Kekerasan Seksual dan Posisi Tawar Perempuan
Bagi individu korban, trauma dan dampak negatif dari peristiwa kekerasan, tak
Oleh Dr. Fransiska Widyawati
Ketua LPPM STKIP St. Paulus Ruteng
POS KUPANG.COM - Kekerasan seksual menjadi satu masalah serius di tengah masyarakat kita. Pelaku dan korban kekerasan seksual bisa dilakukan atau dialami oleh laki-laki dan perempuan. Sebagai realita, perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual jauh lebih banyak dibandingkan laki-laki.
Bagi individu korban, trauma dan dampak negatif dari peristiwa kekerasan, tak terkait dengan jenis kelamin. Trauma tetaplah trauma, entah itu pada laki-laki atau perempuan. Namun, di dalam budaya patriarki, posisi tawar perempuan yang lemah telah menyebabkan kaum Hawa lebih mudah terpuruk di dalam persoalan ini. Tanpa bermaksud mengesampingkan penderitaan laki-laki sebagai korban, tulisan ini memberikan beberapa contoh dan argumentasi bagaimana dan mengapa perempuan korban cenderung akan mengalami beban berlipat dibandingkan laki-laki.
Pertama, hal yang paling memilukan perempuan korban kekerasan adalah anggapan bahwa kekerasan yang mereka alami adalah hal wajar dan sebagai akibat dari kesalahan mereka sendiri. Cukup kerap orang berbicara bahwa cara berdandan perempuan yang minim membenarkan pelecehan/pemerkosaan.
Demikian juga perempuan yang berjalan sendirian, berada di tempat sepi, di malam hari, berjalan melewati tempat berkumpulnya laki-laki dinilai telah menjerumuskan dirinya ke dalam mulut singa, predator seksual.
Cara pikir ini sangatlah sesat. Siapapun harus diingatkan bahwa kejahatan adalah tanggung jawab penuh pelaku. Pelaku adalah manusia yang mempunyai kesadaran dan kebebasan untuk memilih berbuat baik dan menghindarkan yang jahat di dalam situasi apapun. Setiap pribadi diberi kapasitas untuk menjadi manusia baik bagi orang lain dan bukan predator. Kejahatan yang telah dilakukan menjadi tanggung jawab penuh pelaku.
Bahwa ada situasi tertentu yang memungkinkan kejahatan terjadi, sama sekali tidak membenarkan kejahatan itu sendiri. Apalagi, ketika pembenaran itu datang dengan cara membatasi hak-hak orang lain (korban), dalam hal ini perempuan, untuk eksis dan hidup normal di tengah dunia.
Kedua, penanganan korban kekerasan seksual yang keliru dapat menyebabkan korban "diperkosa" dua kali; pertama oleh pelaku itu sendiri dan kedua oleh mereka yang menangani kekerasan itu sendiri. Hal ini bisa terjadi manakala cara berbahasa, pilihan kata, gestur tubuh dan simbol yang dipakai dalam metode penggalian masalah justru tidak menimbulkan rasa nyaman bagi perempuan dan menyebabkan pelecehan kedua kalinya.
Di waktu lampau, media massa dihebohkan oleh pernyataan tokoh publik yang mengatakan bahwa korban perkosaan juga menikmati apa yang dilakukan. Pertanyaan kepada korban, misalnya, apakah Anda juga menikmatinya, adalah contoh perkosaan yang kedua kalinya.
Untuk ini, para petugas (aparat hukum, petugas medis, dll) harus masuk dalam passion korban, memahami pergulatan dan penderitaannya. Mereka perlu belajar psikologi penderita, belajar pilihan kata, cara berbahasa, cara memadang dan bertingkah yang pro-korban. Latihan bagi petugas penanganan korban dan kasus mengenai hal ini sangat urgen.
Ketiga, kendatipun perempuan adalah korban, pihak lemah yang seharusnya dibela dan diperhatikan, justru dalam kekerasan seksual, korban kerap kali justru mendapat hukuman lanjut dari peristiwa yang menimpanya. Sebagai contoh, ketika seorang perempuan diperkosa, anggapan ia tak suci, tidak murni dan tidak perawan membuat hidupnya menjadi lebih berat. Ia dapat dianggap sebagai sampah dan dipandang sebelah mata. Korban tidak hanya menanggung akibat kekerasan pelaku utama, tetapi terus dilanjutkan oleh cap-cap masyarakat. Semua masyarakat harus belajar keadilan dan cara berpihak pada korban.
Masyarakat perlu menjadi komunitas ramah terhadap mereka yang menderita.
Keempat, bencana kekerasan seksual bagi perempuan dapat saja berubah menjadi bencana moral. Sebagai contoh, ketika seorang gadis hamil, banyak masyarakat dapat saja secara cepat memberi penghakiman bahwa hal itu terjadi karena moralitas perempuan yang rendah, tanpa diselidiki lebih jauh dan mendalam mengapa hal itu terjadi. Padahal, banyak kali, hubungan seksual dapat saja dipaksakan oleh pihak lelaki (termasuk oleh pacar).
Budaya kita yang cenderung menganggap agresivitas seksual itu milik laki-laki dan bukan perempuan, juga menyebabkan perempuan yang terkait masalah seksualitas dianggap agresif (yang dalam hal ini dianggap tidak cocok untuk perempuan). Perempuan yang demikian cenderung dicap perempuan nakal.
Setiap orang perlu belajar untuk adil dalam memandang persoalan, bijak dalam penanganan. Moralitas justru unggul dalam usaha menyelamatkan setiap orang bukan menjerumuskannya.