Tantangan bagi Demokrasi

Dalam upaya memperbaiki peradaban demokrasi di Indonesia, senantiasa muncul ke permukaan sesuatu yang luput dari grand design demokrasi.

Editor: Agustinus Sape
SETPRES/LAILY RACHEV
Presiden Joko Widodo bersalaman dengan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri, yang juga istri Ketua MPR periode 2009-2013 Taufiq Kiemas, dalam haul ketiga Taufiq Kiemas di Jakarta, Rabu (8/6). Wakil Presiden Jusuf Kalla, ketua lembaga negara, dan sejumlah ketua umum partai politik juga hadir. 

Oleh: Arie Putra
Alumnus STFK Ledalero-Flores

GOENAWAN Mohamad menamai apa yang turah, yang luput tak tertangkap oleh hukum dan bahasa sebagai Sang Antah. Istilah ini diambilnya dari pemikiran Lacan yakni le Reel (the Real) dengan penjelasan yang sama. Sebuah tata masyarakat, sebuah tubuh politik adalah sebentuk scene yang tak pernah komplit. Menurut Goenawan, senantiasa ada yang obscene dalam sebuah masyarakat, dalam setiap tubuh politik. Yang obscene -yang tak tertampung itu -justru tak dapat diwakili oleh tubuh politik yang ada. Ini menunjukkan bahwa tata masyarakat yang ada tak terjadi secara alamiah.

Dalam upaya memperbaiki peradaban demokrasi di Indonesia, senantiasa muncul ke permukaan sesuatu yang luput dari grand design demokrasi. Telah banyak kajian ilmiah dan akademis yang menobatkan sistem demokrasi sebagai yang terbaik untuk mengatur kehidupan publik. Sistem ini telah banyak diterapkan di berbagai negara di belahan planet ini. Terbukti memang, demokrasi merupakan sistem politik yang tidak terlalu buruk untuk dipakai demi menjaga stabilitas sosial di berbagai negara. Lantas, timbul pertanyaan ganjalan: benarkah sistem ini -dalam konteks Indonesia -telah mengakar dalam kehidupan masyarakat akar rumput? Atau dengan penekanan lain, sudahkah demokrasi menjadi way of life masyarakat Indonesia?

Ada beberapa kondisi yang melahirkan pertanyaan di atas. Pertama, di tingkat desa pada bulan September mendatang, akan diadakan pemilihan kepala desa. Peristiwa ini merupakan bagian dari realisasi prinsip demokrasi. Warga masyarakat di setiap desa akan melaksanakan hak dan kewajiban politiknya dalam memilih pemimpin politik di tingkat desa. Kedua, mungkinkah pelaksanaan pemilihan kepala desa tersebut dilakukan sesuai dengan prinsip demokrasi? Apabila dilakukan sesuai dengan desain demokrasi, apa dan siapa yang menentukan kesahihannya?

Mendudukkan desa sebagai sebuah locus politik riil adalah suatu keniscayaan dalam demokrasi. Sejatinya, peradaban politik di sebuah negara diukur dengan matang tidaknya masyarakat lokal menerapkan nilai dan prinsip demokrasi. Tak dapat dibendung arus besar pengaruh kekerabatan ketika menentukan pemimpin politik lokal. Pengusutan garis keturunan dengan seorang calon kepala desa akan dijadikan sebagai motivasi dan alasan dalam memilih. Kriteria kepatutan yang dituntut prosedur demokrasi tak banyak mempengaruhi pilihan masyarakat. Karena itu tantangannya adalah bagaimana mengarahkan nurani masyarakat desa untuk memilih pemimpin politik lokal yang berkualitas sesuai dengan harapan dan cita-cita demokrasi.

Demokrasi Sebagai Sistem
Patut diakui keberhasilan demokrasi sebagai sistem yang mengatur kehidupan politik di berbagai negara di Eropa, Amerika, dan Asia. Demokrasi telah diterima sebagai sistem politik di beberapa negara karena ia menghargai hak dan kebebasan setiap manusia sebagai subyek yang unik. Penerimaan atas pluralitas budaya, agama, suku, bahasa, dan sistem berpikir juga menjadi poin terpenting dalam demokrasi yang menjadikannya efektif ketika mengelola kehidupan sosial yang kompleks.

Pengalaman Indonesia dengan sistem demokrasi sejak Orde Lama sampai Reformasi melukis berbagai peristiwa sejarah penting. Di tahun 1953, massa berdemonstrasi menuntut Presiden Soekarno untuk membubarkan Parlemen. Parlemen tidak mencirikan nuansa kehidupan yang demokratis. Slogan para demonstran kala itu: "Parlemen untuk Demokrasi, bukan Demokrasi untuk Parlemen" menegaskan esensi demokrasi sebagai roh yang mesti menggerakkan akal budi dan hati para wakil rakyat di parlemen. Di masa Orde Baru dengan format politik Demokrasi Pancasila, tak lebih sebagai alat Soeharto untuk mengekalkan kekuasaan. Dalam Demokrasi Pancasila, DPR memang dipilih secara reguler, tetapi konstruksi penguasa dalam hal ini Soeharto tetap menentukan. Kekuasaan pun bergerak dari sifat birokratik-otoriter menjadi otokratik. Kekecewaan rakyat atas pemerintahan Soeharto yang otoriter itu memuncak di tahun 1998 dalam tuntutan reformasi total. Tuntutan-tuntutan para reformis kala itu mendudukkan kembali demokasi sebagai sistem yang mesti dipakai untuk mengelola pemerintahan.

Demokrasi menjadi sistem unggul dalam konteks Indonesia sebab ia mampu mengelola pluralitas yang ada. Seturut catatan sejarah di atas, demokrasi memang dipakai selama beberapa dekade di Indonesia hanya saja tak sepenuhnya diterapkan seturut situasi. Masih terasa iklim kehidupan bangsa yang tidak demokratis seperti represi dan pengancaman terhadap mereka yang kritis terhadap pemerintah. Karena itu, cita-cita demokrasi akan terwujud jika sebagai sistem ia harus selalu diperbaharui dan pada tataran praktis kehidupan, ia mesti dijadikan sebagai prinsip hidup.

Tantangan Demokratisasi Level Akar Rumput
Pemilihan kepala desa sebagai peristiwa politik penting menarik untuk dikaji. Ditemukan kecenderungan-kecenderungan yang mengarah kepada penistaan terhadap nilai dan prinsip demokrasi ketika melihat sepak terjang dan strategi pemenangan para kandidat kepala desa. Hubungan kekerabatan dijadikan sebagai salah satu saluran untuk melihat peluang memenangkan pertarungan. Sanak keluarga pun diberi beban untuk harus memilih calon yang memiliki ikatan kekerabatan. Prinsip kebebasan dalam memilih pemimpin dinihilkan karena intimidasi serta ancaman jika memilih kandidat lain. Hal ini bertentangan dengan nilai demokrasi.

Keyakinan terhadap kekuatan magis dijadikan pula sebagai strategi. Diyakini bahwa kekuatan magis akan serta merta menuntun nurani seseorang untuk memilih kandidat tertentu. Magik mendeterminasi secara ajaib pilihan politik seorang individu. Selain itu, politik uang tetap akan menjadi tantangan wajib pada setiap pemilihan pemimpin. Tantangan-tantangan tersebut meski sebagian sepele dan irasional namun telah menjadi fakta di tingkat lokal. Mereka telah menjadi Sang Antah yang perlu diakui sehingga dapat dicarikan pemecahan preventif. Adalah tugas semua orang yang percaya pada demokrasi untuk menemukan kemungkinan-kemungkinan jalan keluar kepada kultur demokrasi.*

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved