Polemik Kasus Brigpol Rudy Soik
Rudy Tidak Melanggar UU Kepolisian
Koordinator TPDI, Petrus Selestinus, S.H, menilai, Kepolisian Polda NTT telah ceroboh dan terlalu cepat menahan Rudy Soik
POS-KUPANG.COM, KUPANG --- Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), Petrus Selestinus, S.H, menilai, Kepolisian Polda NTT telah ceroboh dan terlalu cepat menahan Rudy Soik dalam kasus dugaan penganiayaan yang dilakukannya.
"Rudy Soik seharusnya diperiksa oleh Bagian Profesi dan Pengamanan (Propam) atau Irwasda karena dugaan tindak pidana yang dilakukan adalah dalam rangka menjalankan tugas lain yang lebih besar. Kejahatan human trafficking yang terjadi secara masif, sistematis dan terstruktur di NTT memerlukan penyidik dengan tipikal berani, punya nyali besar dan berani mengambil risiko apapun juga baik untuk dirinya maupun keluarga. Bahkan korpsnya sendiri," kata Petrus ketika dimintai komentarnya, Selasa (25/11/2014).
Menurut dia, Polda NTT seharusnya mempertimbangkan posisi Rudy Soik ketika melakukan tugas penggeledahan telah dilindungi oleh pasal 18 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI yang memberi wewenang Diskresi kepada setiap Pejabat Kepolisian ketika melaksanakan tugas di lapangan, di mana pasal 18 UU Kepolisian menyatakan bahwa untuk Kepentingan Umum Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaian sendiri.
Artinya, lanjut Petrus, seorang anggota polisi yang sedang menjalankan tugasnya seorang diri harus mampu mengambil keputusan berdasarkan penilaiannya sendiri, apabila terjadi gangguan terhadap ketertiban umum atau terhadap keamanan umum.
Diskresi Kepolisian ini, demikian Petrus, memberi wewenang kepada polisi untuk memilih bertindak atau tidak bertindak secara legal atau ilegal dalam menjalankan tugasnya.
"Jadi, tindakan Rudy bukan menganiaya, tetapi tindakan kepolisian berdasarkan kewenangan Diskresi yang diberikan oleh pasal 18 UU Kepolisian. Selain itu, di dalam KUHAP kewenangan untuk bertindak bagi seorang penyidik kepolisian ketika menjalankan tugas di lapangan dengan jelas diberikan," jelas Petrus.
Namun karena kasus Rudy Soik ini terlalu cepat berkembang, bahkan menjadi perkara tercepat di republik ini, demikian Petrus, maka apapun senjata pembelaan diri bagi Rudy Soik, satu-satunya tempat adalah di pengadilan ketika menjadi terdakwa, kecuali kejaksaan atau Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Tinggi NTT menghentikan penuntutannya karena apa yang dituduhkan kepada Rudy tidak cukup kuat alasan dan pembuktiannya.
Petrus meminta Kapolda NTT dan Kejaksaan Tinggi NTT harus menempatkan Rudy Soik sebagai whistle blower (menghembus peluit/pengungkap aib) dalam mengungkap dugaan mafia human trafficking yang melibatkan sejumlah oknum Polri di Polda NTT dan Jakarta.
Langkah itu, tegas Petrus, harus diambil agar publik tidak melihat upaya penahanan terhadap Rudy Soik oleh penyidik Polda NTT dalam kasus dugaan penganiayaan terhadap Ismail Paty Sanga sebagai alat untuk menutup rapat-rapat sinyalemen Rudy Soik dan sinyalemen publik NTT bahwa di internal Polda NTT terdapat sejumlah oknum perwira Polda NTT menjadi bagian dari mata rantai mafia human trafficking.
"Salah besar bagi Kapolda dan Kajati NTT kalau melihat dan menempatkan Ruddy Soik hanya semata-mata sebagai orang yang diduga melakukan penganiayaan dan memroses hukum Rudy Soik," kritik Petrus.