Antara Vino Bianco dan Tuak Putih
Kedua, tatap muka dan diskusi dengan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigran pada
Oleh: Leo Mali
Anak Desa dan Pengajar Fakultas Filsafat Unwira Kupang. Saat ini Tinggal di Roma, Italia
POS KUPANG.COM -- Ada tiga peristiwa yang mendorong saya menulis artikel ini. Pertama, percakapan secara kebetulan dengan seorang ibu yang berasal dari kelas menengah di Jakarta yang sedang mengadakan perjalanan ke Eropa untuk mengunjungi anak-anaknya yang kebetulan salah satunya tinggal di Italia.
Kedua, tatap muka dan diskusi dengan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigran pada tanggal 2 April 2018 di KBRI untuk Italia dan Malta di Roma.
Ketiga, percakapan dengan satu keluarga petani, pada sebuah desa di pinggiran Kota Roma, Italia beberapa hari lalu.
Aneh tapi nyata
Percakapan pertama dengan ibu itu terjadi secara kebetulan. Kami bicara beberapa hal tentang Nusa Tenggara Timur (NTT). Tapi rupanya hanya ada satu hal yang penting baginya; NTT adalah representasi kemiskinan di Indonesia.
Saya katakan padanya meski dibaluti oleh banyak masalah, sehingga NTT sering diplesetkan sebagai akronim dari Nasib Tidak Tentu-tapi sebagai pribadi, saya katakan padanya bahwa saya bangga terlahir sebagai orang NTT.
Karena ternyata kebiasaan menjalani hidup yang keras dan penuh tantangan, memberikan pada saya kemampuan untuk bertahan dalam kesulitan.
Walau tidak serta merta menyelesaikan semua soal dalam hidup, ketahanan ini memberi saya harapan untuk terus berjuang. Mendengar optimisme itu, dengan ketus dia balik bertanya pada saya.
"Apa yang dibanggakan dari provinsi yang cuma bisa menghasilkan pembantu rumah tangga?" Pernyataan ini sangat menyakitkan. Tapi saya tidak menanggapinya.
NTT memang terlanjur dikenal sebagai salah satu provinsi termiskin di Indonesia. Bersamaan dengan itu banyak stigma negatif diberikan padanya; provinsi miskin, provinsi pembantu rumah tangga, provinsi darurat trafficking dll.
Saya tidak menanggapi tantangannya. Karena hemat saya ibu itu adalah hanya satu dari sekian banyak warga kelas menengah di Jakarta yang tidak mengenal kondisi Indonesia di desa desa termasuk di NTT.
Sebagian besar pelaku politik dan pembuat kebijakan yang menentukan nasib 5 jutaan rakyat Indonesia di provinsi ini sebenarnya belum pernah ke NTT. Kerapkali memang mereka risau tentang NTT atau risau tentang desa-desa di Indonesia.
Namun kadang mereka salah kaprah karena mereka lebih kenal Eropa dan Amerika ketimbang Indonesia. Aneh tapi nyata.
Tanggung Jawab Negara
Setiap kali bicara tentang kemiskinan dalam sebuah ruang politik negara, Amartya Zen, tidak pernah lelah menegaskan bahwa kelaparan (baca kemiskinan) terjadi bukan karena kurangnya makanan tetapi karena kurangnya demokrasi.
Karena demokrasi dalam pengertian yang paling umum mulai dari proses perumusan aspirasi rakyat, pembentukan pemerintahan sampai pada proses menjalankan pemerintahan atas dasar semangat kedaulatan rakyat, adalah jawaban yang menjelaskan sejauh mana kesejahteraan masyarakat diurus.
Sehingga persoalan kemiskinan, termasuk kemiskinan di NTT ada dalam wilayah tanggungjawab konstitusional politik negara.
Sangat tidak cukup menyatakan bahwa NTT atau salah satu daerah di Indonesia itu miskin. Tapi harus ditanyakan sejauh mana negara menjalankan urusan-urusan kesejahteraan umum seluruh warganya.
Dalam konteks ini menarik, menyimak percakapan kedua dengan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigran, Eko Putro Sandjojo baru-baru ini di KBRI Italia dan Malta.
Dalam pertemuan itu, ia menggambarkan secara optimistis sejumlah kebijakan pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo untuk mengentaskan desa-desa Indonesia dari kemiskinan.
Dalam hitungan saya nama provinsi NTT disebut lebih dari sepuluh kali. Dua hal jelas terlihat. Di satu sisi kondisi dan masalah kemiskinan di NTT menjadi contoh yang konkrit. Kedua, tampak bahwa pemerintah pusat sangat serius "mengurus" NTT.
Beberapa contoh konkrit diberikan, antara lain pembangunan tujuh bendungan di NTT untuk melayani kebutuhan masyarakat akan air baku untuk pertanian, peternakan dan kehidupan sehari-hari. Semangatnya memang konkrit. Asumsinya dengan begitu akan tercipta peluang lapangan kerja baru di desa, sehingga orang desa tidak perlu lagi ke kota.
Pemulihan Kepercayaan Diri Desa
Kemiskinan desa-desa di NTT tidak terlepas dari fakta akut, kebijakan pembangunan yang sentralistik. Desa hanyalah sisa dari kota. Lalu secara kultural orang desa pun terhegemoni dengan stigma stigma minor; bodoh, kampungan, terbelakang, miskin, bermasalah dan lain-lain.
Diperparah oleh propaganda budaya konsumerisme yang tumbuh liar dan bebas melalui media massa dan medsos, desa akhirnya ditinggalkan. Orang-orang pergi ke kota. Tidak ada kebanggaan untuk tinggal di desa.
Akibatnya sebagai contoh, di desa-desa di NTT, angkatan kerja produktifnya bisa dihitung dengan jari dan cuma sedikit yang mau turun ke ladang. Harga diri dan kepercayaan diri desa sebagai satu komunitas, yang dibutuhkan sebagai kekuatan kreatif untuk bertahan dan survive, perlahan tergerus.
Hal ini membuat saya teringat percakapan ketiga dengan satu keluarga petani di sebuah desa di wilayah Lazio, pinggiran Kota Roma. Beberapa hari lalu kami dijamu di rumahnya dengan minuman anggur putih (Vino bianco) produk petani di desa itu.
Sudah umum diketahui bahwa sejumlah minuman yang dijual di toko-toko minuman seluruh dunia, terbanyak adalah minuman orang-orang desa di Eropa dan Amerika yang kemudian diolah secara profesional menjadi minuman berstandar internasional.
Hal ini memberi pada mereka kepercayaan diri yang membuat mereka sanggup mengenal kekuatan-kekuatan dalam diri mereka yang bisa dikembangkan. Kreativitas tetap tumbuh dari desa. Sejumlah anak muda masih mau pulang ke desa.
Desa Tetap Kuat
Kadang saya berandai-andai akankah satu hari kelak Tuak putih yang terbuat dari nira lontar dari petani-petani di desa-desa pedalaman Sabu atau Rote bisa diperlakukan sama seperti perlakuan orang-orang di kota-kota memperlakukan Vino Bianco petani Italia atau bir para petani Jerman? Ataukah kita hanya bisa menamainya miras agar bisa dengan mudah diberangus?
Harapan simbolik ini saya kemukakan pada seluruh warga provinsi NTT yang sebentar lagi akan memilih Gubernur dan Wakil gubernur.
Kita berharap NTT akan mendapatkan pempimpin baru yang sanggup memulihkan kembali rasa harga diri dan kebanggaan diri pada saudara-saudari kita yang ada di desa-desa di NTT. Sebab jika desa kuat, negara sehat. *