Kemerdekaan dan Fenomena Heterophobia, Catatan Menarik dari Guru SMPK St Yoseph Kupang

Namun, apakah selebrasi-selebrasi ini sanggup menyentil nurani masyarakat untuk mentransformasi kesadaran nasionalisme

Editor: Dion DB Putra

Oleh: Giovanni A. L Arum, S. Fil
Frater TOP dan guru SMPK St. Yoseph Naikoten Kupang

POS KUPANG.COM - Indonesia telah memasuki usia yang ke-72. Euforia selebrasional mewarnai kehidupan sosial kita. Lagu-lagu perjuangan didengungkan, bendera Merah Putih dikibarkan dan berbagai even menyongsong kemerdekaan diselenggarakan. Tentu semua ini dilakukan sebagai upaya merawat nasionalisme.

Demikianlah, kita memang harus terus "melawan lupa" dengan pelbagai cara yang membantu kita merawat kenangan bangsa dan membangun kesadaran akan identitas kolektif kita sebagai sebuah bangsa yang dibangun di atas kemajemukan dan diperjuangkan dengan darah dan air mata pengorbanan.

Namun, apakah selebrasi-selebrasi ini sanggup menyentil nurani masyarakat untuk mentransformasi kesadaran nasionalisme itu dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di Indonesia? Inilah yang menjadi pertanyaan penting. Jika tidak, momen 17-an hanya menjadi momen artifisial tanpa menyisakan jejak bermakna bagi kesejahteraan umum (bonum commune).

Menyimak realita sosial beberapa tahun terakhir ini, kita akan disadarkan bahwa kemerdekaan sebagai sebuah identitas ternyata masih dalam tahap perjuangan. Pelbagai konflik sosial mewarnai kehidupan bangsa.

Tensi sosial tentang isu SARA meningkat dan mulai meresahkan kehidupan bersama sebagai sesama saudara yang merdeka. Ancaman disintegrasi bangsa semakin besar dengan pelbagai bentuk ujaran kebencian yang dipropagandai media sosial.

Kita sedang terperangkap adalam era heterophobia; suatu era ketakutan akan yang lain.

Kericuhan di Tolikara-Papua hingga tekanan politik bernuansa agama di Jakarta menjadi jejak-jejak luka yang mewarnai keindonesiaan kita. Primordialisme agama dan suku telah menggerogoti Pancasila sebagai identitias kolektif kita.

Ketakutan dan kebencian terselubung terhadap kebhinekaan sedang memagma dalam diri banyak masyarakat kita. Letusan konflik bisa saja tak terelakkan jika kita tidak memutuskan rantai ketakutan dan kebencian ini. Inilah masalah yang diangkat penulis; merawat kemerdekaan dengan merenda kebhinekaan.

Heterophobia sebagai patologi sosial harus segera diobati. Pengakuan atas keberadaaan yang lain sebagai saudara menjadi tuntutan etis yang mendesak bagi seluruh masyarakat Indonesia. Kebhinekaan merupakan kekayaan bangsa yang perlu disikapi dengan etika kepedulian.

Primordialisme yang picik dan egoisme yang latah perlu dipatahkan untuk meneguhkan persatuan bangsa. Inilah yang menjadi tugas merawat kemerdekaan sabagai suatu proses yang berkanjang.

Kita perlu berbangga akan filsafat bangsa yang telah hidup dalam diri rakyat Indonesia bahkan jauh sebelum Indonesia menyatakan diri sebagai suatu negara yang merdeka dan berdaulat.

Filsafat Bhineka Tunggal Ika adalah filsafat bangsa yang khas dan mengandung di dalamnya kedalaman serta keluasan makna. Filsafat ini bahkan searah dengan filsafat politik modern "ex pluribus unum; kesatuaan dari kebhinekaan" yang dianut seluruh negara demokrasi modern di dunia.

Berikut ini penjabaran pemikiran solutif yang mengalir dari filsafat Bhineka Tunggal Ika sebagai obat menyembuhkan gejala heterophobia sebagai patologi sosial bangsa Indonesia dalam upaya merawat kemerdekaan.

1). Dari ko-eksistensi menuju pro-eksistensi. Pendekatan ko-eksistensi menekankan kesamaan hak untuk berkesistensi di dalam masyarakat, sedangkan pendekatan pro-eksistensi menekankan tidak saja kesamaan hak untuk bereksistensi, tetapi lebih pada sikap etis kebersamaan dalam perbedaaan, dengan kata kuncinya; hidup.

Kelebihan pendekatan pro-eksistensi terletak dalam tuntutan etisnya bahwa dari kelompok-kelompok etnis atau religius itu, tidak hanya dituntut untuk sekadar hidup berdampingan secara damai, melainkan dituntut agar kelompok-kelompok itu tanggap atau peduli terhadap kelompok lain.

Tensi sosial yang mulai meningkat sekarang ini membutuhkan pendekatan pro-eksistensi sebagai tuntutan etis sosial. Paradigma berpikir yang picik harus segera dibongkar. Membangun kesatuan dengan etika kepedulian (ethics of care) dan etika tanggung jawab (ethics of responsibility) demi kekeluargaan sebagai nilai khas bangsa Indonesia.

2). Dari toleransi pasif menuju toleransi aktif. Toleransi merupakan kata kunci membangun kerukunan dan perdamaian dalam tiap bangsa. Toleransi sebagai sikap menghargai akan perbedaan menunjukkan aspek sosialitas dan keterbukaan akan faktum kebhinekaan.

Namun, selama ini kita masih banyak bergerak dalam horison toleransi pasif. Toleransi ini berupa "toleransi diam" dengan penekanan mengindari konflik dengan komunitas lain. Toleransi ini merupakan toleransi yang minimalis, karena tiap-tiap komunitas entah itu suku, agama, partai politik dan lain sebagainya hanya mengurusi urusan pribadi. Fokus perhatiannya masih menjangkarkan diri pada komunitas sendiri (ad intra).

Kini, bangsa kita harus bergerak dari toleransi pasif menuju toleransi aktif, yakni toleransi yang hidup dalam dialog dan perjumpaan yang saling menghargai dan membantu.

Kita harus berani keluar dari kungkungan ideologi komunitas kita yang sempit menuju perjumpaan dengan komunitas lain. Agama-agama memiliki agenda besar dalam upaya mengartikulasikan kehadirannya dalam ruang publik yang majemuk.

Para pemuka agama sebagai agen kerukunan perlu mengkontekstualisasikan ajaran agama dalam horison kemajemukan. Jika tidak, maka sebuah status yang mengandung ujaran kebencian di facebook yang berbalutkan sensitivitas agama dapat saja membangun kericuhan yang luar biasa.

3). Membangun demokrasi dan keadilan. Demokrasi dan keadilan merupakan tuntutan mutlak dalam negara pluralis seperti Indonesia. Kehidupan demokrasi yang sehat dapat mengakomodir tuntutan ham tiap individu masyarakat sekaligus menjamin suasana yang bebas dan terbuka bagi tiap warga negara untuk menyatakan pendapat serta kebutuhannya.

Hal ini membantu pemerintah untuk bersikap tanggap terhadap keluhan, tuntutan dan kebutuhan rakyatnya. Demokrasi juga membuka ruang bagi adanya diskusi, pertukaran pikiran, perdebatan yang kritis, kompetisi yang sehat dan bentuk-bentuk interaksi sosial-politik lainnya. Proses ini amat dibutuhkan untuk menciptakan kesejahteraan sosial di Indonesia.

Selain itu, membangun keadilan juga merupakan kebutuhan esensial untuk menciptakan kesejahteraan. Banyak konflik sosial dipicu karena faktor ketidakadilan sosial. Kemiskinan dan kesenjangan sosial akan menjadi lahan yang subur bagi konflik sosial yang bernuansa SARA. Dan untuk mewujudkan keadilan, maka tidak bisa tidak, kedaulatan hukum harus menjadi pamong di negara kita.

Supremasi hukum harus ditegakkan oleh seluruh elemen masyarakat Indonesia. Demokrasi yang sehat serta keadilan sosial merupakan kekuatan untuk menangkal bahaya konflik sosial yang mengancam kedaulatan bangsa kita.

Pahlawan bangsa telah merebut kemerdekaan dari tangan para penjajah. Namun, kemerdekaan bukanlah sebuah hadiah cuma-cuma. Tugas kita tidak kalah penting. Sebab, kemerdekaan adalah proses yang harus terus-menerus kita hidupi. Fenomena keretakan sosial yang muncul dari patologi heterophobia mengancam kemerdekaan kita sebagai bangsa yang bersatu dan berdaulat. Siapkah kita untuk memeranginya?

Chantal Mauffe ingin memberika awasan kritis bahwa tak pernah ada identitas yang sudah selesai. Yang ada adalah proses konstruksi identitas kolektif yang tak pernah berakhit. "Niemals Identität, imer Identifizierungen; tak pernah ada identitas, tapi proses identifikasi."

Kemerdekaan de jure memang telah dimiliki negara Indonesia selama 72 tahun. Namun, in sensu lato (dalam pengertian yang luas) kemerdekaan masih terus diperjuangkan sebagai sebuah proses identifikasi diri.

Hal ini penting, karena merdeka bukanlah semacam harta yang dimiliki dan dapat disimpan, melainkan perlu terus diperjuangkan dan dihidupi sepanjang hayat. Fenomena heterophobia yang telah menjadi patologi sosial masyarakat Indonesia perlu diberantas dengan menghidupi filsafat Bhineka Tunggal Ika. Salam Merdeka! *

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved