Breaking News

Infeksi Bisu yang Menghantui Indonesia! Kesadaran Masyarakat Masih Kupang

Ternyata, Hepatitis adalah salah satu penyakit yang sering menjangkit masyarakat Indonesia. Ini penjelasannya

Editor: Marsel Ali
Shutterstock
Ilustrasi 

Selain itu, penyakit ini juga sering ditemukan pada pasien gagal ginjal kronis yang melakukan hemodialisis atau cuci darah, walaupun tren menunjukkan penurunan selama beberapa tahun terakhir.

Data di RSCM, misalnya, menyebutkan bahwa pada tahun 1997, masih didapatkan 72 persen pasien hemodialisis yang terinfeksi hepatitis C.

Angka ini telah menurun menjadi 38 persen pada tahun 2011. Sementara itu, infeksi hepatitis C melalui hemodialisis di RS Sardjito Yogyakarta dan RSUD dr Soetomo Surabaya masih 55 persen dan 76,3-88 persen.

Dr Wiendra berkata bahwa hal ini bisa disebabkan oleh proses hemodialisis yang tidak mengikuti prosedur operasi standar.

Sebagai contoh adalah reuse dializer atau menggunakan ulang alat cuci darah yang sebenarnya diperbolehkan hingga beberapa tahun yang lalu.

Dr Irsan mengatakan, sebenarnya, tindakan ini juga dilakukan di luar negeri dan di banyak tempat. Jadi, alat cuci darah dibersihkan dan digunakan ulang untuk pasien yang sama. Namun, tindakan ini dipertanyakan (keamanannya) dan sudah tidak dilakukan lagi.

Screening dan pengobatan

Untuk memenuhi target WHO dan Kemenkes yang mengharapkan eradikasi virus hepatitis C pada tahun 2030, beberapa program, mulai dari screening hingga pengobatan, pun dilaksanakan

Kini, screening dapat dilakukan pada tingkat Puskesmas dan dilakukan pada risiko tinggi, yaitu pengguna narkoba suntik, pasien hemodialisis, keluarga dengan penderita hepatitis C, dan petugas kesehatan dan pasien yang kontak darah dengan penderita hepatitis C.

Dipaparkan oleh Dr Wiendra, alat yang digunakan untuk melakukan screening hepatitis C dan dua penyakit lainnya pada saat ini adalah Tes Cepat Molekuler.

Sejauh ini, Kemenkes sudah memiliki 41 unit, tetapi diagnosis hepatitis C di Indonesia masih sangat rendah. Oleh karena itu, Kemenkes dan PPHI pun berharap agar lebih banyak penduduk yang melakukan screening.

Lalu, bila pasien memang terbukti memiliki hepatitis C, maka pengobatan harus dilakukan. Berbeda dengan penanganan hepatitis B dan HIV yang hanya bertujuan untuk menekan virus, penanganan hepatitis C bertujuan untuk kesembuhan total.

Sebab, tingkat keberhasilan pengobatan untuk hepatitis C sejak ditemukannya antivirus dari golongan Direct Acting Antivirus (DAA) ini sangat tinggi, yakni di atas 90 persen. DAA juga minim efek samping dan mudah dikonsumsi sehingga jarang ada pasien yang menghentikan pengobatannya.

Pada saat ini, sudah ada setidaknya lima jenis DAA yang sudah teregistrasi di Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM): Sofosbuvir, Simeprevir, Sofosbuvir + Ledipasvir, Grazoprevir + Elbasvir dan Daclatasvir.

Namun, yang sudah masuk ke formularium nasional baru sofosbuvir, simeprevir dan ribavirin. Targetnya adalah melindungi 6.000 pasien hepatitis C melalui BPJS dengan prioritas kepada pasien yang koinfeksi karena tingkat mortalitas dan morbiditas yang lebih tinggi.

Dr Wiendra mengatakan, pelayanan dan akses obat hepatitis C akan didorong ke layanan BPJS, termasuk pemeriksaan diagnostik dan juga evaluasi terapi berupa pemeriksaan HCV-RNA dan genotype, juga termasuk fungsi hati. (kompos.com/Shierine Wangsa Wibawa)

Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved