Bercak Merah di Malam Pertama: Ketika Keperawanan Dipersoalkan

Si wanita akan dikucilkan dan menanggung malu selamanya. Sampai akhirnya ada lelaki yang bersedia mengawininya, tapi ia harus dibawa pergi dari komuni

Editor: Alfred Dama
Net
Ilustrasi 

Sedikit tersenyum, Dra. Ieda Purnomo Sigit Sidi, psikolog, mengajak Manan membandingkan perasaannya dengan perasaan salah seorang pasiennya, sebut saja namanya Indah. Kasir sebuah rumah makan di Jakarta Selatan ini ketika menikah empat tahun lalu berhasil membuktikan kesuciannya di malam pertama. Hanya, ia tak habis pikir, bagaimana bisa suami yang selama pacaran tampak alim justru di ranjang ia seolah master. Sangat menguasai teknik dan pandai menjaga irama permainan.

Walau waktu itu Indah menikmati serangan demi serangan suaminya yang datang bergulung-gulung, hati kecilnya terus bertanya, "Berapa perempuan sudah ia jadikan eksperimen sampai jadi sejago ini?" tiru Ieda.

Akhirnya, Indah mengabaikan segala perasaan negatif itu, karena suaminya terbukti setia dan menyayangi keluarga. Ia tak ingin keharmonisan rumah tangga dirusak oleh khayalan-khayalan tak berguna itu.

Menurut Ieda, Manan harus memahami bahwa seks adalah naluri, tak pernah (perlu) dipelajari, sudah terberi. Selain itu, seks bisa dipelajari untuk dikembangkan sendiri, mungkin ia membaca, mendengar, atau menonton. Semua dilakukan sebagai bekal untuk ia praktikkan kelak setelah berumah tangga, agar pasangan merasa nyaman dan senang.

Yang penting, hendaknya hubungan seksual dianggap seperti menari, pasangan saling memberi respons, tidak menjadikan salah satu pihak sebagai objek. Keduanya menjadi subjek yang saling menyenangkan pasangan, saling menjaga keharmonisan gerak dan emosi. (Intisari)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved