Pilkada Serentak 2015
Aturan Selisih Suara Dalam Sengketa Pilkada Dinilai Tak Relevan
Ia menilai, Mahkamah Konstitusi (MK) juga tak konsisten dalam menindaklanjuti permohonan perselisihan hasil pilkada
POS KUPANG.COM, JAKARTA - Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil mengatakan, aturan mengenai selisih suara untuk mengajukan sengketa hasil pilkada tak relevan.
Ia menilai, Mahkamah Konstitusi (MK) juga tak konsisten dalam menindaklanjuti permohonan perselisihan hasil pilkada.
"Kalau MK menyatakan mau melihat (isi materi permohonan) dan mengatakan bahwa kalau punya bukti yang cukup akan diperiksa, maka tidak relevan syarat (selisih suara) ini untuk diatur," ujar Fadli dalam paparannya di Kantor Perludem di wilayah Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Minggu (3/1/2016).
Fadli menambahkan, terlebih MK juga memberikan ruang bagi pemantau pemilu untuk mengajukan permohonan. Padahal, pemantau pemilu tak mungkin mempersoalkan hitung-hitungan suara melainkan lebih mempersoalkan masalah kecurangan dalam pelaksanaan pilkada.
"Logika-logika ini mesti dibenarkan oleh MK. Ketika diberikan ruang bagi pemantau pemilu, maka syarat selisih suara ini tidak relevan," kata Fadli.
Fadli menambahkan, jika MK hanya melihat selisih suara tanpa mempertimbangkan faktor lainnya, maka dari total 147 permohonan yang masuk hanya 23 permohonan yang berpotensi diloloskan. Karena hanya 23 permohonan itu lah yang memenuhi syarat selisih suara.
Padahal, Fadli menambahkan, ada beberapa daerah yang selisih suaranya signifikan namun proses penyelenggaraan pilkadanya bermasalah. Salah satunya pilkada di Kabupaten Humbang Hasundutan.
Di daerah tersebut ada satu partai polotik yang mengajukan dua calon kepala daerah bersamaan tapi disetujui Komisi Pemilihan Umum (KPU).
"Ini kemudian yang dimasukkan ke permohonan di MK dan kami berharap MK mempertimbangkan faktor-faktor seperti ini," tutur Fadli.
Sebelumnya, Ketua MK Arief Hidayat sempat menyunggung polemik terkait perselisihan suara yang berkembang di masyarakat. Menurut dia, MK sudah memiliki acuan untuk menseleksi permohonan yang masuk, namun ia menolak menjelaskan lebih rinci terkait hal tersebut.
"Mahkamah punya acuan untuk memutus itu, tetapi tidak bisa saya sampaikan karena itu sudah masuk pada bagian pokok perkara," tutur Arief.
Sebelumnya, Anggota Komisi III DPR, Sufmi Dasco Ahmad juga meminta agar MK berani memeriksa kecurangan yang terstruktur, sistematis dan masif (TSM) dalam pelaksanaan pilkada serentak.
Ia meminta agar MK tak hanya melihat aturan tentang batas selisih suara pengajuan perkara yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada).
Menurut Dasco, MK sebagai benteng keadilan konstitusional, tidak bisa menolak memeriksa perkara dengan dalih perbedaan selisih suara yang tak sesuai ketentuan.
