Stop Sebut Pelakor Ini Bentuk Tindak Kekerasan Terhadap perempuan
Belakangan ini, masyarakat Indonesia dibombardir cerita-cerita mengenai “pelakor”
Tapi juga menghilangkan agensinya sebagai manusia yang bebas dan berdaya. Sang laki-laki bukanlah barang yang dicuri. Ia sama-sama bertanggung jawab dalam situasi ini dan seharusnya secara linguistik dan retorik tidak dihilangkan dalam narasi.
Maka, jika kita masih perlu memberi label pada perempuan yang melakukan perselingkuhan dengan laki-laki yang sudah memiliki pasangan dengan istilah pelakor, marilah kita gunakan bersama-sama dengan “letise” (lelaki tidak setia) karena kedua pihak berkolaborasi dalam perselingkuhan.
Mari gunakan istilah pelakor dan letise bersama-sama, jika di antara kita berkukuh untuk memberi label. Sebenarnya “Wanita Idaman Lain (WIL)” masih jauh lebih netral, yang secara pragmatik menyiratkan “kesertaan” lelaki dalam wacana perselingkuhan.
Pada titik itu, saya mempertanyakan kecenderungan kita untuk menghakimi masalah pribadi orang lain ketika kita hanya memiliki informasi yang terbatas mengenai kasus tersebut dan orang-orang yang terlibat. Bisa jadi alasan hadirnya istilah pelakor hanya karena beberapa dari kita merasakan kebutuhan yang kuat untuk menghakimi orang lain, dan secara tidak adil pula. (Visiting scholar, Auckland University of Technology Artikel The Conversation)
Berita ini sudah ditayangkan di Kompas.com dengan judul : http://sains.kompas.com/read/2018/02/24/200600523/apa-kata-ahli-linguistik-soal-pelakor