Soal Info Intelijen Jadi Alat Bukti Kasus Terorisme, Begini Komentar Busyro Muqoddas

Ketua PP Muhammadiyah Bidang Hukum dan HAM Busyro Muqoddas menegaskan, informasi intelijen harus mendapat verifikasi lebih dulu

Editor: Kanis Jehola
KOMPAS.COM
Ketua PP Muhammadiyah Bidang Hukum dan HAM, Busyro Muqoddas seusai bertemu Ketua DPR Bambang Soesatyo terkait pembahasan RUU Antiterorisme, di gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (21/5/2018). 

POS-KUPANG.COM |JAKARTA - Ketua PP Muhammadiyah Bidang Hukum dan HAM Busyro Muqoddas menegaskan, informasi intelijen harus mendapat verifikasi lebih dulu dari Ketua Pengadilan Negeri sebelum dijadikan alat bukti dalam menangkap seorang terduga teroris.

Hal itu sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 26 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidama Terorisme (UU Antiterorisme).

"Pelibatan intelijen dalam penanggulangan tindak pidama terorisme harus dilakukan dengan hati-hati," ujar Busyro seusai bertemu Ketua DPR Bambang Soesatyo terkait pembahasan RUU Antiterorisme, di gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (21/5/2018).

Baca: 70 Persen Warga Jateng Puas dengan Kinerja Jokowi

"Meskipun data intelijen dapat dijadikan alat bukti, namun harus mendapatkan verifikasi dari Ketua Pengadilan Negeri setempat," tuturnya.

Meski demikian, Busyro meminta ketentuan tersebut dipertimbangkan dalam proses pembahasan revisi UU Antiterorisme.

Pasalnya, kata Busyro, ketentuan informasi intelijen dapat dijadikan alat bukti telah menyalahi aturan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Intelijen sebagai Bukti Hukum Oleh sebab itu, ia menilai informasi intelijen juga harus dilengkapi dengan bukti yuridis yang memiliki persyaratan lebih ketat dibandingkan bukti intelijen.

"Bukti intelijen meskipun telah diverifikasi oleh Ketua Pengadilan Negeri masih memerlukan bukti yuridis," kata Busyro.

Sebelumnya, Wakil Ketua Pansus RUU Antiterorisme Supiadin Aries Saputra menilai bahwa informasi intelijen dapat dijadikan bukti permulaan bagi Polri untuk menangkap dan menangkap seorang terduga teroris.

Penangkapan dan penahanan tersebut dilakukan untuk kepentingan penyidikan. "Kalau terduga teroris, (syaratnya) bukti permulaan yang cukup. Bukti itu bisa dari laporan intelijen. Bukan laporan orang intelijen. Bolak-balik saya bilang laporan badan intelijen. Apakah tingkat BAIS (Badan Intelijen Strategis TNI), BIN (Badan Intelijen Negara) atau Mabes Polri," ujar Supiadin di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (21/5/2018).

Menurut Supiadin, meski informasi intelijen bisa dijadikan bukti permulaan, namun Polri harus memastikan terduga teroris tersebut merencanakan dan mempersiapkan aksi teror. (*)

Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved