Tindakan Bunuh Diri dan Autofobia

Kasus bunuh diri tersebut bisa dilatarbelakangi oleh beragam faktor seperti ekonomi, gangguan kejiwaan, kegagalan

Editor: Dion DB Putra
google.com
Ilustrasi 

Oleh: Rio Nanto
Anggota Kelompok Menulis Koran, Ledalero

POS KUPANG.COM - Tindakan mengakhiri hidup dengan membunuh diri kembali menjadi salah satu topik hangat dalam ruang publik Nusa Tenggara Timur. Tindakan mengakhiri hidup nyaris menjadi salah satu kenyataan yang paling fenomenal. Kasus terakhir menimpa I Nyoman Bayu Dirga, pemuda asal Bali. Dia menerjunkan diri di Jembatan Liliba, Kupang (Pos Kupang, 31/1/2018).

Kasus bunuh diri tersebut bisa dilatarbelakangi oleh beragam faktor seperti ekonomi, gangguan kejiwaan, kegagalan dalam percintaan, kehilangan cinta dari keluarga, dan korban indoktrinasi ideologis. Pelaku bunuh diri kehilangan keseimbangan untuk mempertahankan kehidupan dengan pelbagai kompleksitas permasalahan di dalamnya.

Selain faktor tersebut di atas, akar ontologis bunuh diri adalah konsep dan pemahaman pelaku akan esensi diri sendiri. Hal ini beralasan karena hampir seluruh bangunan kepribadian seseorang ditentukan oleh cara pandangnya terhadap diri sendiri.

Tulisan ini mencoba menelisik cara pandang baru tentang penyebab bunuh diri. Penulis akan membaca bunuh diri sebagai bentuk ketakutan akan diri sendiri (autofobia).

Autofobia

Faktum bunuh diri dalam perspektif moral dan filosofis menegasikan peran rasio. Korban menyangkal peran rasio untuk mempertimbangkan tindakan moral bagi diri sendiri dan orang lain. Kealpaan daya kritis ini merevisi nalar Hobbesian "bukan menjadi serigala bagi orang lain tetapi menjadi serigala bagi diri sendiri".

Manusia mencabik kemanusiaan dalam dirinya sendiri sebagai bentuk adorasi terhadap kompleksitas hidup di dunia. Manusia menjadi pembunuh bagi dirinya. Bagi Heiddeger, pembunuhan diri ini adalah produk substitusi manusia sebagai homo sapiens menjadi homo brutalis.

Kealpaan korban bunuh diri untuk berpikir kritis bersumber dari ketakutan atau kecemasan yang mendalam akan diri sendiri. Semua manusia mampu berpikir kritis dalam mempertimbangkan kebaikan dan keburukan, tetapi ketakutan akan diri sendiri membuat manusia menjadi buta akan pertimbangan rasional. Hal ini terjadi karena manusia seringkali mengkomparasikan dirinya dengan orang lain serta merumuskan tujuan hidup yang kurang realistis.

Dalam psikologi fenomena ini termaktub dalam perfeksionisme. Perfeksionisme sudah lama mendapat sorotan akademik di Barat sebagai salah konstruk yang terkait dengan berbagai gejala psikologis negatif. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa perfeksionisme merupakan hasrat untuk menetapkan dan mencapai standar-standar diri dan keberhasilan yang amat tinggi.

Dalam hubungannya dengan kesehatan mental, perfeksionisme dapat menjadi sifat yang adaptif dan mendorong seorang individu untuk mencapai prestasi tinggi. Parker dan Adkins menulis bahwa atlet-atlet profesional tidak akan bisa berhasil tanpa hasrat yang kuat untuk mencapai standar performa yang amat tinggi.

Di sisi lain, perfeksionisme juga dapat menjadi maladaptif, misalnya apabila standar-standar ini begitu tinggi sehingga individu hampir selalu merasa gagal dalam melakukan sesuatu.

Sifat ganda ini sudah lama diperhatikan oleh beberapa teoretisi psikologi. Adle misalnya, mengatakan bahwa perfeksionisme merupakan aspek perkembangan yang normal dan hanya menjadi masalah ketika individu menetapkan standar-standar superioritas yang tidak realistis dalam mencapai tujuan atau goals.

Karena itu, orang akan merasa rendah diri, malu, depresi karena tidak mampu menjangkau tujuan yang terlampau tinggi.

Distansi antara harapan dan kenyataan menjadi semakin kuat berhadapan dengan perkembangan dunia modern yang menuntut orang untuk berkompetisi dan berinovasi.

Kehidupan modern yang menuntut kecepatan dan ketepatan selain membawa keuntungan dalam multiaspek kehidupan serentak menyeret pengaruh negatif bagi manusia yang kurang bijaksana dalam menghadapinya.

Perkembangan modern yang membuat dunia menjadi kampung global dalam tesis Marshall McLuhan membawa implikasi yang buruk bagi sekelompok orang yang tidak mampu menghadapinya.

Perkembangan teknologi membuat orang yang tidak mampu menghadapinya menderita `kesepian' dan mengidap `rendah diri'. Perasaan negatif ini terjadi ketika orang tidak mampu hidup dalam standar-standar yang ditetapkan oleh perubahan teknologi.

Dalam kajian Hannah Arendt, fenomena ini adalah salah satu patologi masyarakat modern. Patologi itu bernama perasaan ditinggalkan (Gefuehl der Verlasssenheit). Perasaan itu muncul ketika manusia tidak mampu beradabtasi dengan gaya hidup modern.

Perasaan ditinggalkan membuat orang tidak mempunyai sesuatu yang umum bersama orang lain. Dalam kondisi seperti inilah, kejahatan muncul dalam arti orang digiring untuk menjadi pelaku kejahatan terhadap diri sendiri. orang menjadi takut terhadap diri sendiri karena tidak mampu bersaing dengan orang lain. "Rasa takut" tulis Bertrand Russel adalah "sumber utama tahayul dan salah satu sumber kekejaman terhadap diri sendiri"

Revitalisasi Konsep Diri

Akar utama aksi pembunuhan diri adalah ketakutan akan diri sendiri. Korban bunuh diri merasa diri kecil untuk bersaing dengan perkembangan dunia modern. Berkaitan dengan ini Heidegger dengan tepat mengemukakan bahwa ketakutan sebenarnya merupakan salah satu ciri utama manusia yang terlempar di dalam dunia.

Ketakutan perlu disadari sebagai bagian dari hidup, sehingga ia hadapi dalam keseharian. Hal yang sama juga berlaku dengan ketegangan. Ketegangan dalam kehidupan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari perjalanan menusia di dunia ini. Para ilmuwan berpendapat bahwa ketegangan adalah kegiatan atau keadaan yang menimbulkan tuntutan-tuntutan psikis dan fisik tertentu.

Oleh karena itu, berhadapan dengan fenomena bunuh diri, salah satu usaha yang dapat dilakukan adalah merevitalisasi konsep diri. Konsep diri ini merupakan pendekatan operasional terhadap pertanyaan filosofis "Siapakah Saya?".

Erik Fromm melihat konsep diri memiliki peranan yang membedakan manusia dari mahluk hidup yang lain. Baginya, manusia melebihi segala bentuk kehidupan karena hanya manusia yang mampu menyadari dirinya sendiri.

Dobzhansky, ahli genetika terkenal, juga menyatakan kesadaran diri sebagai ciri pokok dan sebagai sesuatu yang baru dari Homo Sapiens yang bersifat evolusioner. Kesadaran diri ini menempatkan implikasi-implikasi yang sungguh-sungguh pada pengalaman manusia karena melibatkan suatu pencarian arti kehidupan itu sendiri.

Untuk mengetahui identitas seseorang membolehkan pemahaman masa lalu seseorang juga pemahaman mengenai kemampuan-kemampuan masa depannya, dan pemahaman tempat seseorang di dalam keteraturan mahluk-mahluk. Konsepsi-konsepsi manusia mengenai dirinya sendiri mempengaruhi tingkah lakunya dan pengharapannya dari hidup ini. *

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved