Belajar dari Seladi: Polisi dan Pemulung

Dia polisi dan pemulung sekaligus. Sebagai polisi, pangkatnya brigadir kepala. Bekerja

Editor: Dion DB Putra
SURYA MALANG/ SRI WAHYUNIK
Inilah pekerjaan sehari-hari Bripka Seladi. Di luar jam dinas, ia menjadi pengumpul sampah. 

Oleh Feliks Tans
Dosen FKIP Undana

POS KUPANG.COM - Nama Seladi, saya kira, asing bagi sebagian besar anak negeri ini; banyak orang, mungkin, tidak pernah mendengar namanya. Karena itu, logis kalau timbul pertanyaan siapa gerangan orang ini.

Dia polisi dan pemulung sekaligus. Sebagai polisi, pangkatnya brigadir kepala. Bekerja di Polres Malang, Jawa Timur, pada bagian pengurusan SIM. Tentang dia, dalam Tajuk Rencana, yang berjudul Paradoks Indonesia, Kompas (25/5/2016, hlm. 6), menulis bahwa dia "menunjukkan sikapnya yang mulia. Dia tidak mau menerima suap, bahkan untuk urusan secangkir kopi pun dia tolak. Padahal, bagi sementara orang, Seladi bekerja di wilayah yang disebut "basah". Dia bertutur dengan tulus tentang pilihan hidup orang: mau jadi buruk atau mau jadi baik. Seladi memilih untuk menjadi baik.'

Itu, tentu, karakter luar biasa. Amat-sangat hebat pada saat yang umum disaksikan sehari-hari di Negeri Pancasila ini adalah ini: korupsi yang, menurut S.H. Alatas (1987. Korupsi: Sifat, Sebab, dan Fungsi. Jakarta: LP3S, hlm. ix), terdiri atas tujuh jenis, yaitu "korupsi transaktif (transactive corruption), korupsi yang memeras (extortive corruption), korupsi investif (investive corruption), korupsi perkerabatan (nepotistic corruption), korupsi defensif (defensive corruption), korupsi otogenik (autogenic corruption), dan korupsi dukungan (supportive corruption). "Ketujuhnya tampakmerebak dari ujung ke ujung.

Apalagi kini ketika KPK hanya berani menangkap tangan orang-orang yang tak berdaya untuk menangkap balik komisionernya setelah pelemahannya oleh orang-orang kuat negeri ini dalam beberapa tahun terakhir ini.

Data Indonesia Corruption Watch (ICW) berikut menjadi bukti korupsi yang merebak itu, yaitu: 52 kasus di Jatim, 43 di Sumut, 32 di Jabar, 30 di NTT, 26 di Jateng, 22 di Riau, 22 di Lampung, 21 di Sulsel, 20 di Sumsel, dan 19 di Sumbar (dalam L. Jehamat, Merayakan Peringkat Korupsi. Pos Kupang, 30/4/2016, hlm. 4). Perguruan tinggi (PT) yang sering hadir tanpa tokoh panutan seperti Seladi di dalam dirinya melahirkan 83% pelaku korupsi tersebut (Pos Kupang, Bermoral Kuat: 83 Persen Koruptor Lulusan Perguruan Tinggi, 3/4/2016, hlm. 2).

Itu yang sempat ditangani aparat penegak hukum. Di luar itu? KKN, tentu, ada. Amat mungkin dalam jumlah yang sangat banyak, walaupun tak sempat terekam di meja hijau; tidak pernah berhadapan dengan para hakim yang, sebagian di antaranya, ternyata tertangkap sesama aparat penegak hukum seperti yang dialami oleh Janner Purba dan Toton, hakim Tipikor Bengkulu (Reformasi Gagal di Peradilan: Dua Hakim Tipikor Bengkulu Jadi tersangka, Kompas, 25/5/2016, hlm.1).

Walau tidak pernah dimejahijaukan, kehadirannya terasa secara sangat nyata. Ada, misalnya, keluhan seorang sarjana yang melamar untuk menjadi pendamping pelaksanaan program pemerintah di daerahnya. Dia ditolak, katanya, karena dia bukan aktivis partai politik tertentu. Ini, tentu, sangat menyakitkan karena partai politik, seperti yang dibaca pada setiap baliho yang dipasangnya dengan sangat gagah di tempat-tempat sangat strategis di negeri ini, selalu berjuang untuk rakyat.

Ketika itu yang terjadi, makna rakyat, dalam konteks itu, rupanya, tidak lagi berarti rakyat secara umum, tetapi rakyat anggota partainya sendiri, sebentuk perilaku koruptif yang luput dari pantauan aparat penegak hukum.

Persoalannya adalah mengapa KKN itu begitu marak di Bumi Pancasila ini, termasuk di NTT, Bumi Flobamora, tempat 1001 gereja berdiri kokoh-megah. Menjawab persoalan ini, tentu, tidak gampang.

Walaupun demikian, Seladi memberikan, secara sadar atau tidak, jawaban ini: orang ingin menjadi kaya atau memenuhi kebutuhannya, apapun itu, tanpa kerja keras; orang lebih suka menempuh jalan pintas seperti meminta dan/atau membiarkan dirinya disuap. Selain itu, terimplisit dari cara hidup Seladi, orang malu menempuh jalan halal karena gengsi.

Seseorang yang terdidik, misalnya, lebih memilih menjadi penganggur daripada petani; lebih memilih menjadi tenaga honorer daerah dengan gaji seadanya daripada seorang penjual ikan dengan penghasilan yang lebih menjanjikan.

Itu sebabnya Seladi, dengan tahu dan mau, memilih menjadi pemulung setelah tugasnya sebagai polisi selesai setiap harinya. Kompas, dalam tajuk rencananya yang saya sebut di awal tulisan ini, menulis tentang Seladi, "Untuk menambah penghasilannya, Seladi bekerja sebagai pemulung sampah. Dia tidak malu menanggalkan baju polisi dan berganti dengan kaus ketika berganti profesi sebagai pemulung dan pengumpul sampah. Itulah pekerjaan mulia yang ditekuninya dengan ketulusan dan kesungguhan ... Meskipun tidak berpangkat tinggi, Seladi mewakili semangat anti korupsi. Dia jujur. Dia punya semangat untuk tidak menerima uang ilegal."

Indonesia umumnya, khususnya PT yang selama ini menjadi rahim paling subur bagi lahirnya koruptor, kiranya, bisa belajar dari Seladi. Tujuannya ini: melahirkan Seladi-Seladi baru, petarung tangguh anti KKN, yang membuat bangsa ini lebih berhasil nanti.*

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved