Petuah Leicester: Antara Mamon dan Daya Juang

Kejutan yang sesungguhnya justru datang dari liga yang mengklaim diri sebagai negeri asal sepak bola.

Editor: Dion DB Putra

Oleh Yosep Sudarso, S.Fil
PNS Kemenag Kota Kupang

POS KUPANG.COM - Negara-negara sepak bola di Benua Biru umumnya sudah menyelesaikan liga utamanya pada pekan ini. Pertandingan pada Sabtu dan Minggu kemarin menjadi penutup musim 2015/2016. Pada hasil akhir sepertinya tidak banyak kejutan. Juventus masih merajai Italia walaupun pada awal musim sempat terseok-terseok. PSG dan Bayern Munchen masih mendominasi liga Perancis dan Bundesliga. Tim-tim ini sudah memastikan gelar juara sebelum musim berakhir.

Demikian juga Barcelona yang walaupun memastikan gelar juaranya pada pekan ke-38, toh tidak menghadirkan kejutan karena banyak pihak sudah memprediksi sebelumnya.

Kejutan yang sesungguhnya justru datang dari liga yang mengklaim diri sebagai negeri asal sepak bola. Musim ini Liga Inggris benar-benar meluluhlantakkan semua prediksi. Dan, aktor utamanya tentu saja The Fox, Si Rubah Leicester yang mengunci titel juara pada pekan lalu.

Hasil imbang yang diraih seterunya Totenham Hotspur saat bertandang ke markas Chelsea, Selasa (3/5/2016) secara otomatis mengakhiri perburuan gelar. Pasukan Claudio Ranieri menjadi kampiun Liga Inggris dan akhirnya menggenggam mahkota untuk pertama kalinya dalam sejarah klub.

Kris Fathoni W dalam detiksport.com mengibaratkan raihan Leicester seperti roller coaster. Analogi ini memang sempurna jika kita mengetahui sepak terjang Leicester dalam dua musim terakhir. Pada musim 2014/2015, Leicester nyaris terdegradasi dan akhirnya lolos pada pekan-pekan terakhir. Di akhir musim tersebut, mereka menempati posisi 14 atau posisi terakhir untuk berkpiprah di EPL. Itu kisah musim lalu. Saat mereka berada di putaran paling bawah. Cerita musim ini berbalik 360 derajat.

"Pada dua musim terakhir, Leicester telah membawa suporternya dalam sebuah perjalanan mendebarkan bak sedang naik roller coaster. Berbeda latar, dasar klasemen pada musim lalu dan puncak klasemen di musim ini, kedua kisah itu sama-sama berakhir dengan kegembiraan", tulis Fathoni.

Goal.com, salah satu media online di tanah air, barangkali paling pas ketika salah satu ulasannya diberi judul, Leicester City Juara, Bakal Jadi Dongeng Terbesar Dalam Sejarah Olahraga. Raihan Leicester menjadi dongeng ketika sepak bola sudah menjadi industri dan finansial menjadi syarat meraih kesuksesan. Dari data yang disajikan Goal, kita menjadi tercengang dan seakan tak percaya.

Bayangkan, pada musim ini Mancester City misalnya harus merogoh kocek £158 juta dan Manchester United membelanjakan dana £285 juta dalam dua musim terakhir. Angka yang sangat ironis jika dibandingkan dengan perekrutan dua pemain andalan Leicester. Jamie Vardy adalah pemain dari non-liga yang hanya memiliki banderol £1 juta. Sementara winger dari divisi dua Prancis, Riyad Mahrez hanya ditebus senilai £450,000.

Kisah Leicester adalah dongeng di abad 21. Ia ternyata sukses membalikkan anggapan para elite sejagat yang terbius dengan adagium kekuatan uang sejalan dengan torehan prestasi. Ketika klub-klub elite bola kaki, baik di Eropa maupun belahan benua lainnya, menghabiskan sekian banyak uang guna meraih prestasi, Leicester menghadirkan wajah yang sebaliknya.

Kisah sukses Leicester City memberikan banyak inspirasi dan pelajaran. Hemat saya, empat hal berikut menjadi petuah dari keberhasilan Leicester. Hal pertama, kesuksesan Leicester menjadi momentum menemukan kembali hakekat dari hidup dan kehidupan kita. Pertanyaan-pertanyaan eksistensial sepertinya kembali mendapatkan relevansinya. Apa tujuan hidupku dan bagaimana aku akan menggapainya merupakan pertanyaan-pertanyaan yang semestinya mendasari hidup setiap insan. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut menentukan seluruh aktivitas masing-masing individu maupun komunitas.

Hal kedua berkaitan dengan cara pandang kita tentang uang. Ada ungkapan yang familiar dalam masyarakat bahwa uang bukan segala-galanya tetapi segala-galanya butuh uang. Keberhasilan Leicester barangkali memaksa kita untuk mengatakan yang sebaliknya. Ternyata tidak segala-galanya butuh uang tetapi (pasti) uang bukan segala-segalanya. Banyak pengalaman mendasar dalam kebersamaan manusia yang membuahkan hasil yang tidak terduga tanpa membutuhkan biaya.

Sebuah senyum tulus bisa jadi mampu menggairahkan kembali harapan yang telah sirna. Untuk senyum seperti itu kita tidak perlu mengeluarkan biaya sesen pun. Seseorang yang merasa tidak mungkin lagi menemukan jalan keluar akan kembali bersemangat ketika ada orang yang duduk mendengarkan dia dengan penuh perhatian. Salam yang hangat dan tegur sapa yang tulus boleh jadi menyegarkan tubuh yang penat oleh beban kerja. Untuk salam hangat seperti itu, orang tidak perlu merogoh kocek.

Petuah ketiga tentang usaha yang tak kenal lelah dalam menggapai sukses. Ternyata jalan menuju sukses itu butuh waktu. Menggapai keberhasilan mengandaikan proses panjang. Bukan hasil dari bim salabim. Apalagi menempuh jalan pintas. Mentalitas jalan pintas memang sedang menjadi mode dalam pelbagai bidang kehidupan. Leicester mengajarkan kita bahwa tidak ada ruang bagi jalan pintas dalam mencapai keberhasilan. Sebaliknya, keberhasilan itu dibangun langkah demi langkah.

Dari satu titik menuju titik berikutnya. Tentu saja dengan usaha yang tak kenal lelah. Penuh jerih payah, keringat dan peluh.
Kisah sukses Leicester dirajut dalam 38 pekan. Dalam hari-hari itu ada perjuangan yang tak kenal lelah. Jalan panjang itu berisikan pengorbanan, kerja keras dan ketekunan. Jika hendak meraih cita-cita dan menggenggam masa depan, kata kuncinya adalah kesabaran. Tidak ada jalan pintas menuju sukses.

Petuah keempat berkaitan dengan dukungan doa para bhiksu dari Thailand. Dukungan spiritual itu ikut membantu Leicester mengangkat trofi. Dari pemberitaan media massa, ternyata Vichai Srivaddhanaprabha, konglomerat asal Thailand sekaligus pemilik Leicester, secara rutin menerbangkan sekitar satu lusin biksu ke markas Leicester, King Power Stadium. Sebelum kick-off selalu ada rutinitas pemberkatan dari para biksu itu dengan cara mencipratkan air suci ke kaki para pemain dan mengiringi tim dengan untaian doa.

Bagi kita, doa tidak hanya berkomunikasi dengan Tuhan. Doa pertama-tama berarti mengandalkan Tuhan; mengetahui kehendak-Nya dan menjadikannya kehendak kita. Mudah-mudahan, kisah sukses Leicester meneguhkan kita bahwa doa bukan unsur tambahan. Kerja keras dan doa ibarat dua sisi mata uang dalam menggapai sukses. Selamat bagi para pendukung Si Rubah.*

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved