Ahok-Djarot dan Wajah Baru Demokrasi
Ayunan langkah pasti dari bakal Cagub dan Cawagub (Ahok-Djarot) menandakan sebuah titik awal yang menjanjikan.
Oleh: Yandris Tolan
Alumnus STFK Ledalero-Tinggal di Mamsena-TTU
LIVE KompasTV edisi (Rabu, 21/9/2016) menyiarkan ke hadapan publik tentang proses pembukaan pendaftaran yang digalakkan Komisi Pemilihan Umum DKI-Jakarta bagi bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur. Bagi publik yang sempat menyaksikan proses pendaftaran tentu mempunyai pesan dan kesan yang unik. Menjadi unik memang, karena Ahok-Djarot sebagai pasangan petahana dinyatakan sebagai kandidat pertama yang mendaftar ke Kantor Pemilihan Umum Provinsi DKI-Jakarta. Kedatangan Ahok-Djarot ke Kantor Pemilihan Umum (KPU) DKI-Jakarta turut dikawal oleh para petinggi dari keempat partai politik yang telah mengusung mereka, di antaranya PDIP, Golkar, Hanura, dan Nasdem. Ketika para rombongan melewati beberapa koridor menuju ruang utama KPU, disaksikan bagaimana para pendukung Ahok-Djarot melambaikan bendera keempat parpol pendukung serta beragam atribut pendukung lainnya yang lengkap dengan slogan-slogan unik. Ada sebuah hikmah yang sejatinya kita ambil di balik momentum ini. Penulis meyakini bahwa antusiasme publik yang turut mengawal Ahok-Djarot ke KPU DKI-Jakarta adalah simbolisasi dari partisipasi politik. Namun, hikmah yang ingin kita peroleh tidak sebatas itu. Bahwa ada sebuah seruan baru yang setidaknya mengubah wajah demokrasi bangsa kita. Ayunan langkah pasti dari bakal Cagub dan Cawagub (Ahok-Djarot) menandakan sebuah titik awal yang menjanjikan. Tatapan mata polos dengan seribu senyuman yang menyita simpati adalah sebuah gambaran bahwa negara kita butuh pemimpin berwajah ceria dan merakyat. Memang pernyataan ini kemudian menjadi kontradiktif apabila disandingkan dengan rekam jejak Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Akan tetapi, negara dengan segala situasinya saat ini hanya butuh pemimpin yang tegas dalam prinsip, namun santun dalam tindakan. Wajah demokrasi kita perlu dipurifikasi mengingat dari satu dekade menuju dekade berikutnya selalu dimanipulasi dalam beragam tindakan tak berperikemanusiaan. Dan realitas buram ini hampir terjadi dalam seluruh sistem tata negara kita.
Momentum yang dikisahkan pasangan Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot Syaiful Hidayat (Ahok-Djarot) dalam proses pendaftaraan merupakan sebuah arus perubahan baru. Momen ini mengindikasikan bahwa Ahok-Djarot tidak lagi menjunjung mental egoisme untuk menyuburkan benih independen dalam menjaring aspirasi rakyat dalam Pilgub yang akan datang, tetapi kini keduanya maju dengan langkah pasti karena sedang dan akan ditopang oleh keempat partai politik pendukung. Ketua umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Megawati Soekarnoputri yang turut menghadiri proses pendaftaraan bersama para petinggi parpol koalisi lainnya saat itu memberi petuah singkat saat jumpa pers. Ada beberapa hal esensial yang diamanatkannya saat itu di antaranya prospek partai politik terhadap para kandidat yang telah diusung. Baginya, hal terpenting adalah melahirkan pemimpin yang pro rakyat dan lebih menaruh empati pada suara rakyat. Lebih jauh prospek itu ditegaskan dalam sebuah seruan dialogal, bahwa pilgub yang akan berlangsung pada bulan Februari tahun 2017 akan menjadi pesta yang sungguh demokratis apabila didukung dengan semangat persatuan dan kesatuan. Sebuah petuah yang tentunya membenam jauh ke dasar nurani. Sesungguhnya harapan kecil yang tersirat di balik pernyataan Megawati Soekarnoputri adalah bahwa persatuan sejatinya menjadi pilar untuk menentukan batas dan kewenangan negara dalam skala yang lebih luas. Dan skala itu akan menjadi indah pada waktunya apabila Ahok-Djarot mampu mendesainnya jika kemudian terpilih dalam pilkada.
Dalam kesempatan yang sama, Ahok menerima mandat dari Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri untuk menyampaikan orasi singkat yang lebih fokus pada visi dan misi umum yang akan mereka wujudkan ke ruang publik. Ada beberapa hal yang sangat menarik di balik peryataan Ahok. Dengan raut wajah yang penuh bersahabat dan dengan tatapan yang tajam, Ahok menegaskan beberapa aspek fundamental negara. Beliau coba merefleksikan lebih jauh mengenai empat partai politik yang telah menaruh kepercayaan penuh kepada mereka. Ahok menganalogikan kedudukan dan peran parpol sebagai empat pilar negara yang dijunjung tinggi dalam semangat kebangsaan. Keempat parpol sekurang-kurangnya menjadi bentuk representasi dari keempat pilar negara, yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika. Bagi beliau, hal terpenting dalam proses pilkada adalah ajang saling menguji program kerja bukan saling mempertaruhkan harga diri dengan mengadopsi unsur SARA sebagai biangnya. Oleh karena itu, Ahok menegaskan bahwa ketika ada orang yang menjadikan unsur SARA sebagai aspek tandingab terhadap lawan politiknya atau menghujat agama yang dianut lawan politiknya, maka oknum bersangkutan dapat diberi label sebagai tokoh yang sedang kehilangan iman keagamaannya. Baginya, tidak cukup bagi seseorang yang mengklaim diri sebagai agamawan/ti, apabila iman keagamaan yang dianutnya tidak sanggup dibuktikan dalam kehidupan sosial. Ahok mengakhiri orasi singkatnya dengan mengutip petuah sang Proklamator bangsa Indonesia, Ir. Soekarno. Ahok menilai dan memaknai bahwa jejak perjuangan Soekarno sejatinya mewariskan petuah-petuah bijak yang hendaknya dipertahankan dalam seluruh sistem ketatanegaraan kita. Seperti Soekarno, kita pun jangan sekali-kali melupakan sejarah. Bagi Ahok, Garuda sebagai simbolisasi negara meninggalkan pesan hikmat bahwa gengaman erat kaki burung Garuda pada pijakan adalah simbol persatuan yang erat di balik keberagaman budaya.
Menyikapi kisah singkat ini, penulis mengajak semua kalangan untuk semakin menjunjung tinggi semangat nasionalisme dalam hidup. Kita berjuang untuk mengubah wajah lama demokrasi menuju wajah baru yang lebih menjanjikan harapan.*
