TKW dan 'Pemberian Diri'
Yang menarik, selama periode yang lama, keduanya memilih jadi TKW di Singapura. Ada yang malah sejak awal
Dedikasi untuk Ani dan Marni
Oleh Robert Bala
Pemerhati Sosial, Tinggal di Jakarta
POS KUPANG.COM - Di penghujung Juni 2016, saya berkesempatan 'berkenalan' kembali di Singapura, dengan dua TKW (Ani dan Marni) asal Indonesia. Sebuah perkenalan yang bukan baru terjadi kali ini. Tiga puluh tahun silam. Tetapi selepas itu, oleh kesibukan masing-masing, maka pertemuan kali ini merupakan sebuah perkenalan kembali.
Yang menarik, selama periode yang lama, keduanya memilih jadi TKW di Singapura. Ada yang malah sejak awal (1994) hingga kini bekerja di orang yang sama (22 tahun). Anak yang diasuh masih bayi, kini sudah menyelesaikan kuliah di Inggris. Bisa saja dalam waktu singkat akan menikah. Keduanya pun bisa dianggap 'oma', bagi anak yang lahir dari perkawinan orang yang dulu diasuh selagi bayi. Kisah ini menjadi inspirasi atas tulisan ini. Apa makna di balik pemberian diri?
Tindakan Heroik
Kisah tragis yang pernah dialami para TKI pada umumnya dan TKW pada khususnya kerap melupakan sebuah sisi pengorbanan. Sebuah pengabdian utuh. Yang ada dalam benak mereka, sebuah korban diri demi sebuah nilai yang jauh melampauinya.
Di balik pengabdian, sederetan tugas dan tanggung jawab untuk keluarga. Biaya pendidikan saudara (adik) merupakan hal yang sangat wajar. Proses pendidikan dapat berjalan atas korban tenaga yang diberikan dengan ikhlas. Hampir dipastikan, tanpa korban itu, pendidikan hanya jadi impian bagi banyak orang.Kehidupan sosial ekonomi keluarga menjadi hal nyata.
Dukungan dana berkala menjadi jaminan. Tanpa bantuan, kehidupan menjadi timpang. Jaminan kesehatan pun bisa terkendala oleh kesadaran, di negeri ini ongkos kesehatan menjadi masalah. Orang miskin dilarang sakit.
Keprihatinan sosial mereka pun tidak kurang. Ani dan Marni, sejauh yang saya kenal secara pribadi, punya 'social spirit'. Dalam kegiatan sosial yang berkaitan dengan kampung halaman, meski hanya merupakan seruan via media sosial, keduanya selalu tampak.
Pertanyaan menggelitik. Apa sebenarnya yang menjadi inspirasi utama di baliknya? Pertanyaan ini penting karena kekuatan yang ditampilkan keluar tidak bisa hadir dengan sendirinya. Ia mestinya bersumber pada hal internal yang sangat kuat. Jelas, pengorbanan diri menjadi kata kunci. Lebih jelas lagi, kemampuan melupakan keinginan diri demi sebuah tujuan yang lebih mulia.
Korban diri seperti ini jelas sebuah tindakan heroik. Demi sebuah tujuan luhur, meski masih berada pada level kecil (keluarga dan kampung), tetapi hal itu menjadi sebuah tindakan penuh bermakna kepahlawanan. Di sana keinginan dan kepentingan diri dipinggirkan demi membahagiakan orang lain.
Apresiasi?
Ani dan Marni hanyalah dua gadis desa. Mereka sekedar simbol. Tetapi apa yang bisa dikais di balik narasi kisah hidup mereka?
Pertama, korban diri utuh merupakan sebuah ironi di tengah inkapasitas negara memberi hidup pada warga. Membeludaknya orang yang mencari kerja di negara lain (khususnya Malaysia, Arab, Hongkong, Taiwan, Singapua) adalah sebuah perjuangan tulus mempertahankan hidup.
Di sana, usaha ikhlas itu kerap disalahgunakan hal mana tampak melalui human trafficking, hal mana sangat kita tentang. Tetapi perjuangan itu kerap nyaris mendapatkan tanggapan proaktif. Upaya mendukung melalui pelatihan kerja (jangka pendek) maupun menggagas pendidikan jangka panjang yang mengarah kepada keahlian (vocational) merupakan sisi suram yang mestinya mendapatkan perhatian.
Aneka minat dan bakat seperti ini mestinya sudah dideteksi sejak jenjang pendidikan menengah. Kompetensi keterampilan yang merupakan bagian praksi dari aplikasi konsep mestinya mendapatkan perhatian yang besar. Kenyataannya, pendidikan (lebih tepat pengajaran) kita masih bersifat teoretis. Beban penguasaan konsep yang lebih dimaknai sebagai pengertian lebih dominan. Di atas kertas, siswa kita bisa dianggap 'pintar', tetapi ia sebatas menguasai jawaban dari pertanyaan yang direkayasa.
Kedua, perlu optimalisasi balai latihan kerja yang ditangani secara profesional. Ia bukan sekedar proyek yang berjalan ketika ada dana tanpa ada roh yang menggerakkan dari dalam. Yang dimaksud, tenaga kerja berpengalaman yang telah terlibat sebagai pekerja, mestinya direkrut sebagai pelatih. Mereka membagi ilmu, dedikasi, kinerja, sambil membiaskan etika kerja yang pernah ditunjukkan dan terbukti sangat handal.
Terpikir ide, tenaga kerja yang telah lama 'lalang-melintang' di negeri Jiran atau Arab yang nota bene kalau bekerja secara legal, mestinya dimiliki datanya oleh pemerintah daerah dapat menjadi tenaga profesional. Ani dan Marni dalam kisah ini, setelah perak mengabdi di negeri asing, dengan terbukti dedikasinya bisa menjadi tenaga profesional yang bisa digaji setingkat ketika bekerja di negara asing tetapi kini oleh konsep profesional pemda, dapat menjadi pelatih tenaga kerja di aneka balai lapangan pekerjaan.
Tawaran seperti itu akan begitu mudah diterima karena semanis-manisnya bekerja di tanah orang, lebih manis bekerja di negeri sendiri. Di sana dengan kombinasi antara manajemen yang baik dan tenaga profesional yang handal, dapat tercipta balai latihan kerja profesional yang diidamkan yang nota bene selama ini belum kita miliki secara baik.
Bagi tenaga kerja yang telah terbukti, panggilan mengabdi di negeri sendiri merupakan sebuah apresiasi. Mereka dihargai karena oleh dedikasi yang terbukti, mereka telah menghadirkan tenaga kerja profesional yang mengedepankan pengabdian tulus.
Penghargaan juga menjadi pengakuan akan pengorbanan diri tulus yang mereka telah buktikan. Mereka telah mengorbankan segalanya termasuk hidup dan karier pribadi hanya demi sebuah pengabdian tulus. Sebuah bobot pengabdian yang tak keterlaluan ketika mengategorikan mereka sebagai pahlawan (devisa).
Bila proses ini bisa diretas kini, niscaya wajah tenaga kerja (wanita/Indonesia) kita menadi lebih cerah.*