Husein Pancratius: Obat Itu Sumber Pendapatan Rumah Sakit
Kalau pasien sampai membeli obat di luar, berarti rumah sakit membuang pendapatan yang seharusnya diterima.
Penulis: PosKupang | Editor: Dion DB Putra
POS KUPANG.COM - Berikut ini pandangan Mantan Direktur RSUD WZ Johannes Kupang, dr. Husein Pancratius terkait pengadaan stok obat. Obat sebenarnya bisa menjadi sumber pendapatan yang besar bagi rumah sakit jika dihitung selisih harga beli dan harga jual obat. Selisih itu dapat dijadikan sebagai pendapatan untuk menutupi ongkos-ongkos di rumah sakit.
Pembeli obat adalah "pasar" bagi rumah sakit. Kalau manajemen merelakan pasien membeli obat di luar berarti rumah sakit kehilangan pendapatan. Semisal rumah sakit kehabisan stok obat maka manajemen tinggal menghubungi Kimia Farma selaku apotek pelengkap di rumah sakit. Teknisnya manajemen rumah sakit membuat perjanjian dengan Kima Farma sebagai BUMN yang bergerak dalam bidang obat-obatan dan alat-alat kesehatan.
Kalau pasien sampai membeli obat di luar, berarti rumah sakit membuang pendapatan yang seharusnya diterima. Keberadaan apotek pelengkap diperlukan untuk menutupi kekurangan stok obat bila rumah sakit mengalami kehabisan obat. Ini juga berlaku untuk ketersediaan obat-obatan BPJS maupun non BPJS. Tetapi kalau dikasih pihak luar, maka pihak luar yang mengambil untung. Ada apa ini?
Kalau banyak dokter mengeluh sudah menyampaikan kebutuhan obat tetapi tidak dipenuhi manajemen maka perlu dipertanyakan kenapa manajemen tidak memenuhi. Kalau manajemen bilang tidak ada uang, kenapa tidak dikasih ke Kimia Farma yang sudah terikat kerjasama hitam di atas putih?
Saya mengibaratkan manajemen rumah sakit tidak memanfaatkan Kimia Farma sebagai apotek pelengkap seperti waktu hujan tidak dicari tetapi waktu kering baru dicari. Kalau terjadi pasien membeli obat di luar apotek induk dan pelengkap maka peran apotek pelengkap di RSU Kupang tidak berfungsi.
Untuk kebutuhan obat harus direncanakan berdasarkan surat keputusan direktur. Surat keputusan itu dibuat setelah pembahasan antara direktur dengan para dokter ahli, umum, para medis sehingga menghasilkan daftar esensial obat rumah sakit. Apalagi rumah sakit sudah menjadi Badan Layanan Umum Daerah sehingga tidak perlu menunggu pengesahan APBD.
Akibat ketiadaan obat di apotek rumah sakit, bisa saja menimbulkan dugaan 'permainan' yang dilakukan dokter sehingga pasien terpaksa membeli obat di luar. Modusnya, dokter memberikan resep obat dengan merk tertentu kepada pasien. Tetapi obat tersebut tidak dijual di apotek rumah sakit. Semestinya dalam resep yang ditulis jenis obatnya. Misalnya paracetamol harus ditulis paracetamol bukan menyebut jenis obat bermerk yang di dalamnya terkandung paracetamol.(aly)