Fenomena Tindakan Asusila

Korban dari aksi kejahatan tersebut kemudian dibunuh. Fenomena tersebut kemudian menciptakan polemik

Editor: Dion DB Putra
Shutterstock
Ilustrasi 

Oleh Yanuarius Y. T. Igor
Tinggal di Kota Kefamenanu

POS KUPANG.COM - Fenomena tindakan asusila di tanah air kian menjamur dengan beragam catatan miris. Keprihatinan publik saat ini lebih tertuju pada kasus darurat pemerkosaan yang terjadi di tiga kota di Indonesia (Rejang Lebong Bengkulu, Lampung Timur, dan Manado). Latar belakang dari ketiga kasus ini pun bervariasi. Di Bengkulu, misalnya, kasus dari tindakan asusila (pemerkosaan) yang terjadi pada tanggal (2/4/2016) dilakukan oleh 14 pelaku atas korban yang berusia 14 tahun.

Korban dari aksi kejahatan tersebut kemudian dibunuh. Fenomena tersebut kemudian menciptakan polemik di antara berbagai kalangan yang mempersoalkan hukuman dan efek jera bagi para pelaku. Kritikan terus bermunculan di berbagai media sosial yang mempersoalkan tentang putusan hukuman oleh hakim atas para pelaku.

Kritikan senada pun datang dari orangtua dan keluarga korban. Protes dan aksi penolakan ini terjadi ketika ditemukan bahwa 7 dari 14 pelaku pemerkosaan dijatuhi hukuman sepuluh tahun penjara karena masih di bawah umur. Kritikan dan penolakan di media-media sosial didominasi oleh kalangan pemerhati sosial khususnya para aktivis perempuan. Bagi banyak kalangan, fenomena ini telah menciptkan distorsi dalam kinerja para penegak hukum dan keadilan di tanah air. Nuansa dari fenomena ini pada akhirnya disekap pada ruang lingkup penuh tanda tanya.

Latar belakang tindakan asusila di Kota Bengkulu serentak mengantar polemik publik pada fenomena serupa yang terjadi di Kota Lampung Timur. Tindakan asusila (pemerkosaan) jauh lebih memprihatinkan. Kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh dua orang pria dewasa atas korban yang masih berumur 10 tahun.

Peristiwa nahas ini membuat publik lebih garang membuat kritikan. Problematika tindakan asusila yang secara beruntun terjadi menyita keprihatinan seluruh masyarakat di tanah air, khususnya kaum perempuan. Keprihatinan datang dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang mempersoalkan kredibilitas Undang-Undang Perlindungan Anak dan Perempuan. Banyak aktivis perempuan menilai bahwa tindakan asusila (pemerkosaan) telah mereduksi harkat dan martabat kaum perempuan di tanah air. Perempuan di mata publik seakan menjadi objek akhir dari setiap tindakan asusila.

Kisah hitam dari dua tindakan amoral tersebut ternyata belum berhasil menyadarkan publik. Semakin kasus kejahatan (pemerkosaan) diperdebatkan semakin itu pula kasus serupa terjadi secara beruntun.

Kasus pemerkosaan pun terjadi di Kota Manado. Seorang gadis berusia 19 tahun diperkosa di sebuah hotel oleh 19 pelaku. Tiga tungku kejahatan tersebut membuat beberapa pihak kementerian berpikir ekstra menangani kasus-kasus asusila (pemerkosaan) yang masih tersembunyi di negeri ini.

Sejarah hitam tindakan asusila (pemerkosaan) di tanah air sudah waktunya diberantas secara tuntas. Yang menjadi pertanyaan problematis saat ini adalah apakah faktor pornografi yang menjadi penyebabnya? Ataukah karena masalah kemiskinan yang sedang melilit kehidupan korban? Ataukah sistem hukum di negeri ini yang belum menjamin efek jera bagi pelaku kejahatan?

Dalam konteks NTT, kasus asusila (pemerkosaan) pun marak terjadi. Direktris LBH APIK NTT, Ansi D. Rihi Dara, SH menjelaskan bahwa pada tahun 2015 LBH APIK menangani 64 kasus dengan tujuh kasus pencabulan korbannya adalah anak-anak. Tak heran jika pada tahun yang sama NTT masuk kategori darurat kekerasan terhadap anak.

Hal ini disampaikan oleh Arist Merdeka Sirait dari Komnas Anak. Menurut beliau, kategori darurat kekerasan merujuk pada data bahwa dari 21.600 pelanggaran hak anak di Indonesia, 58 persennya berupa kejahatan seksual. Lebih memprihatinkan lagi bahwa NTT masuk dalam urutan 5 dari 34 provinsi yang menjadi korban kekerasan. Dari total jumlah penduduk NTT 5,6 juta jiwa, terdapat 2,2 juta jiwa merupakan anak di bawah umur 18 tahun.

Dari jumlah tersebut hampir 80 persen anak mengalami kekerasan. Sementara 68 persen remaja NTT keluar daerah menjadi pembantu rumah tangga yang pada akhirnya menjadi tumbal dari perdagangan manusia (human trafficking) untuk eksploitasi seksual komersial. Latar belakang miris di atas sebagaimana dirilis oleh Harian Pos Kupang (12/5/2016).
Situasi kelam yang melatari wajah provinsi NTT ternyata belum seberapa. Kasus-kasus asusila (pemerkosaan) masih banyak ditemukan dalam lembaga-lembaga sosial lainnya.

Direktris Rumah Perempuan, Liby Sinlaloe mengemukakan sebuah data yang begitu dilematis di mata publik. Berdasarkan data yang dihimpun terdapat 567 kasus dengan perincian 466 kasus yang korbannya adalah anak-anak dan 61 kasus korbannya adalah orang dewasa. Situasi problematis ini pada akhirnya sesuai dengan estimasi (perkiraan) Komnas Perempuan bahwa tiap dua jam ada tiga korban kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia. (Baca Pos Kupang, edisi, 13/5/2016.hlm.1).

Menyikapi latar belakang kelam dari tindakan asusila (pemerkosaan) tersebut, hemat penulis ada beberapa hal penting yang hendaknya diklarifikasi secara tuntas.

Pertama, kementerian sosial dan kementerian terkait lainnya hendaknya merevitalisasi program Temu Penguatan Anak dan Masyarakat. Oleh karena itu, penguatan koordinasi di antara pihak-pihak berwenang menjadi aspek penting guna meminimalisir terbentuknya kelompok pelaku tindakan asusila (pemerkosaan). Efektivitas koordinasi yang dihidupi oleh berbagai kementerian sangat membantu menuntaskan tindakan asusila (pemerkosaan) yang marak terjadi di tanah air.

Kedua, para penegak hukum dan keadilan di tanah air penting mengedepankan hukuman maksimal bagi para pelaku. Fenomena krusial yang sering terjadi di tanah air adalah masih minimnya pemberlakuan hukuman maksimal bagi para pelaku kejahatan. Oleh karena itu, para pelaku kejahatan (pemerkosaan) hendaknya dijatuhkan hukuman seberat-beratnya yang dapat memberi efek jera bagi para pelaku. Pemberlakuan PERPPU menjadi mutlak perlu untuk menjamin efek jera. Sebab tindakan para pelaku telah mereduksi harkat dan martabat manusia.

Ketiga, Negara hendaknya memprioritaskan Undang-Undang Perlindungan Anak. Oleh karena itu, perlu dibentuk kelompok perlindungan anak berbasis masyarakat yang secara langsung dilindungi oleh peraturan daerah di masing-masing kota di Indonesia. Penerapan kelompok tersebut sejatinya membantu menyadarkan masyarakat untuk berperan aktif dalam penanganan setiap kasus asusila. Sebab yang menjadi penangung jawab pertama atas fenomena kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan adalah masyarakat. Tanggung jawab harus kembali kepada otonomi daerah.

Keempat, masyarakat perlu menciptakan lingkungan sosial yang kondusif. Lingkungan sosial menjadi soko guru bagi masyarakat dalam mengembangkan edukasi, penerapan etika dan keutamaan-keutamaan hidup serta membuka ruang gerak yang efektif bagi anak dalam membangun afeksi persahabatan dengan lingkungan sosialnya. Lingkungan sosial yang kondusif menjadi parameter terciptanya kehidupan yang integral.*

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved