Calon Presiden 2014

Pemerintah Baru Pro-Pasar

Ekonomi Indonesia tidak akan berubah secara radikal.

Editor: Benny Dasman
KOMPAS.com/INDRA AKUNTONO dan TRIBUNNEWS/HERUDIN
Joko Widodo dan Jusuf Kalla (kiri) dan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa (kanan) 

POS KUPANG.COM, JAKARTA - Direktur Research Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC) Djayadi Hanan menengarai, ekonomi Indonesia tidak akan berubah secara radikal. Sebabnya, calon wakil presiden yang diusung kandidat presiden Joko Widodo dan Prabowo Subianto sama-sama pro- pasar.

"Di Jokowi ada JK, di Prabowo ada Hatta yang sama-sama pro pasar dan bahkan pemain pasar. Sulit ada perubahan radikal di bidang ekonomi," ujar Djayadi Hanan saat diskusi bertajuk Prediksi Arah Perekonomian Indonesia Pasca Pemilu di Jakarta, Rabu (21/5).

Selain tokoh, menurut Djayadi ada penyebab lain yang membuat ekonomi nasional sulit berubah haluan. Pertama, sistem multi partai saat ini membuat sistem presidensial tidak maksimal karena kuatnya parlementer di DPR.

"Sementara dalam sistem multi partai ini, presiden sulit keluarkan kebijakan radikal, termasuk di ekonomi karena parlemen di kita ini lebih kuat," katanya.

Kedua, lanjut Djayadi, posisi-posisi kementerian yang berkaitan langsung dengan ekonomi cenderung ditempati orang partai. Hal tersebut akan kontradiktif karena adanya kepentingan suatu golongan.

"Pos-pos strategis tertentu jangan diberikan kepada orang partai politik, misalnya Menteri ekonomi dan Menteri BUMN, yang berhubungan langsung dengan ekonomi," ucapnya.

Ekonom Didik J Rachbini menilai, janji Jokowi dan Prabowo sulit terealisasi lantaran APBN terbebani anggaran subsidi dan defisit perdagangan. "Janji-janji Jokowi juga Prabowo tidak akan terealisasi dengan APBN saat ini," ujar Didik seraya mengatakan, peluang mewujudkan janji-janji di sektor ekonomi bisa terjadi bila presiden dan wakil presiden baru mampu berkompromi dengan pasar.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan Indonesia pada bulan Januari 2014 defisit sebesar 0,43 miliar dollar AS. Deputi Statistik Produksi BPS Adi Lumaksono mengatakan defisit nilai perdagangan disebabkan defisit sektor migas yang besar yaitu 1,06 miliar dollar AS.

Menyangkut subsidi BBM, pemerintah mematok pagu belanja subsidi BBM sebesar Rp285 triliun atau naik Rp74,3 triliun dari pagu yang ditetapkan dalam APBN sebesar Rp210,7 triliun. Hal ini tertuang dalam RAPBN-Perubahan 2014. (tribunnews)

Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved