Begini Cara Melestarikan Bahasa Daerah Melalui Tindakan Ekologis
Perbincangan tersebut kembali mengingatkan penulis bahwa jenis-jenis tanaman pangan lokal Manggarai -jika tidak dibudidayakan
Oleh: Antonius Nesi
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
POS KUPANG.COM - Topik tulisan ini diinspirasi oleh adanya dua pengalaman berikut. Pertama, sekitar lima belas tahun lalu, Pastor Mikhael Peruche OFM (sekarang Provinsial OFM di Jakarta), yang baru merintis Ekopastoral Fransiskan di Pagal, Manggarai, memelopori budidaya jenis-jenis tanaman pangan khas Manggarai.
Ketika itu, dalam sebuah perbincangan, Pastor Mikhael berkata, "Dahulu, hasil dari beberapa tanaman pangan lokal ini merupakan bahan makanan pokok. Namun, seiring berlalunya waktu, jenis-jenis tanaman ini tergantikan oleh tanaman pangan hibrida".
Perbincangan tersebut kembali mengingatkan penulis bahwa jenis-jenis tanaman pangan lokal Manggarai -jika tidak dibudidayakan lagi-tidak saja akan hilang dari muka bumi Manggarai, tetapi juga `nama-nama tanaman itu dalam bahasa Manggarai' perlahan akan sirna dari kamus pikiran masyarakat pengguna bahasa Manggarai.
Konsekuensinya, bahasa Manggarai terancam kehilangan beberapa kosakata.
Kedua, ketika liburan di Timor Tengah Utara (TTU) dua tahun lalu, penulis sempat bertanya kepada beberapa siswa seumuran SD dan SMP tentang nama `rusa' dalam bahasa Dawan. Anak-anak lugu itu lantas tetap mengucapkan /rusa/, alih-alih `rusa' dalam bahasa Indonesia.
Ternyata mereka tidak tahu kosakata nama binatang itu dalam bahasa Dawan. Padahal, pulau Timor dahulunya sangat terkenal dengan binatang rusanya yang khas. Kenyataan ini bisa dimaklumi karena populasi rusa di Timor saat ini berada di jurang kepunahan.
Hedges (et al., 2008) mencatat: "Total populasi rusa timor dari tempat asalnya diestimasikan kurang dari 10.000 ekor rusa dewasa dengan penurunan populasi 10 persen setiap 3 generasi karenya hilangnya habitat dan perburuan." Data ini diperkuat laporan wartawan Pos Kupang yang dimuat pada edisi 20 Juni 2016.
Sementara itu, kajian PBB melalui International Union for Conservation of Nature (2008) mengultimatum bahwa populasi rusa timor yang dahulu cukup banyak memenuhi area gunung Mutis dan semenanjungnya dari selatan (TTS) hingga ke utara (TTU) dan perbatasan Ambeno dikategorikan sebagai binatang yang kepunahannya bak telur di ujung tanduk.
Sekarang, apa jadinya? Nama jenis binatang khas Timor itu hanya terukir rapi dalam kamus besar ilmu pengetahuan dengan nama latin Cervus Timorensis. Kosakata lush, nama binatang itu dalam bahasa Dawan, tampaknya juga perlahan terkikis dari kamus pikiran masyarakat pengguna bahasa Dawan, terutama generasi milenial.
Konsekuensinya, salah satu kosakata bahasa Dawan pun akan segera lenyap seiring kepunahan si rusa timor.
Pengalaman penulis ini menunjukkan bahwa ada korelasi antara ekologi dengan bahasa. Korelasi itu bak dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan. Di satu sisi, alam sungguh luar biasa memberikan kontribusi bagi bahasa manusia, dan pada sisi lainnya bahasa juga sangat berkontribusi dalam memberikan identitas pada setiap unsur alam yang ada di muka bumi ini. Siapa pemilik dua sisi mata uang itu?
Argumen teologis akan mengafirmasi bahwa semua itu mutlak milik Sang Pencipta. Namun, yang mengelola keduanya tetaplah manusia. Justru inilah akal budi manusia mesti bekerja maksimal agar bahasa dan alam menjadi saksi abadi bagi keselarasan hidup di planet ini. Di sinilah kita perlu bicara ihwal tindakan ekologis.
Tindakan Ekologis
Kelanjutan pandangan Einer Haugen (1972) tentang ekolinguistik metaforis ialah ekolinguistik biologis. Jika ekolinguistik metaforis menggambarkan cara kerja bahasa sebagai kode komunikasi dalam lingkungan etnik pengguna bahasa sebagaimana terbaca pada analisis penulis pada harian ini (Pos Kupang 26/8/2017), ekolinguistik biologis mengkaji peran bahasa sebagai wujud eksplorasi masalah lingkungan serta kemungkinan ilmu bahasa ikut berkontribusi terhadap pemecahan masalah itu.
Cabang ekolinguistik biologis dapat merujuk pada kajian yang intens tentang karakter geografis dan topografi sebuah daerah seperti iklim dan cuaca, flora dan fauna, dan sebagainya (Saphir 2001; Steffensen dan Fill, 2014).
Pakar lain yang cukup menaruh atensi pada korelasi ekologi dan bahasa ialah M'hlhlausler dan Finke. Dalam kajiannya, Mhlhlausler (2001) menunjukkan bahwa keragaman bahasa adalah refleksi beribu-ribu tahun manusia terhadap kompleksitas kondisi lingkungan dan keragaman biologi.