling lambat akhir tahun ini (Harian Kompas, 5/9/2018).
Dari 2.357 ASN yang terlibat kasus korupsi, NTT ada di posisi empat besar setelah Provinsi Sumatera Utara (298 orang), Provinsi Jawa Barat (193 orang), dan Provinsi Riau (190 orang).
Sedangkan di NTT terdapat 183 orang ASN yang terjerat kasus korupsi dengan rincian 5 Orang ASN dari lingkungan pemerintahan Provinsi dan 178 orang ASN dari lingkungan Pemerintah Kabupaten/Kota.
Terpidana kasus korupsi di NTT tidak hanya melibatkan aparatur sipil negara tetapi juga menyeret pihak swasta (pengusaha), perangkat desa, anggota dewan, bahkan juga para pejabat di lingkungan pemerintahan.
Salah satu kasus korupsi yang menggemparkan masyarakat NTT terjadi di awal tahun 2018 ini. Tanggal 11 Februari 2018, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap dan menetapkan Bupati Ngada, Marianus Sae, yang juga calon Gubernur NTT pada Pilkada serentak tahun 2018, sebagai tersangka dalam dugaan kasus suap proyek-proyek infrastruktur.
Dengan banyaknya kasus tindak pidana korupsi yang terjadi di NTT maka tidaklah mengherankan apabila NTT merupakan salah satu provinsi prioritas pengawasan oleh KPK. Bahkan sejak awal tahun 2017, Wakil Ketua KPK Saut Situmorang menyatakan bahwa NTT termasuk dalam 10 provinsi prioritas pengawasan.
Selain NTT, provinsi yang menjadi prioritas pengawasan KPK adalah Aceh, Papua, Papua Barat, Riau, Banten, Sumatera Utara, Bengkulu, Jawa Tengah, dan Sulawesi Tengah.
Ada sebuah catatan menarik disampaikan oleh Najwa Sihab ketika memandu acara Mata Najwa pada episode Perisai Anti Korupsi yang tayang pada 30 Oktober 2013. Sebuah catatan mengenai pemimpin anti korupsi yang menjadi idaman masyarakat dan masih tetap relevan hingga saat ini.
Bunyi catatan tersebut adalah "Jika para pejabat tak bisa disuap, Indonesia masih bisa berharap. Mereka yang hidupnya bersih, pasti tak takut jadi orang yang tersisih. Harta dan penghasilan pribadi, mereka publikasi tanpa ditutup-tutupi. Dengan jurus transparansi, mereka hadang gerak-gerik para pencuri. Jika atasan berani buka-bukaan, anak buah sulit selewengkan jabatan. Kita rindu pejabat penuh tauladan, yang memimpin bukan demi kekayaan. Di pundak pemimpin yang bebas korupsi, di situlah masa depan negeri."
Beragam data yang telah dipaparkan di atas menjadi alat bantu Gubernur dan Wakil Gubernur NTT untuk mulai bekerja mengurai benang kusut pembangunan di bumi Flobamora.
Rakyat NTT menaruh harapan tinggi pada suksesnya duet kepemimpinan Bapak Viktor Bungtilu Laiskodat dan Bapak Josef A Nae Soi. NTT hanya bisa keluar dari keterpurukan bila pemimpinnya bekerja keras, jujur, transparan, berinovasi, dan "melek" data.
Seluruh rakyat menantikan "inovasi", "gebrakan", "solusi" serta "eksekusi" dari Gubernur dan Wakil Gubernur untuk membawa NTT melangkah maju dan sejajar dengan daerah-daerah lain di negeri ini. NTT bangkit. NTT maju. NTT hebat. NTT bisa. *