Inilah Relasi Antara Kemiskinan, Korupsi dan Perasaan Bahagia

Program ini disepakati bersama pada 21 Oktober 2015 sebagai tujuan bersama hingga tahun 2030. SDGs hadir untuk

Editor: Dion DB Putra
Net
Ilustrasi 

Oleh : Andrew Donda Munthe
ASN pada BPS Kota Kupang, Mahasiswa Pascasarjana IPB Bogor

POS KUPANG.COM -- Pada pertemuan pemimpin berbagai negara dalam forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) disepakai program pembangunan berkelanjutan yang disebut Sustainable Development Goals (SDGs).

Program ini disepakati bersama pada 21 Oktober 2015 sebagai tujuan bersama hingga tahun 2030. SDGs hadir untuk menggantikan program pembangunan sebelumnya yaitu Millenium Development Goals (MDGs) yang berakhir pada tahun 2015.

Pembangunan berkelanjutan dalam SDGs dilakukan dengan tiga pendekatan yaitu pembangunan ekonomi, keterbukaan dalam tatanan sosial serta keberlangsungan lingkungan hidup.

Dalam SDGs terdapat 17 tujuan dengan 169 target yang ingin dicapai. Salah satu prioritas tujuan SDGs tersebut terkait dengan pengentasan kemiskinan.

Masalah kemiskinan memang merupakan tantangan besar keberhasilan pembangunan yang diselenggarakan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

Dalam Seminar Nasional Statistik yang diselenggarakan di Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) Jakarta pada tanggal 4 Oktober 2017, Dr. Suhariyanto (Kepala BPS Republik Indonesia) menyatakan bahwa kemiskinan di Indonesia memiliki beberapa karakteristik.

Karakteristik tersebut di antaranya adalah mayoritas penduduk miskin berada di daerah pedesaan (61,6 persen), mayoritas penduduk miskin bekerja di sektor pertanian (50,84 persen), mayoritas penduduk miskin berpendidikan rendah yaitu tidak tamat SD maupun yang hanya tamat SD (80,80 persen). Lalu bagaimana kondisi pembangunan dan kemiskinan yang ada di Nusa Tenggara Timur (NTT) saat ini?

Pengukuran kemiskinan yang selama ini dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dalam pendekatan ini, kemiskinan diterjemahkan sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia.

Kebutuhan tersebut terdiri atas kebutuhan dasar makanan dan kebutuhan dasar non-makanan. Kebutuhan-kebutuhan tersebut diukur dari sisi pengeluarannya. Dengan melakukan pendekatan ini, maka dapat dilakukan perhitungan yang pada akhirnya menghasilkan nilai persentase penduduk miskin terhadap total penduduk.

Pengertian penduduk miskin seperti yang telah dijabarkan di atas adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan (GK).

Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) bulan Maret 2017, GK di Provinsi NTT adalah Rp 343.396 per kapita per bulan. Dengan nilai GK tersebut maka jumlah penduduk miskin di provinsi ini mencapai 1.150.790 orang (21,85 persen).

Dengan persentase sebesar itu, NTT menduduki "juara" tiga daerah termiskin di Indonesia. NTT "hanya" kalah dari Provinsi Papua dan Papua Barat yang masing-masing persentase penduduk miskinnya mencapai 27,62 persen dan 25,10 persen.

Berbagai program pemerintah yang digulirkan melalui alokasi dana APBN maupun APBD setiap tahunnya ternyata belum mampu membawa daerah ini keluar dari status "daerah miskin".

Banyak faktor mengapa pembangunan di NTT perkembangannya tidak sepesat daerah lain sehingga masyarakatnya masih terpuruk dalam kemiskinan. Salah satu penyebabnya adalah belum optimalnya penggunaan basis data terpadu.

Idealnya, pemerintah memiliki dan menggunakan basis data terpadu yang valid, lengkap serta akurat. Dengan demikian program kebijakan tidak tumpang tindih serta tepat sasaran dalam menanggulangi kemiskinan di NTT.

Alasan lain yang membuat NTT berstatus "daerah miskin" karena masih maraknya kasus korupsi di daerah ini. Bahkan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Saut Situmorang, menyatakan ada 10 daerah yang rawan adanya tindak pidana korupsi dan menjadi prioritas pengawasan KPK.

Sepuluh daerah tersebut adalah Aceh, Papua, Papua Barat, Riau, Banten, Sumatera Utara, Bengkulu, Jawa Tengah, Sulawesi Tengah, dan juga Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Indonesia Corruption Watch (ICW) menyatakan bahwa praktek korupsi yang terjadi di Indonesia termasuk di NTT dilakukan dengan berbagai modus. Mulai dari kegiatan atau proyek fiktif, anggaran ganda, praktik mark up maupun mark down, laporan fiktif, penggelapan, penyalahgunaan wewenang, hingga modus pungutan liar.

Seorang sastrawan, budayawan dan penulis Indonesia, Arswendo Atmowiloto, menyatakan bahwa istilah korupsi, suap, pembobolan, mark up, catut, artinya sama. Tidak jujur. Artinya sama, tidak menuju ke keadilan sosial. Artinya, merampas nyawa kehidupan lain.

Miskin dan Tak Bahagia
Setiap orang pasti ingin mendapatkan kebahagiaan dalam menjalani kehidupannya di dunia. Masing-masing orang punya definisi yang berbeda untuk menjabarkan kata bahagia.

Untuk mengukur kebahagiaan masyarakat maka BPS melakukan Survei Pengukuran Tingkat Kebahagiaan (SPTK) 2017. Survei ini menghasilkan nilai indeks yang disebut dengan Indeks Kebahagiaan Indonesia dengan skala 0 -100. Semakin tinggi nilai indeks maka menunjukkan bahwa tingkat kehidupan penduduk yang semakin bahagia.

Sebaliknya, semakin rendah nilai indeks menunjukkan bahwa tingkat kehidupan penduduk semakin tidak bahagia.

Indeks Kebahagiaan disusun melalui tiga dimensi yaitu dimensi perasaan (affect), dimensi makna hidup (eudaimonia), dan dimensi kepuasan hidup (life statisfaction). Dimensi kepuasan hidup masih terbagi lagi menjadi dua subdimensi yaitu subdimensi kepuasan hidup personal dan subdimensi kepuasan hidup sosial.

Indeks Kebahagiaan provinsi-provinsi di Indonesia pada tahun 2017 berada pada rentang nilai antara 67,52 sampai dengan 75,68. Tiga provinsi dengan nilai indeks kebahagiaan tertinggi secara berturut-turut adalah Provinsi Maluku Utara (75,68), Maluku (73,77), dan Sulawesi Utara (73,69).

Sedangkan posisi NTT adalah "juara" ketiga indeks kebahagiaan terendah dengan nilai indeks 68,98. Kali ini yang mengalahkan NTT adalah Papua dan Sumatera Utara dengan nilai indeks kebahagiaan terendah di Indonesia yaitu nilainya sebesar 67,52 dan 68,41.

Dari penjelasan di atas maka dapat ditarik sebuah kesimpulan sederhana bahwa NTT merupakan daerah miskin karena masih maraknya praktik korupsi sehingga masyarakatnya menjadi tidak bahagia.

Bagaimana bisa bahagia ketika tak mampu memenuhi kebutuhan dasar? Bagaimana bisa bahagia ketika mutu pendidikan terabaikan? Bagaimana bisa bahagia ketika biaya kesehatan masih teramat mahal?

Bagaimana bisa bahagia ketika lapangan pekerjaan tidak tersedia? Bagaimana bisa bahagia ketika pelayanan publik berbelit-belit? Bagaimana bisa bahagia ketika jalanan banyak yang rusak? Bagaimana bisa bahagia ketika oknum-oknum pemerintah melakukan berbagai pungutan liar dalam pelayanan publik?

Bagaimana bisa bahagia ketika dana untuk pembangunan masih banyak dikorupsi? Bagaimana bisa bahagia ketika pembangunan di NTT hanya "jalan di tempat"?

Maka tak salah bila ada yang mengatakan bahwa NTT adalah kepanjangan dari Nasib Tak Tentu. Mutu pendidikan yang rendah, kemiskinan yang menjerat, serta korupsi yang masih merajalela membuat masyarakat NTT tak bahagia.

Bahkan ada pula yang berpendapat bahwa pemasalahan NTT sudah masuk dalam taraf "akut" sehingga kemudian pasrah pada keadaan. Maka kepanjangan NTT pun menjadi Nanti Tuhan Tolong.

Sudah saatnya NTT bangkit. Semua elemen masyarakat dan pemerintah bahu membahu bergandengan tangan memajukan daerah ini. Pemerintah membenahi segudang persoalan birokrasi dengan dikawal oleh masyarakat yang haus akan transparansi anggaran dan kinerja. Persoalan korupsi harus segera diberantas.

Program penanggulangan kemiskinan yang komprehensif harus terus dilaksanakan secara berkesinambungan. Hanya dengan cara demikian pembangunan dapat benar-benar dirasakan oleh seluruh masyarakat NTT.

Ketika hal itu dapat terwujud maka senyum pun akan hadir menghiasi wajah-wajah masyarakat di seluruh pelosok NTT. Bukankah senyum adalah awal dari kebahagiaan? *

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved