LIPSUS
Emu Warga NTT Tersiksa Saat Kena Hepatitis B
Saya benar-benar tersiksa dan stress saat divonis kena penyakit hepatitis B dan virus HIV/AIDS.
Penulis: omdsmy_novemy_leo | Editor: omdsmy_novemy_leo
Laporan Wartawan Pos-Kupang.com, Novemy Leo
KUPANG, PK -- "Saya benar-benar tersiksa dan stress saat divonis kena penyakit hepatitis B dan virus HIV/AIDS. Tersiksa karena setiap hari saya harus rutin minum banyak obat, tidak boleh berdekatan dan besentuhan langsung dengan orang lain termasuk dengan istri dan anak-anak."
Demikian Wihelmus Eduard Lisnahan alias Emu kepada Pos Kupang, Senin (25/7/2016). Emu hanya satu dari ribuan bahkan puluhan ribu warga Nusa Tenggara Timur (NTT) yang mengidap hepatitis. Hepatitis B merupakan ancaman serius bagi generasi muda di daerah ini.
Menurut Emu, dua virus itu, HIV/AIDS dan hepatitis B 'hinggap' di tubuhnya tahun 2010. Semua itu gara-gara perilaku hidupnya yang tidak sehat seperti mengonsumsi miras, merokok dan lainnya.
"Akibat dari semua perilaku hidup yang tidak sehat itulah, merokok, miras, apalagi makan asal-asalan, saya kena virus hepatitis B," tutur Emu yang adalah Ketua Yayasan Perjuangan Kupang ini.
Beruntunglah setelah terdeteksi kena hepatitis B dan HIV/AIDS, Emu mengikuti serangkaian pengobatan dan perawatan di rumah sakit. Obat yang diberikan selalu diminum secara rutin dan beberapa bulan kemudian, setelah ditest lagi, Emu dinyatakan negatif hepatitis B. "Saya senang, karena beberapa bulan kemudian, virus hepatitis di tubuh saya sudah hilang. Virus HIV/AIDS masih ada sampai saat ini," kata Emu.
Emu mengaku sangat menderita selama mengindap Hepatitis B karena selama itu ia tidak boleh bersentuhan langsung dengan orang lain, termasuk istri dan anak-anaknya.
"Pakaian yang saya sudah pakai saja harus dipisah. Bergaul dengan orang lain juga terbatas," kata Emu.
Emu berharap masyarakat harus menghindari diri dari perilaku tidak sehat. "Jauhi miras, jangan merokok, makan makanan bergizi, cukup istirahat dan jangan melakukan seks bebas sehingga kita tidak tertular virus Hepatitis B," pesan Emu. Pengalaman serupa dialami Marko yang ditemui secara terpisah, kemarin.
Sejumlah orangtua di Kota Kupang ditemui di tempat berbeda, Kamis -Sabtu (21-23/7/2016), mengaku sangat khawatir jika anak-anak mereka terkena penyakit hepatitis B. Mereka di antaranya Erni Mamo Li, Dientje Bule Lobo, Lenny Saingo dan Evie Jacob.
Menurut Erni, sering kali ia mendengar bahwa selain virus HIV/AIDS, ada virus yang juga sangat berbahaya, yakni hepatitis B. Namun informasi mengenai bahaya dan penyebab penyakit hepatitis B sepertinya 'tenggelam' oleh penyakit lainnya sehingga kurang mendapat perhatian dari masyarakat dan para pengambil keputusan.
"Selama ini kita selalu menganggap virus HIV/AIDS adalah virus paling berbahaya. Padahal, penyakit hepatitis B juga sangat berbahaya karena penularannya cepat. Makanya, saya khawatir jika anak-anak saya terkena Hepatitis B. Sejak dini saya selalu memperhatikan kesehatan, gaya hidup, pola makan anak-anak dan keluarga di rumah," kata ibu dari Samuel (16), Kezya (12) dan Hendrik (10) ini.
Erni menjelaskan, upaya peningkatan kesehatan harus dilakukan dari keluarga. Untuk itu, sejak hamil, melahirkan hingga membesarkan anak-anaknya, dia rutin memeriksakan diri dan anak-anak ke dokter.
"Paling utama bahwa sejak balita harus mendapat dan mengikuti proses pemberian vaksin. Berikutnya saya memperhatikan kesehatan gizi makanan untuk anak dan suami. Karena dari makanan yang bergiji maka anak-anak bias kebal terhadap penyakit," kata Erni.
Dientje mengaku selalu memperhatikan pertumbuhan fisik anaknya.
"Saya selalu perhatikan fisik anak, jika usia begini dia harus punya berat badan berapa. Kalau terlalu kurus atau gemuk, harus konsultasi ke dokter, jangan cuek saja. Seringkali karena orangtua sibuk kerja, hanya kasih uang jajan ke anak-anaknya untuk makan di luar rumah. Lalu anak mengonsumsi makanan instan, yang tidak higienis, akhirnya mereka jatuh sakit, bisa kena maag, usus, typus, lambung bahkan Hepatitis B," kata Dientje.
Ia selalu masak makanan di rumah untuk menjadi bekal bagi anaknya ke sekolah dan untuk suaminya ke kantor. "Setiap hari anak dan suami selalu membawa makanan yang saya masak di rumah, karena lebih terjamin kebersihan dan gizinya," kata Dientje.
Dientje, Erni dan Evie Jacob, mengatakan bahwa urusan makanan yang sehat bergizi adalah nomor satu untuk keluarga. Menurut Dientje, sejak kecil anak-anaknya, Melinda, Ike Ratu Radja dan Imanuel sudah dibiasakan membawa bekal makanan dari rumah yang dimasaknya.
"Sampai kuliah pun mereka membawa makanan yang dimasak dari rumah. Hal ini untuk mencegah mereka jatuh sakit karena mengkonsumsi makanan yang tidak bergiji," kata Dientje.
Mengenai pencegahan Hepatitis B, Erni, Dientje dan Evie berharap agar pemerintah membuat program pencegahan yang efektif sehingga penyakit itu tidak berkembang pesat dan akhirnya tidak bisa ditangani lagi karena sudah terlambat.
"Mendengar Hepatitis B saja saya langsung khawatir, semoga anak dan suami saya tidak kena penyakit itu," kata Erni.
Lenny Saingo mengatakan, pencegahan dalam bentuk sosialisasi ke sekolah-sekolah atau kelurahan bisa saja dilakukan. Meski demikian , kembali kepada masyarakat, apakah mereka punya kesadaran untuk bisa hidup sehat.
"Petugas dinas kesehatan dan guru boleh teriak-teriak, sosialisasi soal pencegahan penyakit, tapi kalau masyarakatnya cuek, sama saja. Karena selama ini, kesadaran masyarakat masih kurang untuk memeriksakan diri ke puskesmas atau rumah sakit, apalagi ikut tes Hepatitis B," demikian Lenny. (vel)