Patahnya Palu dan Firasat Harmoko Ihwal Kejatuhan Soeharto

Begitu palu sidang saya ketukkan, meleset, bagian kepalanya patah, kemudian terlempar ke depan

Editor: Kanis Jehola
KOMPAS.COM
Pimpinan DPR yang terdiri dari Ketua Harmoko, Wakil Ketua Ismail Hasan Metareum, Syarwan Hamid, Abdul Gafur dan Fatimah Achmad (tidak nampak) di Gedung DPR, Senin (18/5/1998), membuat pernyataan mengimbau Presiden Soeharto mengundurkan diri. 

POS-KUPANG.COM | JAKARTA - "Begitu palu sidang saya ketukkan, meleset, bagian kepalanya patah, kemudian terlempar ke depan...," ungkap Ketua DPR-MPR periode 1997-1999, Harmoko dalam buku Berhentinya Soeharto: Fakta dan Kesaksian Harmoko.

Patahnya palu sidang itu terjadi saat Sidang Paripura ke-V, penutupan sidang MPR, 11 Maret 1998. Sidang tersebut menandai terpilihnya lagi Soeharto menjadi Presiden untuk ketujuh kalinya.

Seperti biasa, sebagai pimpinan sidang, Harmoko menutup sidang dengan mengetukkan palu sebanyak tiga kali. Namun, hari itu, palu sidang patah saat diketukkan. Kepala palu terlempar ke depan meja jajaran anggota MPR.

Baca: Satu Nominasi Bersama Justin Bieber, BTS Raih Top Social Artist 2018 di Billboard Music Awards 2018!

Siti Hardiyanti Rukmana atau Mbak Tutut, putri sulung Presiden Soeharto, ada di barisan terdepan dan berhadapan langsung dengan kursi pimpinan dewan.

Kejadian tersebut sedikit mengguncang Harmoko. Sebab, insiden patahnya palu sidang baru kali pertama terjadi dalam sejarah persidangan MPR yang sudah berlangsung bertahun-tahun.

"Bahwa hati saya bertanya-tanya," ujarnya. Usai sidang, seperti biasa pula, Harmoko mendampingi Presiden Soeharto meninggalkan ruang sidang paripurna.

Pertanyan-pertanyaan dalam benaknya tak kunjung sirna saat ia berjalan di atas karpet mengantarkan Presiden Soeharto menuju lift di Gedung MPR-DPR. Sesampainya di depan lift, Harmoko menyatakan permohonan maaf kepada Presiden Soeharto.

"Saya minta maaf, palunya patah. Lantas Pak Harto hanya tersenyum sambil menjawab 'barangkali palunya kendor'," kata dia.

Sebenarnya, sepanjang 1997, pencalonan Soeharto untuk menjadi presiden ketujuh kalinya sudah menjadi diskursus publik.

Apalagi, ada keinginan Pak Harto yang diungkapkannya ke rakyat untuk lengser keprabon madeg pandito. Publik pun mencari jawaban yang pas di balik ucapan tersebut.

Sebagian menilai Pak Harto tak ingin lagi dipilih jadi Presiden. Namun, Golkar saat memperingati HUT-nya pada Oktober 1997 menyatakan telah bulat berniat mencalonkan kembali Soeharto sebagai presiden. Soeharto lantas meminta agar pencalonannya diteliti lagi.

Dalam sambutannya sebagai Ketua Dewan Pembina Golkar, Pak Harto menanggapi pencalonannya dengan ungkapan cerita pewayangan "Lengser Keprabon".

Dalam pidatonya, mantan Panglima Kostrad itu mengatakan bukan masalah baginya bila rakyat sudah tidak memercayainya lagi sebagai pemimpin.

"Saya akan menempatkan diri sebagaimana dalam falsafah pewayangan yaitu lengser keprabon madeg pandito (pensiun menjadi pemimpin akan menjadi begawan)," kata dia.

Sementara itu di tingkat publik, pernyataan itu ditangkap sebagai keengganan Pak Harto untuk menjadi Presiden lagi. Bahkan, beberapa tokoh nasional memelopori perlunya suksesi kepemimpinan nasional pasca-Presiden Soeharto. Salah satu tokoh yang vokal akan hal itu yakni Amien Rais.

Pada periode itu pula, kritik-kritik tajam mengarah kepada pemerintah dan Presiden Soeharto. Penyebabnya yakni krisis ekonomi 1998 yang membuat gejolak sosial. Harga kebutuhan pokok melambung, bikin rakyat menjerit. Bank berguguran, dan masyarakat berbondong-bondong menarik dananya dari bank.

Situasi diperparah dengan nilai tukar rupiah yang jeblok hingga Rp 16.000 per dollar AS. Devisa negara tergerus hanya tinggal 20 miliar dollar, adapun utang pemerintah mencapai 130 miliar dollar AS.

Presiden Soeharto lantas bekerja sama dengan IMF untuk mengatasi krisis ekonomi 1998. Namun, keputusan itu menyulut publik dan membuat ketidakpuasan memuncak. Dalam hitungan bulan, krisis ekonomi pun kian kompleks karena disertai dengan krisis sosial dan politik.

Sementara itu, pada 11 Maret 1998, Soeharto dilantik sebagai Presiden untuk ke-tujuh kalinya. Firasat Patahnya palu dalam Sidang Paripura ke-V pada 11 Maret 1998 silam menandai terpilihnya lagi Soeharto, yang berpangkat Jenderal Besar TNI, menjadi presiden.

Selaku orang Jawa, Harmoko terus bertanya-tanya tentang peristiwa yang ia alami. Apalagi, patahnya palu sidang baru kali itu terjadi. Raut wajahnya berubah saat Harmoko menceritakan peristiwa itu. Ada firasat yang dirasakan oleh mantan Menteri Penerangan itu. Peristiwa patahnya palu tak bisa ia lupakan.

Usai terpilih lagi menjadi Presiden untuk ketujuh kalinya, Soeharto dihadapkan dengan aksi-aksi demonstrasi besar menentang pemerintahan. Mahasiswa Universitas Trisakti menuntut reformasi pada 12 Mei 1998. Aksi demonstrasi ini kemudian berujung tragedi.

Mahasiswa Universitas Trisakti menuntut reformasi pada 12 Mei 1998. Aksi demonstrasi ini kemudian berujung tragedi.

Firasat tak enak Harmoko lantas terjawab. Hanya dalam 70 hari setelah peristiwa patahnya palu atau pada 21 Mei 1998, Soeharto memutuskan mundur dari jabatanya lantaran desakan publik.

Perjalanan Soeharto sebagai presiden RI selama 32 tahun pun patah bak palu yang diketukkan Harmoko. Menurut Arwan Tuti Artha, penulis buku Dunia Spritual Soeharto, patahnya kepala palu di Sidang Paripura MPD ke-V memberi isyarat patahnya perjalanan Pak Harto di tengah jalan. Lengsernya Soeharto menandai munculnya era baru bernama reformasi. Era ini diharapkan mengembalikan demokrasi yang dianggap lenyap selama 32 tahun Orde Baru berkuasa. (*)

Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved