Breaking News

Wartawan NTT Dihimbau Tolak Narasumber Provokator

Segenap jurnalis dan media massa di Propinsi NTT dihimbau agar tidak mengakomodir narasumber provokator dalam peliputan berita konflik.

Editor: Alfred Dama
Net
Ilustrasi 

POS KUPANG.COM, KUPANG -- Segenap jurnalis dan media massa di Propinsi NTT dihimbau agar tidak mengakomodir narasumber provokator dalam peliputan berita konflik.

Alasannya, berita dari narasumber provokator berpeluang memicu konflik dan mengancam nilai-nilai nasionalisme bangsa.

Imbauan itu mengerucut dalam kegiatan diskuai terbatas yang diselenggarakan Peace Journalist Community Kupang (PJCK) di Kantor Harian Kursor, di Oebobo, Kota Kupang, Jumat (26/8/2016).

Pantauan Pos Kupang, Jumat siang, diskusi para wartawan tersebut mengambil thema "Merawat Etnis Keberagaman dan Toleransi Melalui Pemberitaan."

Dalam diskusi itu, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Kupang, Alexander Dimu mengatakan media massa harus mampu memberi solusi terhadap konflik yang terjadi di wilayah NTT.

Solusinya, setiap jurnalis dalam melaksanakan tugas jurnalistik harus mampu memilah narasumber yang layak. Hal ini agar setiap berita konflik yang dipublikasikan mampu meredam dan menyelesaikan konflik yang telah terjadi.

"Kita akui bahwa wartawan sering tidak objektif dalam membuat berita karena mengedepankan analogi pembenaran terhadap apa yang dianutnya," kata Alex.

Menanggapi hal yang sama, Pemimpin Redaksi Harian Kursor, Anna Djukana, SH, menyarankan agar insan jurnalis yang melakukan peliputan terkait isu-isu keagamaan wajib menjaga keseimbangan narasumber serta menjaga netralitas pemberitaan.

"Jangan membiarkan masyarakat yang menyimpulkan sendiri karya jurnalis yang dipublikasikan. Singkat kata, wartawan atau jurnalis harus paham visi dan misi dari masing-masing agama," pinta Ana Djukana.

Menurut Ana, harus diakui kemampuan jurnalis di lapangan dalam menulis berita, juga redaktur dalam melakukan editing di ruangan redaksi tidak memiliki perspektif keberagaman dan pengetahuan yang baik tentang agama-agama.

Seringkali berita-berita keberagaman, kebebasan beragama dan berkeyakinan berbelok dari aslinya, dan tidak menyebarkan kedamaian. Hasilnya, berita berat sebelah, bahkan menguntungkan salah satu pihak. Sementara pihak lain merasa dirugikan.

Pada bagian lain, Ana juga meminta agar seorang jurnalis wajib membaca aneka literatur, rajin berdiskusi, mengikuti training-training tentang keberagaman. Hal ini untuk membuka wawasan selain memperkaya pengetahuan jurnalistiknya. (art)

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved