Publik Semakin Rasional dalam Memilih

Preferensi publik menentukan calon kepala daerah yang akan dipilih pada Pilkada 2017 mulai bergeser

Editor: Rosalina Woso
TRIBUNNEWS/HERUDIN
Ilustrasi pemungutan suara: Warga memberikan suara saat simulasi pemungutan suara di TPS Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat, Senin (3/3/2013). 

POS KUPANG.COM -- Preferensi publik menentukan calon kepala daerah yang akan dipilih pada Pilkada 2017 mulai bergeser, dari motif primordialisme menjadi lebih rasional.

Motif-motif kesamaan suku dan agama yang selama ini mendominasi rasa suka publik kepada para calon mulai melemah pengaruhnya.

Publik mulai menempatkan rekam jejak atau prestasi yang baik sebagai aspek penting bagi sosok yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah.

Munculnya sejumlah gubernur dan bupati/wali kota dengan segudang prestasi memperbaiki kondisi daerah mereka menjadi acuan baru publik.

Para kepala daerah ini tak hanya mendobrak jarak sosial yang terpaut jauh antara pemimpin dan rakyat, tetapi juga mampu mengakselerasi kerja birokrasi di daerah sehingga lebih cepat bekerja.

Di bawah kepemimpinan mereka, relasi kepala daerah dengan rakyat menjadi lebih akrab. Sementara birokrat menjadi lebih profesional dan ramah melayani masyarakat. Sosok-sosok ini menciptakan imaji baru pemimpin ideal bagi sebagian masyarakat.

Beberapa di antaranya kisah sukses Joko Widodo (Wali Kota Surakarta), Tri Rismaharini (Wali Kota Surabaya), Abdullah Azwar Anas (Bupati Banyuwangi), dan Ridwan Kamil (Wali Kota Bandung).

Sosok-sosok ini mampu mengembangkan gaya kepemimpinan populis yang merakyat dan tak berjarak.

Kedekatan tersebut dibangun melalui intensitas blusukan yang tinggi dan gaya komunikasi yang lugas (low level communication).

Aspek "memiliki rekam jejak/prestasi yang baik" merupakan kriteria yang dinilai penting oleh publik. Jajak pendapat Kompas, pekan lalu, mengungkapkan, hampir semua responden (95,7 persen) memilih kriteria calon kepala daerah yang memiliki rekam jejak/prestasi baik.

Dari penilaian "penting" ini, 31,4 persen mengakui aspek rekam jejak sangat penting, dan 64,3 menjawab penting.

Kriteria yang dianggap penting untuk mendapatkan gambaran sosok pemimpin ideal adalah kesantunan.

Sikap santun ini menggambarkan kualitas kepribadian seorang calon yang menjadi daya pikat publik.

Sebanyak 90,8 persen responden menyatakan, kesantunan calon kepala daerah merupakan aspek penting bagi mereka dalam menentukan pilihan.

Kriteria kesamaan agama yang selama ini mendominasi preferensi publik menentukan pilihan calon kepala daerah, dalam jajak pendapat ini terlihat mulai lemah pengaruhnya.

Hanya 53,5 persen responden yang menjawab kriteria tersebut penting. Begitu juga kriteria kekayaan.

Hanya 46,9 persen responden yang menyatakan penting bahwa seorang calon kepala daerah harus kaya.

Sementara untuk kriteria calon kepala daerah harus diusung dari partai yang dipilih responden, hanya 4 dari 10 responden menjawab penting.

Konfigurasi jawaban responden tersebut menunjukkan responden mulai meninggalkan sentimen subyektif bersifat tradisional, di mana aspek kesamaan emosional antara responden dan calon menjadi acuan utama memilih.

Menempatkan kriteria prestasi dan santun pada sosok calon kepala daerah berarti responden mulai bersikap rasional dengan memprioritaskan kinerja dan citra sebagai acuan utama memilih.

Konstruksi pemimpin

Dengan menggunakan kacamata teori konstruksi realitas sosial tampak proses dialektika dalam mengonstruksi realitas mengenai sosok pemimpin ideal.

Dalam bukunya yang berpengaruh The Social Construction of Reality (1966), Peter L Berger dan Thomas Luckmann menjelaskan relasi antara individu dan masyarakat mendefinisikan realitas sosial.

Karakter Presiden Indonesia bisa menjadi ilustrasi. Dengan gayanya yang berwibawa, tetapi berjarak, Presiden Soeharto membangun gambaran sosok pemimpin seperti raja.

Definisi yang diterima sebagai realitas oleh masyarakat ini sempat goyah dengan gaya Presiden Abdurrahman Wahid yang bertolak belakang. Namun, masa kepemimpinannya yang singkat tak sempat mengubah konstruksi.

Dialektika terjadi pada masa Jokowi, yang bersamaan dengan munculnya pemimpin daerah bergaya sama. Kriteria seorang pemimpin ideal berada di ruang diskusi terbuka.

Selain penekanan pada jejak kinerja/prestasi, konstruksi sosok pemimpin daerah yang saat ini mengemuka adalah kesiapan melayani rakyat.

Lebih dari 85 persen responden menganalogikan pekerjaan kepala daerah sebagai pelayan, hanya 11 persen yang masih memandangnya seperti raja.

Pilkada yang dimulai sejak Juni 2005 dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah membuka pintu masyarakat untuk berpartisipasi aktif memilih pemimpin mereka.

Dari sisi politis, ini menjadi kesempatan membangun demokrasi. Sementara secara sosiologis masyarakat "dipaksa" menimbang pilihannya.

Sejarah bangsa selama ini sangat kental dengan sistem pemerintahan feodal, yang suksesi kepemimpinannya berputar di level elite dengan berdasar pada garis keturunan dan kedekatan dengan penguasa politis.

Bahkan, kondisi ini masih dilembagakan selama Orde Baru hingga berlanjut setelah reformasi sampai tahun 2004.

Suara rakyat tak perlu didengar dan rakyat diposisikan sebagai penerima skenario yang dibuat dan dilakonkan kelompok elite.

Pemimpin, dari level daerah hingga negara, menikmati tempat di strata lebih tinggi di atas warganya dalam tatanan sosial.

Kedua pihak kemudian memainkan peran selayaknya raja dan rakyat yang dianggap lazim dalam budaya politik bangsa ini selama berabad-abad. Demikianlah realitas sosial yang sudah kuat terkonstruksi dalam masyarakat.

Praktik demokrasi yang sudah berjalan lebih dari satu dekade terakhir pelan-pelan mulai mempertanyakan konstruksi tersebut.

Kesadaran akan nilai suara bagi perubahan membuat sebagian warga mulai memakai timbangan sebelum menentukan pilihan.

Potret tersebut tertangkap pada hasil jajak pendapat Kompas terhadap 653 responden yang diselenggarakan pada 5-7 Oktober 2016.

Namun, fakta menunjukkan, banyak kepala daerah yang justru gagal membuktikan kepemimpinan yang baik.

Kemendagri mencatat, hingga awal tahun 2015 ada sebanyak 343 kepala daerah tersangkut masalah hukum. Sebagian besar di antaranya tersandung masalah pengelolaan keuangan daerah.

Strategi pemenangan

Setelah mencermati preferensi publik akan kriteria pemimpin, strategi disusun untuk memenangi pertaruhan.

Meminjam pemikiran Pierre-Felix Bourdieu yang membedah dunia sosial di masyarakat dari interaksi bagian-bagian yang ada di dalamnya.

Bourdieu melihat adanya perebutan kuasa dalam arena yang mendorong penggunaan strategi memainkan kapital (ekonomi, sosial, budaya, dan simbolik).

Para calon kepala daerah pada Pilkada 2017 memasuki arena dengan warna yang sedikit beda. Publik memiliki bayangan ideal sosok pemimpin yang berprestasi, demokratis, dan egaliter yang menggambarkan penekanan pada pertimbangan lebih rasional.

Rekam jejak prestasi (kapital simbolik) dan pengaruh di masyarakat (kapital sosial) jadi pertimbangan utama 6 dari 10 responden.

Hal ini membuka peluang lebih besar kandidat yang selama ini berkiprah aktif di masyarakat, baik itu petahana maupun bukan.

Petahana tetap punya modal lebih kuat karena kapital simbolik dan kapital sosial mengumpul pada dirinya. Wajar jika 59 persen responden lebih percaya pada kualitas kerja calon petahana.

Pada Pilkada 2017, 80 persen daerah diikuti oleh para kandidat petahana. Namun, peluang petahana untuk dipilih kembali masih berimbang dengan calon nonpetahana atau pendatang baru.

Kehadiran muka-muka baru kerap menawarkan alternatif yang bisa menjadi titik lemah petahana.

Karena itu, dalam jajak pendapat ini terungkap, baik calon petahana maupun nonpetahana memiliki peluang relatif sama kuatnya untuk dipilih.

Sebanyak 45,8 persen menjawab akan memilih kembali petahana, sedangkan 42,3 persen menjawab memilih calon baru. Sisanya, 11,9 persen menjawab tak tahu atau tak menjawab.

Meski tak sekuat posisi kapital simbolik dan kapital sosial, elektabilitas calon bisa diusahakan dengan memainkan kapital budaya yang masih diutamakan oleh sekitar sepertiga responden.

Kesamaan latar belakang agama dan suku serta pendidikan tinggi calon termasuk modal ini. Simpati terhadap partai politik pengusung yang lebih bersifat ideologis juga bisa dikejar untuk mendulang suara walaupun bukan lagi sebagai aspek dominan. (Kompas.Com)

Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved