Untuk Pilgub NTT 2018, Ternyata Begini Perilaku Memilih di Kalangan Mahasiswa
Bila dicermati dari latar belakang daerah dan agama, maka terlihat bahwa orang Katolik secara mayoritas akan
Oleh: Marianus Kleden
Dekan FISIP Unwira Kupang
POS KUPANG.COM - Awal hingga pertengahan Mei 2018, Perennial Institute, sebuah Lembaga Kajian Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan yang ber-home base di STKIP Ruteng melalukan survei tentang elektabilitas para calon gubernur.
Lembaga ini menyebarkan kuesioner secara online kepada 3.278 responden yang tersebar di 21 kabupaten dan 1 kota.
Jawaban yang diterima memperlihatkan hasil sebagai berikut: Victor-Josef unggul dengan 33 persen pemilih, BKH-Benny Litelnoni pada posisi kedua dengan 26 persen pemilih, MS-Emi pada posisi ketiga dengan perolehan 24 persen pemilih dan Esthon-Chris pada posisi keempat dengan 17 persen pemilih.
Bila dicermati dari latar belakang daerah dan agama, maka terlihat bahwa orang Katolik secara mayoritas akan menjatuhkan pilihan pada BKH-Benny Litelnoni sebagai pilihan pertama, menyusul MS-Emi sebagai pilihan kedua, Victor-Josef sebagai pilihan ketiga dan Esthon-Chris sebagai pilihan keempat.
Sementara orang Protestan cenderung memilihVictor-Josef sebagai pilihan pertama, Esthon-Chris pilihan kedua, MS-Emi sebagai pilihan ketiga dan BKH-Benny Litelnoni sebagai pilihan keempat.
Dari sudut daerah terlihat Victor-Josef berjaya di Kabupaten Kupang, Kota Kupang, TTS, TTU, Sumba Barat, Sumba Barat Daya, Sumba Tengah, Sumba Timur, Sabu Raijua, Rote Ndao, Malaka dan Ende.
BKH-Benny unggul di Manggarai, Manggarai Timur, Sikka, Alor dan Lembata. Dalam pada itu MS-Emi memperlihatkan taringnya di Ngada dan Nagekeo, Flotim dan Belu, sementara Esthon Chris menang tipis di satu kabupaten yaitu Manggarai Barat.
Mengapa Victor-Josef unggul meskipun jumlah orang Katolik mencapai 55,19 persen, jauh di atas Protestan yang hanya 35,29?
Ini karena Victor-Josef dipersepsikan lebih baik (dengan proporsi yang sama seperti elektabilitas) dalam (1) visi-misi yang realistis; (2) kejujuran dan bebas dari korupsi; (3) keberanian dan ketegasan memimpin; (4) berprestasi dan merakyat.
Saya melakukan survei kecil-kecilan di kalangan mahasiswa Unwira dengan 250 responden dari empat fakultas yaitu FISIP, Teknik, Filsafat dan FKIP. Responden mahasiswa ini relatif homogen dengan 90 persen dalam kisaran usia 18-23 tahun, mempunyai latar belakang ekonomi yang kurang lebih sama, relatif memberi perhatian pada pilkada atau pemilu pada umumnya dengan variasi sikap indiferen pada mahasiswa Teknik Arsitektur, dan skeptis tapi resoponsif pada mahasiswa Fakultas Filsafat.
Hasil survei menunjukkan MS-Emi merupakan pilihan pertama dengan besaran 44,77 persen, BKH-Benny Litelnoni pada posisi kedua dengan 25,58 persen pemilih, Victor-Josef pada posisi ketiga dengan 20,35 pemilih dan Esthon Kris pada posisi akhir dengan 5,23persen. Jumlah pemilih Esthon-Chris berada sedikit di atas jumlah yang tidak memilih sebesar 4,07 persen.
Mengapa mahasiswa cenderung memilih MS-Emi? Dari 44,77 persen mahasiswa yang menjatuhkan pilihan pada MS-Emi, semuanya berpandangan bahwa pasangan ini mempunyai visi pembangunan yang jelas, dan bahwa pasangan ini merakyat.
Mereka menempatkan kekuatan visi-misi serta kemerakyatan pasangan ini sebagai alasan yang `sangat penting' dalam lima tingkatan rentang skala Likert. Bila dikonversikan ke hitungan 0-100 maka nilai visi-misi dan kemerakyatan bertengger di angka 84 dan 86.
MS-Emi mungkin saja tidak merinci visi dan misi pembangunannya, tetapi pengalaman 10 tahun membangun Ngada memberi impresi mendalam pada mahasiswa yang memberi skor 77, dan cara berpikir ini tidak bisa dinafikan dengan kontra-argumen yang mengatakan bahwa 10 tahun itu pencitraan belaka dengan manajemen birokrasi menjadi sangat amburadul.
Mahasiswa juga berkeyakinan bahwa pasangan ini mampu membangun NTT ke tingkat yang lebih sejahtera dengan skor 79.
Akan halnya OTT yang menimpa Marianus Sae, mahasiswa mempersepsikannya sebagai momen sial saja karena kabupaten lain bahkan propinsi pun melakukan hal yang sama, hanya saja mereka mengerti trik sehingga tidak bisa dikategorikan sebagai kasus korupsi.
Alasan lain yang juga masuk kategori relatif kuat ialah bahwa pasangan ini tegas dalam prinsip dengan skor 79.
Alasan kesamaan daerah, kesamaan agama, kesamaan partai serta kepemilikan harta kekayaan sebagai jaminan tidak melakukan korupsi, mendapat skor rendah dengan kisaran 31 hingga 44 dalam rentang 0-100.
Pasangan yang mendapat rangking dua dalam elektabilitas adalah BKH-Benny Littelnoni. Walaupun BKH bergelar Doktor Hukum, tingkat pendidikan tinggi ini mendapat apresiasi biasa-biasa saja dari mahasiwa dengan skor 75.
Dalam hal pendidikan MS-Emi mendapat skor 62, Victor-Josef 61, sedangkan Esthon-Chris mendapat angka tinggi yaitu 80. Bila diparafrase, mahasiswa mau mengatakan bahwa untuk menjadi gubernur, gelar S1 sudah cukuplah.
Mengapa mahasiswa memilih BKH-BL? Alasan paling kuat adalah pengalaman di bidang pemerintahan dengan skor 79, dan pengalaman di bidang legislatif dengan skor 72. Sementara sifat merakyat, kejelasan visi-misi, serta persepsi tentang kemampuan pasangan ini membawa NTT ke arah yang lebih baik mendapat skor rata-rata 75.
Pasangan yang menempati posisi ke-3 dalam elektabilitas di kalangan mahasiswa adalah Victor-Josef. Untuk semua alasan, pasangan ini tidak mendapat skor di atas 80. Namun ada satu alasan yang unggul ialah bahwa pasangan ini sanggup membangun jejaring dengan Jakarta dalam proses pembangunan NTT.
Angka untuk faktor ini memang hanya 73 tetapi jauh di atas Esthon-Chris yang hanya meraih angka 49, MS-Emi degan angka 59 dan BKH yang mendapat angka 69.
Alasan lain seperti visi misi yang jelas, sifat merakyat, pengalaman di bidang pemerintahan dan legislatif, kepercayaan akan kemampuan mereka membangun NTT serta ketegasan dalam prinsip dan cara berada dalam kisaran skor 70 sampai 74 menurut penilaian mahasiswa.
Pasangan yang mendapat dukungan suara yang paling kecil di kalangan mahasiswa adalah Esthon-Chris. Walaupun dukungan suara bagi pasangan ini kecil, mereka mendapat skor tinggi bahkan paling tinggi untuk semua variabel.
Misalnya, kejelasan visi misi mendapat skor 95, dan keyakinan bahwa pasangan ini bisa membawa NTT ke kondisi yang lebih baik mendapat angka 91. Demikian pula watak merakyat dan pengalaman dalam birokrasi mendapat skor hampir 87. Sayangnya jumlah dukungan untuk peraih skor tinggi ini hanya 5,23 persen.
Apa yang diharapkan dari pasangan-pasangan ini bila menjadi gubernur? Para mahasiswa harapkan agar pasangan terpilih bisa membawa NTT ke kondisi yang lebih sejahtera.
Bila dirinci, yang dimaksudkan dengan sejahtera adalah kondisi kesehatan yang lebih baik, pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan tinggi yang bisa diakses semua anak usia didik, NTT yang bebas dari korupsi dan human trafficking, NTT dengan infrastruktur yang lebih memadai, NTT dengan sistem penegahan hukum yang berkeadilan, dan NTT yang terpelihara iklim kerukunan antarumat beragamanya.
Semua aspek ini mendapat skor tinggi di atas 80. Sayangnya penciptaan iklim yang kondusif bagi pemasaran komoditi, penciptaan lapangan kerja, dan pelatihan kerja bagi para pengangguran mendapat skor lebih rendah, padahal ketiga hal inilah yang menjadi basis bagi NTT yang lebih sejahtera.
Berbicara tentang perilaku ada dua kelompok mahasiswa yang rada nyentrik. Yang pertama mahasiswa Teknik. Mengamati perilaku dan pola jawabannya, mereka termasuk mahasiswa yang dapat diinterpretasi sebagai mengatakan, "Pilgub?
Memangnya gua pikirin?" Indiferen tetapi tidak menarik garis demarkasi. Mahasiswa Filsafat lain lagi. Mereka tahu bakal ada pilgub, tetapi mereka mengambil jarak dan membangun sikap yang amat skeptis bahwa ini merupakan ajang bagi aktualisasi demokrasi.
Ada sekitar 4,07 persen yang menyatakan tidak akan memilih -semuanya dari Filsafat -dengan alasan tidak memiliki KTP, tidak tertarik, hingga keyakinan siapapun yang terpilih menjadi gubernur, dia tidak akan sanggup mengubah nasib saya.
Sikap skeptik bahkan apatis ini bisa mencerminkan keberjarakan yang diambil Gereka Katolik terhadap negara dan berbagai institusi yang berada di bawah negara.
Contoh paling anyar penyelenggaraan Pesparani baru terjadi setelah negara ini berdiri lebih dari 70 tahun, padahal MTQ dan Perparawi sudah menikmati uang negara selama puluhan tahun.
Mahasiswa NTT berjumlah 56.714 (BPS 2016) sementara pemilih dalam DPT untuk pilgub 2018 berjumlah 3.177.562. Kalau hasil survei tidak berubah, maka jumlah mahasiswa ini tidak signifikan untuk mengubah peta. Namun dinamika politik bisa saja berubah dalam hitungan detik.
Mahasiswa memang bebas memilih, tetapi kenyataan bahwa kita berada dalam negara sebagai sesuatu yang niscaya, membuat kita secara tak terelakkan mengambil bagian dalam berbagai kegiatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara. *