Liputan Khusus
Di Bakunase Kupang, Sampah Organik Diolah Menjadi Pakan Ikan
Roni menjelaskan, sampah organik yang menjadi pakan ikan dan pupuk bokashi dikelola dengan
Penulis: PosKupang | Editor: Dion DB Putra
POS KUPANG.COM, KUPANG - Hasil pengolahan sampah organik oleh Kelompok Swadaya Pengelolaan Sampah Bakunase sejak tahun 2008 dapat menjadi pakan dasar ikan dan pupuk bokashi.
"Hasil olahan sampah organik ada yang dijual dan dipakai warga. Satu karung pupuk bokashi dijual Rp 10.000. Satu bulan untung bersih setelah dipotong insentif untuk para pengelola sekitar Rp 3 juta," kata Roni Nale, Ketua Kelompok Swadaya Masyarakat Pengelolaan Sampah Bakunase kepada Pos Kupang, Kamis (7/4/2016).
Roni menjelaskan, sampah organik yang menjadi pakan ikan dan pupuk bokashi dikelola dengan sistem manajemen pengelolaan sampah berbasis masyarakat. Pengelolaan sama berbasis masyarakat ini, lanjut Roni, lebih efektif mengatasi persoalan sampah di Kota Kupang. Sebab, pengelolaan sampah berbasis masyarakat akan memutus mata rantai arus sampah dari sumber sampah dengan warga.
"Dengan manajemen pengelolaan sampah berbasis masyarakat, tidak ada lagi penumpukan sampah di TPS. Caranya, putus mata rantai arus sampah dari sumber sampah dengan masyarakat," kata Roni.
Sebelumnya, Sabtu (12/3/2016), Roni mengatakan, pengelolaan sampah berbasis masyarakat dapat dilakukan dengan membentuk kelompok di masyarakat sebagai pengumpul dan pengolah sampah. Di kelompoknya, jelas Roni, ada lima orang pengelola sampah. Lima orang itu mengambil sampah keliling di enam RT setiap hari.
Selanjutnya, kata Roni, sampah dipilah dengan model tiga R (reduce, reuse, recycle).
Pemilihan sampah dipisahkan jenis sampah plastik, organik yang terdiri dari daun, rumput dan ranting serta sampah residu. "Kami mengambil sampah organik dikelola menjadi bokashi. Sampah plastik diambil para pemulung dan sampah residu dibuang ke TPS," jelas Roni.
Pengelolaan sampah organik, demikian Roni, membutuhkan waktu tiga hari. Dengan kapasitas mesin pencacah 24 PK dapat menghasilkan produksi 400 kilogram setiap hari. Roni tidak menyangka usahanya mengelola sampah sejak tahun 2008 membuahkan hasil menggembirakan. Setiap bulan hasil usaha bersama lima warga Bakunase menghasilkan uang Rp 3 jutaan.
"Hasil itu sudah bersih setelah dipotong biaya operasional dan insentif untuk pegawai. Total yang kami dapat Rp 3 jutaan setiap bulan dari pengelolaan sampah yang kami pungut di rumah-rumah warga sekitar," ujar Roni, Kamis kemarin.
Roni mengatakan, saat musim hujan kelompoknya tidak memiliki penampungan sehingga pengolahan sampah organik mengalami kesulitan. Untuk pengeringan membutuhkan cahaya matahari dan selasar. "Kalau sampah dalam kondisi basah setengah mati pengelolaannya," ujarnya.
Ia menjelaskan, hasil kerja kerasnya banyak mendapatkan perhatian dari berbagai tempat hingga luar daerah. Salah satunya, Dinas Kebersihan Kabupaten Ende sudah mengirim dua angkatan untuk mengikuti pelatihan pengolahan sampah di tempatnya.
"Beberapa waktu lalu dari Semau, Kabupaten Kupang ada enam desa yang berlatih di sini. Mahasiswa pertanian juga sering praktek di sini. Kelompok dari kelurahan atau kecamatan lain di wilayah Kota Kupang belum pernah datang," ungkap Roni.
Roni mengeritik Pemerintah Kota Kupang yang tidak melirik contoh pengelolaan sampah berbasis masyarakat, meski sudah banyak ditiru kelompok dari luar daerah.
Pemerintah baru mendatangi tempatnya bila ada tim adipura yang datang lantaran lokasinya menjadi salah satu titik pantauan. Padahal di kota-kota besar, pegiat lingkungan yang fokus pada pengelolaan sampah biasanya digandeng untuk mencari solusi mengatasi pengelolaan sampah di kota tersebut.
Roni mengatakan, tumpukan sampah di Pasar Inpres dapat diatasi dengan membentuk kelompok pengelola sampah warga setempat. Dengan demikian, mobil pengangkut sampah tidak perlu berulang kali mengambil tumpukan sampah di tempat pembuangan sementara.
Selain itu, lanjut Roni, manajemen pengelolaan sampah berbasis masyarakat akan mengirit anggaran bahan bakar minyak untuk operasional truk sampah. Pasalnya, truk sampah yang begitu banyak akan berkurang beroperasi ke titik-titik lantaran sampah yang tinggal di TPS hanya tinggal sampah jenis residu saja.
"Lebih baik bangun komunitas daripada beli armada yang mencapai ratussan juta rupiah harganya. Kalau sampah dari Oesapa dibuang ke Alak, membutuhkan biaya transportasi yang besar.Tetapi kalau sebagian besar sampahnya sudah dikelola bagus, maka sampah yang diangkut sedikit dan tidak perlu berkali-kali," kata Roni.
Roni berharap program pembangunan di kota ini harus ada keberpihakan pada lingkungan dalam pengelolaan sampah. Pasalnya, pengelolaan sampah ke depan akan menjadi masalah dengan populasi manusia yang akan terus bertambah. "Saya melihat pengelolaan sampah biasa-biasa saja. Kalau sampah yang dikumpul lalu dibakar percuma saja," tegas Roni.
Ia mendapat informasi bahwa sudah ada peraturan walikota yang mengatur pengelolaan sampah berbasis masyarakat. Hanya saja realisasinya belum terlaksana sampai sekarang. Menurut dia, untuk membentuk kelompok pengelola sampah di masyarakat tidak banyak membutuhkan biaya. "Semua tergantung kemauan warga dan pemerintah setempat. Dengan demikian, dari yang tidak bisa menjadi bisa. Dari hasil pengelolaan sampah ini bisa digunakan warga sebagai modal tanam sayur dan usaha lainnya," kata Roni. (aly/lipsus)