Pasien Kanker RSUD Yohannes Kupang Kecewa Obat Habis
Penderita kanker getah bening yang selama ini dirawat di RSUD Johannes Kupang sedih dan kecewa karena obat habis.
Penulis: omdsmy_novemy_leo | Editor: omdsmy_novemy_leo
Laporan Wartawan Pos-Kupang.com, Novemy Leo
POS-KUPANG.COM, KUPANG - Perempuan berusia 50-an tahun penderita kanker getah bening yang selama ini dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Prof. Dr. WZ Johannes Kupang mengaku sedih dan kecewa.
Pasalnya, sejak September 2016 hingga Januari 2017, perempuan berinisial MB itu menjalani kemoterapi rutin dua minggu sekali sudah ditangguhkan empat kali dengan alasan obat kemo Novalbin habis. Begitu juga obat Xeloda yang harus diminumnya selama dua minggu.
"Ini keempat kalinya saya punya pengobatan kemoterapi ditangguhkan karena obat habis. Saya sedih dan kecewa karena harus menghadapi masalah ini terus menerus.
Seharusnya tanggal 20 Januari besok jadwal saya kemo, tapi ditunda lagi karena obat Novalbin habis. Penundaan kemo sudah saya alami empat kali sejak September 2016," ungkap perempuan berinisial MB, kepada Pos Kupang, Kamis (19/1/2017) sore.
MB mengaku menjalani pengobatan kemoterapi sejak Agustus -November 2015, karena divonis kanker payudara. Kemudian kemoterapi dihentikan dan dia melanjutkan minum obat Xeloda hingga saat ini.
"Selama tahun 2015 tidak ada masalah dengan kemo dan obat selalu ada," tutur pensiunan PNS Dinas Nakertrnas NTT tahun 2010.
Pada September 2016, lanjut MB, ia divonis kanker kelenjar getah bening sehingga harus menjalani kemoterapi lagi. Namun, obat Novalbin habis. "Kata pihak apotik jika obat ada nanti dihubungi dan langsung dikemoterapi. Akhir September baru obat ada dan saya kemo getah bening. Dua minggu sekali kemoterapi dan obat Xeloda diminum selama dua minggu. Satu minggu stop dan dua minggu minum lagi, begitu aturannya," jelas MB.
Namun sejak September hingga kini, demikian MB, obat Novalbin dan Xeloda sering habis dan waktu kemoterapi juga selalu tertunda.
"Dua minggu nanti obatnya ada, tapi dua minggu kemudian tidak ada. Nanti ada lagi, nanti tidak ada lagi. Jadi, kemoterapi tidak rutin dijalankan karena tunggu obat Novalbin. Padahal kata dokter obat dan kemo harus rutin sesuai jadwal, kalau tidak, membahayakan kesehatan saya," kata MB.
Karena terus mengalami hal itu, MB dianjurkan menemui wakil direktur dan dibawa ke bagian perencanaan, tapi jawabannya tetap sama, obat tidak ada. Akhirnya MB melapor ke Ombudsman NTT.
"Saat lapor Ombudsman, besoknya pasti langsung ada. Kalau lapor Ombudsman baru obatnya ada. Kasihan pasien lain kalau tidak tahu melapor ke Ombudsman, pasti mereka hanya tunggu terus," kata MB.
MB juga tidak rutin minum Xeloda karena stok habis. Dicontohkannya, Xeloda yang harusnya diminum tanggal 25 Desember 2016 -7 Januari 2017, hanya diberikan sampai tanggal 30 Desember 2016.
"Katanya sisa obat diambil tanggal 30 Desember 2016 saat kontrol, tapi hari itu saya ke sana pelayanan libur sampai tanggal 4 Januari 2017, maka saya tidak minun obat," ungkap MB.
Ketika itu, demikian MB, dia diarahkan ke UGD dan diberikan resep Xeloda, namun obat habis dan resepnya ditinggal di apotik. Tanggal 5 Januari 2017, MB menjalani kemoterapi karena obat Novalbin tersedia, dan jadwal kemoterapi berikut tanggal 20 Januari. Tanggal 10 Januari 2017 MB kembali ke apotik menanyakan obat Xeloda, tapi pihak apotik mengatakan resep MB tidak ada.
Setelah MB marah-marah, pegawai cari resepnya dapat, tapi MB hanya diberikan tiga lempeng Xeloda dengan alasan resep harus dibuat oleh dokter spesialis, bukan dari UGD.
"Waktu itu saya diarahkan ke UGD karena libur, dan UGD yang bikin resep, kenapa resepnya ditolak," kata MB.
Saat itu MB marah minta obat Xeloda stok satu bulan dan pihak apotik menyuruh MB mengambilnya besok.
"Saya benar-benar capai menghadapi masalah yang sama terus menerus. Setiap kali mau kemoterapi, dan ambil obat, saya datang dari pagi sampai jam 2, lapar haus, sakit, semua jadi satu. Lalu nanti obat habis, tidak bisa kemoterapi. Saya capai," kata MB.
MB kecewa karena sudah memenuhi kewajiban selama puluhan tahun sampai pensiun untuk membayar Askes kelas 1 setiap bulan, namun saat sakit dia tidak mendapatakan haknya.
"Selama 30 tahun sampai sekarang saya lakukan kewajiban membayar askes BPJS kelas 1. Tapi saat saya sakit, saya tidak dapatkan hak. Kalau saya mati karena memang sudah waktunya, ya tidak mengapa. Tapi kalau saya mati gara-gara obat tidak ada dan tidak bisa kemo secara rutin, kalian yang harus tanggung jawab. Itu yang saya katakan kepada mereka," kata MB.
MB menjelaskan, tanggal 18 Januari 2017 ia kontrol untuk persiapan kemoterapi tanggal 20 Januari, tapi lagi-lagi obat kemo Novalbin habis karena sudah dipakai dua pasien.
"Saya SMS ibu wadir, tapi SMS saya tidak dibalas. Lalu saya telepon lagi Ombudsman dan katanya sudah koordinasi dengan direktur, tapi obatnya masih pengadaan. Saya harap, tolong jika pesan obat Xeloda dan Novalbin itu banyak karena pasien juga banyak. Kalau pesan obat terbatas, pasiennya bisa mati," kata MB.
Ia berharap pihak rumah sakit memperhatikan masalah ketersediaan obat agar tidak habis saat dibutuhkan.
"Penyakit kanker dalam tubuh kita ini jalan terus, bukan menunggu kapan obat datang. Kanker berkembang terus, obat juga habis terus. Saya selalu stress dan takut, jika ambil resep harus lampirkan dengan hasil PA dari laboratorium bahwa penyakit kami itu ganas. Lalu di hasil PA itu dituliskan huruf besar `ganas'. Mambaca ganas saya takut, lalu ke apotik mau tebus obat malah obat habis. Hal ini bikin saya makin takut, stres dan sedih," ujarnya.
MB mengatakan, ada satu satu dari Oesapa yang kena kanker dan tak dapat obat.
"Saya beberapa kali ketemu nenek itu, diantar oleh anak perempuannya yang punya bayi. Kalau mau ambil obat, anaknya yang ke apotik dan nenek itu yang menggendong cucunya. Tadi ketemu, saya tanya dia, katanya obat Xeloda belum ada," kata MB. (vel)