Begini Sebaiknya Menyikapi Kasus Persekusi Wakil Walikota Kupang Herman Man

Namun, kami memandang perlu harus segera ditulis karena sadar akan potensi "keributan" yang melebar dan

Editor: Dion DB Putra
POS KUPANG/HERMINA PELLO
Wakil Walikota Kupang, dr. Herman Man 

Oleh: Aven Jaman
Kolumnis pada SEWORD, pemilik situs www.myhoqami.com, tinggal di Kediri

POS KUPANG.COM -- Jujur saja, tatkala hendak menulis artikel ini, penulis belum menemukan data valid terkait alasan di balik rekaman kejadian mengamuknya beberapa oknum di ruang Wakil Walikota Kupang yang viral di media beberapa hari terakhir.

Namun, kami memandang perlu harus segera ditulis karena sadar akan potensi "keributan" yang melebar dan membesar dari kejadian tersebut.

Bagi pembaca yang belum sempat lihat videonya, penulis beri sedikit gambaran.

Dalam video tersebut, sekelompok orang, beberapa di antaranya menggunakan atribut pegawai negeri sipil (PNS) atau Aparatur Sipil Negara (ASN), mengamuk dan membentak-bentak bahkan sampai menunjuk-nunjuk wajah Wakil Walikota Kupang, dr. Herman Man yang baru dilantik pada bulan Agustus 2017 lalu.

Video ini lantas menjadi topik hangat di beberapa grup media sosial (medsos) yang penulis ikuti.

Tidak sedikit, bahkan nyaris semuanya, yang berposisi seperti penulis yakni menyayangkan hal seperti itu bisa terjadi pada seorang pejabat negara.

Sampai kini pun, penulis belum menemukan satu komentar yang menentang arus simpati terhadap korban.

Menyentuh Dua Domain Sekaligus

Isinya yang memperlihatkan sekelompok oknum beratribut ASN/PNS serta-merta membawa dua persepsi sekaligus.

Pertama, birokrasi. Dari segi ini, tindakan beberapa oknum ASN adalah pelanggaran birokratif.

Sebagaimana diketahui, sumpah jabatan mengikat tiap PNS/ASN untuk tunduk dan setia pada atasan seturut amanat peraturan dan perundang-undangan yang berlaku seperti UU No. 8 Tahun 1974 dan PP No. 30 Tahun 1980.

Kejadiannya berlangsung pada saat jam dinas. Karena berlangsung pada jam dinas, maka wakil walikota adalah atasan dalam struktur kedinasan segenap ASN/PNS di lingkungan Kotamadya Kupang sebagai yang harus dihormati.

Tindakan membentak sampai menunjuk-nunjuk muka adalah tindakan tidak etis, melanggar kesantunan berkomunikasi, apalagi dilakukan dalam lingkup kedinasan.

Berdasarkan itu, tindakan pelaku persekusi bisa dijerat menggunakan aturan kedinasan sebagai tindakan indisipliner, akibat hukumnya bisa berujung pemecatan.

Kedua, politik. Wakil walikota adalah juga jabatan politis, tidak sekadar birokratis. Dalam perspektif ini, harap hati-hati dalam menyikapinya. Sebab, bisa jadi ini adalah permainan politik.

Pertama, kejadian ini katanya adalah buntut dari janji kampanye kepada tim sukses (timses). Menurut sumber yang belum bisa dikonfirmasi kebenaran informasinya, oknum-oknum ini adalah timses paket walikota-wawali yang kini resmi menjabat tersebut.

Kepada timses dari latar ASN/PNS ini dijanjikan mutasi kedinasan apabila berhasil menang. Memang paket wali/wawali ini kemudian menang. Maka, wewenang untuk melakukan mutasi seharusnya dilakukan Jefri Riwu Kore selaku walikota.

Namun, mungkin karena yang bersangkutan sadar bahwa ini adalah isu panas, lalu melemparkannya ke wakil walikota yakni dr. Herman Man untuk menunaikannya.

Bola panas ini memang mungkin sudah diterima oleh dr. Herman, akan tetapi berhubung UU No. 8/2015 tentang Perubahan Atas undang-Undang No. 1/2015 tentang Penetapan Perpu No. 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi undang-Undang, khususnya pasal 162 ayat (03) mengatur

"Gubernur, Bupati, atau Walikota dilarang melakukan penggantian pejabat di lingkungan Pemerintah Provinsi atau Kabupaten/Kota, dalam jangka waktu enam bulan terhitung sejak tanggal pelantikan," maka jelas dr. Herman belum bisa melaksanakan hal itu.

Sekelompok oknum itu bisa saja karena tidak sabar, lalu mencoba menekan dengan melakukan persekusi terhadap Wakil Walikota Kupang tersebut.

Tinjauan kritis pantas dilontarkan terkait ini. Bila benar para oknum tersebut adalah timses, maka ini berarti mereka terlibat politik praktis, hal mana melanggar Undang-Undang Nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, Undang-undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Otonomi Daerah, serta Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 53 tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil yang mana semuanya melarang ASN/PNS berpolitik praktis.

Di sini tentu kedua pihak bersalah. Jangankan yang menang, yang kalah saja bisa dipenjara karena secara nyata melakukan pelanggaran terhadap amanat UU di atas.

Di sinilah mungkin letaknya kenapa dr. Herman masih bergeming tidak mau tampil ke publik guna mengklarifikasi kasus persekusi yang dialaminya tersebut.

Tepat di sini pula para simpatisan korban perlu berhati-hati mengadvokasi. Niat membela, malah jerat hukum menunggu beliau. Jadi, kasus ini harus betul-betul dikaji mendalam dahulu sebelum kita melontarkan nada-nada simpati.

Kedua, dari persepktif politik kasus ini pantas juga dinilai sebagai upaya menaikkan popularitas dr. Herman. Membanjirnya simpati jelas merupakan modal yang besar dalam domain politik.

Ingat, dalam domain politik, tak ada yang benar-benar merupakan tragedi sebagaimana pula tak ada kebahagiaan yang abadi. Semuanya kabur di balik balutan kepentingan. So?

Hentikan Simpati Konyol!

Telah penulis singgung bahwa kasus ini serta-merta menuai simpati khalayak kepada dr. Herman. Namun, Ketua PKB Mabar Sirilus Ladur punya pendapat berbeda.

Menurutnya publik tidak boleh terjebak dalam simpati spontan hanya atas dasar menyimak isi tayangan video.

"Kita toh, belum tahu ada apa di balik kasus tersebut. Mengapa mereka sampai membentak-bentak Pak Wawali padahal Pak Wawali adalah orang yang mereka perjuangkan untuk jadi wakil walikota, kan?", demikian sambungnya ketika penulis coba tanyai pendapat.

"Bisa jadi ini adalah permainan politik. Pak Wawali harusnya tidak terjebak. Caranya apa? Ya gunakan haknya selaku atasan dalam struktur kedinasan di wilayah Kota Kupang. Otoritas yang dimilikinya dijamin undang-undang kok dalam menyelenggarakan kepentingan negara bila itu adalah faktor pemicu munculnya kasus," katanya lebih lanjut.

Apapun alasan di balik kasus ini, penulis merasa miris, sedih melihat satu di antara sesepuh Manggarai ini diperlakukan sedemikian kasar. Namun, kasus ini justru akan menjadi semakin mengenaskan tatkala ada yang secara sengaja menggugah solidaritas etnis asal dr. Herman.

Bila menuruti emosi, penulis sudah tentu akan ikut hanyut dalam upaya tersebut karena penulis satu etnis dengan dr. Herman, Manggarai. Namun, penulis justru tampil menentang gerakan yang coba digelorakan beberapa oknum di berbagai linimasa.

Sebab, tanpa mengurangi rasa simpati mendalam saya kepada dr. Herman, kasus ini adalah kasus yang tak ada kaitannya sama sekali dengan sentimen antaretnis. Maka, apabila sentimen primordial coba dipaksakan masuk ke pusaran kasus, bukan tidak mungkin ini akan memantik konflik baru, konflik antaretnis.

Penulis selaku putra asli Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan etnis yang sama dengan dr. Herman justru tidak ingin sesama NTT terlibat konflik. Maka, paling bijak ialah mendesak aparat kepolisian segera bertindak mendalami kasus ini.

Apa hasilnya, biarkan proses hukum yang menjawabnya. Itu kalau kita sama-sama ingin kasus ini jadi pelajaran berharga untuk ke depan dalam mengindahkan hukum. *

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved