Apresiasi untuk Mahasiswa Prodi PBI Undana
Itu persoalan besar karena dia menjadi bagian dari perjalanan bangsa ini menuju bangsa yang lebih maju, demokratis, dan modern
Oleh: Feliks Tans
Dosen FKIP, Undana
DALAM beberapa minggu terakhir ini, dunia maya, khususnya Facebook, menyorot secara agak tajam Program Studi (Prodi) Pendidikan Bahasa Inggris (PBI), FKIP, Undana. Sorotan itu berawal dari kicauan seorang mahasiswanya yang menyatakan, kurang lebih, bahwa dosennya tidak disiplin dalam mengajar. Mareka, katanya, sering tidak datang mengajar dan ketidakdatangannya tanpa berita.
Kicauan itu menjadi lebih "panas" karena pemangku kepentingan pendidikan Prodi PBI ikut mengecam para dosen tersebut dan, bahkan, menganjurkan agar mereka mundur saja dari pekerjaan mulia sebagai dosen kalau pekerjaan di luar kampus terasa lebih menjanjikan.
Secara sepintas, kedua hal itu tampaknya bukan masalah besar dan, karena itu, tidak layak dijadikan topik opini untuk sebuah harian sebesar Pos Kupang ini, salah satu dari 10 besar surat kabar terbaik Indonesia. Walaupun demikian, jika dikaji secara lebih mendalam, kritik, yang belum tentu obyektif, itu bukan persoalan kecil. Itu persoalan besar karena dia menjadi bagian dari perjalanan bangsa ini menuju bangsa yang lebih maju, demokratis, dan modern yang salah satu cirinya adalah keterbukaan.
Di negera maju seperti Australia, misalnya, kritik mahasiswa terhadap dosen sesuatu yang biasa dan, sering, sangat tajam, tetapi para dosen dan pimpinan perguruan tinggi (PT) tidak melihat itu sebagai sesuatu yang negatif. Itu, saya kira, malah menjadi pemicu bagi para dosen dan pimpinan PT untuk membuat yang terbaik. Hasil kritik itu memang mengagumkan: banyak PT di Australia masuk dalam jajaran PT top dunia.
Ketika belajar di Universitas La Trobe, Australia, pada tahun 1991, misalnya, dalam buku Course Critiques yang ditulis mahasiswa universitas tersebut, saya baca, antara lain, kritik berikut: "Dosen mata kuliah ini bodoh. Dia biasanya berbicara terlalu cepat, monoton, dan tanpa makna. Dia membingungkan dan kebingungan dalam menyajikan materi. Demi Allah, jangan berbeda pendapat dengan dia. Lupakan bahwa ilmu adalah persoalan bertanya dan menemukan sudut pandang dan hasil penelitian lain yang berbeda. Dia akan tersinggung bila Anda menanyakan pertanyaan yang, dia anggap sendiri, sudah dijawabnya. Hanya satu sudut pandang yang berlaku, yaitu pandangan dia. Saran: jangan programkan mata kuliah itu, kecuali kalau Anda mau mendapat a rock of shit" (dalam Feliks Tans, 2007. Diskursus Pencerahan: Membangun Peradaban Sejati. Kupang: Gita Kasih, hlm. 94-95).
Dibandingkan dengan kritik mahasiswa di negara maju itu, kicauan mahasiswa dan pemangku kepentingan Prodi PBI seperti yang disinggung pada awal tulisan ini, tampaknya, jauh lebih "halus," tetapi tujuannya, saya kira, sangat mulia: bukan hanya kerinduan untuk meningkatkan mutu Prodi PBI, tetapi juga untuk membuat semua prodi di PT manapun menjalankan tugasnya secara benar. Karena itu, para dosen Prodi PBI, terutama yang terkenal karena disiplinnya yang tinggi dalam mengajar selama ini, saya yakin, tidak akan tersinggung karena kicauan yang bergaya totum pro parte itu - Kerja keras mereka, antara lain, yang membuat Prodi PBI, yang dikritik itu, terakreditasi B oleh Badan Akreditasi Nasional PT.
Dalam konteks itu, semua mahasiswa, sejatinya, harus meniru mahasiswa Prodi PBI tersebut. Mereka harus berani mengkritik sesuatu yang tidak beres, entah itu di PT-nya atau di luar kampusnya, dengan tujuan, tentu, bukan untuk memojokkan pribadi tertentu, tetapi untuk membawa kebaikan bagi semua. Itu harus menjadi bagian integral dari keberadaan sebagai seorang mahasiswa; sebuah panggilan untuk membereskan yang tidak beres. Para mahasiswa tidak boleh diam terhadap ketidakberesan, ketidakadilan, dan hal negatif lainnya. Apalagi ketika itu berkaitan dengan hak mereka untuk menjamin bahwa cita-cita mulianya, apapun itu, tergapai setelah kuliah di Prodi PBI atau di mana saja. Karena tidak semua orang punya keberanian untuk melakukan protes seperti itu dalam keadaan seperti itu, mahasiswa dan pemangku kepentingan pendidikan yang melakukan protes itu, sejatinya, patut diapresiasi.
Walaupun demikian, dunia akademis adalah dunia ilmiah. Artinya, apa yang dikatakan harus bisa dibuktikan. Karena itu, Ketua Prodi PBI perlu menanggapi kicauan itu dengan melakukan beberapa hal-hal. Pertama, dia perlu mencari tahu siapa yang tidak disiplin tersebut. Jika ada, langsung saja menegur dan memintanya untuk tidak boleh tidak disiplin. Titik. Jika tidak disiplin lagi, beri dia (mereka?) sanksi. Full stop.
Kedua, jika tidak bisa menemukan bukti seperti yang dituduhkan mahasiswa tersebut di dunia maya, Ketua Prodi PBI perlu meminta keterangan mahasiswa penuduh itu untuk membuktikan apa yang dikatakannya. Tentu bukan untuk memojokkannya, tetapi untuk mencari kebenaran. Kebenaran itu penting bagi perbaikan proses pembelajaran di Prodi PBI yang, pada gilirannya, tidak hanya untuk meningkatkan mutu pendidikan prodi itu kini dan nanti, tetapi juga untuk menghasilkan lulusannya yang bermutu yang sangat dibutuhkan bangsa ini.
Dalam konteks itulah, kritik mahasiswa dan pemangku kepentingan Prodi PBI, sejatinya, harus dinilai sebagai sesuatu yang penting. Kritik seperti itu ikut serta menentukan baik atau buruknya nasib bangsa ini ke depan. Apalagi ketika dikaitkan dengan persoalan Indonesia saat ini: penuh koruptor dan 83% koruptor itu tamatan perguruan tinggi (Pos Kupang, 3/4/2006, hlm. 2, Indonesia Miskin Pemimpin Bermoral Kuat: 83 Persen Koruptor Lulusan Perguruan Tinggi).
Dengan demikian, kritik seperti itu, rupanya, dibutuhkan untuk tidak hanya membuat PT di Indonesia tidak lagi menghasilkan koruptor sebanyak itu, tetapi juga menjadi contoh dalam hal disiplin, etos kerja keras, dan tekad untuk maju dan sukses seperti PT di negera maju.
Jadi, kalau PT Indonesia mau diperhitungkan dunia, Indonesia, saya kira, butuh mahasiswa yang berani mengkritik. Termasuk dalam keberanian itu adalah membuktikan bahwa kata-katanya berdasar. Bisa dibuktikan. Bukan isapan jempol belaka; it is not a pack of lies.*